Pernahkah kalian menghitung bintang?
Atau seolah-olah pernah melakukan adegan itu?
Percayalah. Ada orang yang kadang melakukan pekerjaan yang luar biasa mustahil dan melelahkan tersebut. Bahkan sibuk menemukan rasi bintang yang dibentuk oleh titik-titik putih pada kanvas hitam langit malam yang luas.
Jari telunjuk panjangnnya bergerak membuat gambar di udara. Sesekali bergumam ketika merasa menemukan bentuk rasi yang sudah dihafalnya di luar kepala. Posisi terlentang di lapangan basket yang tak terurus, membuatnya lebih mudah menemukan pola.
Kendatipun kegiatannya terlihat begitu romantis. Namun, ia sedang tidak menikmati malam sebenarnya. Laki-laki itu hanya sedang memulihkan tenaganya yang tepakai akibat adu jotos dengan sekelompok orang. Cahaya bulan dan bintang tidak mampu menyinari kulit putihnya yang dihiasi cap-cap biru gelap hasil bogeman dari manusia.
Bayu selalu menikmati... bogeman itu, bukan bintangnya.
Sepertinya kegiatan mengamati bintang harus dihentikan segera. Malam semakin larut dan sudah dipastikan puluhan panggilan tak terjawab sudah menjadi wallpaper ponselnya saat ini—yang tergeletak di dasbor sejak tadi.
Bayu menjalankan mobil tanpa harus menghiraukan ponsel yang masih bergetar di kursi penumpang. Ia hanya harus segera pulang dan bertemu si penelpon secara langsung.
Lelaki itu harus siap-siap mendengar—atau biasanya tidak peduli, ocehan panjang lebar yang mengomentari semua bekas-bekas luka di wajahnya. Meski membikin kuping panas, setidaknya masih ada yang menunggunya pulang. Salah satu kewajiban orang tua yang sudah lama tak dikerjakan oleh ayah dan ibu untuknya. Lebih tepatnya, mereka sudah tidak ingin melakukanya.
Padahal Bayu rela menerima tambahan pukulan dari ayahnya kerena kelakuan liarnya setiap malam hingga shubuh. Atau ibunya yang menekan luka dengan emosi sembari mengobatinya dengan kapas alkohol. Itu masih bisa dikatakan peduli.
Wake up, Bayu. Bahkan bermimpi pun membuatnya sakit.
☼☼☼
Dengan jalan sepelan mungkin Bayu menjajaki tangga menuju kamarnya di lantai tiga. Hampir semua lampu di seluruh sudut rumah mati. Para penghuninya pun sudah dipastikan telah terlelap. Hal yang selalu ia syukuri, karena ia tidak perlu memasang tameng baja untuk melindungi hatinya. Salah satu alasan yang membuatnya selalu pulang pada jam-jam tak wajar.
Sepertinya tidak semua orang. Ia harus ingat kalau ada juga yang selalu menunggunya pulang. Dari celah bawah pintu cahaya lampu kamarnya menembus—ruangan yang selalu dibiarkan gelap ketika sedang tak ada di rumah.
Bayu memutar grendel pintu. Wajah kesal kembarnya yang pertama kali menyapa. Banyu sedang duduk di tempat tidur dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. Pose seperti biasa, sebelum cowok itu memuntahkan kekesalannya.
Di meja belajar ada Bik Dina yang sudah terlelap dengan posisi tidur yang sangat tidak nyaman. Di samping kepalanya yang bersandar pada permukaan meja, ada kue ulang tahun yang lilin angka enam belasnya sudah terlihat mengenaskan karena meleleh, mungkin juga karena lelah menunggunya pulang. Apinya pun tak lagi menyala.
“Kenapa hari ini nggak pulang cepat?” tanya Banyu. Tatapannya mengikuti gerakan Bayu yang berjalan menuju Bik Dina.
“Bik, Bangun.” Bayu mengguncang bahu rentah itu pelan.
Bik Dina menegakkan tubuh, mengusap wajah lalu tersenyum. “Kamu sudah pulang. Aduh ini muka kamu kenapa lagi?” Senyum itu seketika hilang. Tanganya refleks menyentuh luka-luka itu, yang langsung dihentikan oleh Bayu.
“Nggak apa-apa. Abis jatoh.” Terdengar dengusan kasar Banyu dari belakang punggungnya. “Bibik tidur aja, Bayu bisa obatin sendiri.”
“Biar bibik aja-”
“Bibik istirahat aja.” Bayu membantu Bik Dina untuk berdiri. Ia tidak ingin merepotkan di tengah malam seperti ini. Belum lagi Bik Dina selalu bangun lebih pagi untuk menyiapkan keperluan keluarganya.
“Eh, Selamat ulang tahun ya anak manis,” ujar Bik Dina yang sekonyong-konyong ingat tujuannya di kamar Bayu malam ini. Wajah ngantuknya berubah menjadi cerah. “Tiup lilin… Yaa udah mati.
“Bayu udah tiup kok. Masih doa yang sama.” Bayu tersenyum, tapi Bik Dina sangat tahu di hati anak laki-laki itu tersimpan begitu banyak kesakitan. Mengingat hal itu, membuat air mata Bik Dina mengenang. “Aamiin.
“Bibik lanjutin tidur di kamar bibik. Kuenya sekalian bagi ke pak satpam.” Bayu mengangkat kue itu dan memberikannya pada bibik. “Jangan nangis.”
“Ya, sudah,” kata Bik Dina. Suaranya sedih, menyadari rencana mereka gagal. Bahkan Bayu masih pulang dengan babak belur. Dengan langkah berat ia berjalan keluar, membawa kue yang tak tersentuh sama sekali.
“Gue udah nyuruh lo pulang cepat, kan?” Banyu kembali membuka suara. Diperhatikan saudaranya dari samping yang masih bediri di depan meja belajar, luka di sudut bibirnya terlihat jelas. “Bay, lo senang hidup kayak gini?”
Sudut bibir Bayu miring. Sarkastik. Hanya orang bodoh yang menganggap hidupnya adalah sebuah kebahagian. Ia hanya terpaksa menikmatinya. “Gue capek.”
Banyu tertawa garing. “Gimana lo nggak capek kalau setiap lo balik rumah babak belur kayak gitu? Padahal hari ini gue udah minta lo buat pulang cepat.”
“Apa hari ini bakal ada perubahan kalau gue pulang cepat?” Bayu memandangi Banyu dengan tatapan dingin. Banyu membuka mulut sedetik kemudian kembali menutup. “Lo tidur sana,” pintah Bayu, ia menunjuk pintu dengan dagunya.
“Bay-,”
“Gue capek, Nyu.”
Desahan keputusasahan keluar dari mulut Banyu. Ia mengangkat tubuhnya dari tepi tempat tidur Bayu. “Lo tahu kan kalau gue bakal selalu ada.”
Bayu tak menggubris ucapan iu. Ia bergeming menatap pigura keluarga yang diambil beberapa tahun yang lalu. Ketika ia masih benar-benar menikmati hidup, bukan berusaha menikmatinya.
“Selamat ulang tahun, Btw.” Banyu berjalan menuju pintu lalu menutupnya rapat. Meninggalkan Bayu dalam keheningan.
Kesendirian itu kembali datang. Setiap tahunnya hanya terasa seperti itu, kekosongan, kehampaan, bahkan ketika ia sudah mulai kembali ke rumahnya sendiri. Lilin angka delapan adalah terakhir kalinya ia merasakan benar-benar berulang tahun. Setelah itu, Bayu ingin benar-benar melupakannya. Satu hal yang akan mengingatkan pada orang tuanya... dan Ega. Dan yang paling menyakitkan mereka tidak pernah benar-benar ada di hari itu. Bahkan saat ini.
Bayu menghela napas, seperti tahun-tahun sebelumnya Ia hanya perlu membuatnya menjadi lebih mudah dengan menerimanya saja.
Cowok itu mulai meremas tangannya gusar, perih di dada kembali hadir membuat napasnya memburuh. Siksa itu tak akan pernah hilang meski ia meremas atau memukul dada sekuat tenaga. Setiap hari rasa itu semakin bertambah, menyiksanya secara perlahan.
Bayu beranjak ke kamar mandi. Kemudian melakukannya lagi. Sesuatu yang ia sebut pengalihan rasa sakit, selama bertahun-tahun.