Brak....
Tubuh Bayu kembali terempas pada tumpukan kayu lapuk di sekitar gudang. Bayu menghela napas dan membuang ludah untuk membersikan darah yang masih mengumpul di mulutnya. Cowok itu menatap atap kumuh gudang sejenak, sudah saatnya berhenti bermain-main kalau ingin uang itu pulang bersama mereka. Sepertinya luka-luka di tubuhnya sudah cukup mengalihkan rasa sakit di hatinya.
Sedikit kesulitan Bayu bangkit dari patahan kayu tempat Reno melemparnya tadi. Tubuhnya kaku dan kepalanya pening. Sebaiknya memang harus cepat diselesaikan sebelum tenaganya habis.
“Gue nggak suka senyum lo, terlalu cepat puas.” Bayu tersenyum mengejek. Reno lagi-lagi terpancing, terlihat dari napasnya yang memburuh dan kedua tangannya yang mengepal keras di kedua sisi tubuh.
Bayu mendengkus. “Sudah saatnya lo lihat kemampuan lo yang sebenarnya.”
Tanpa ba-bi-bu Reno menerjang Bayu yang masih memberikan senyum remeh. Namun, belum sempat bogemnya bergerak, tubuhnya sudah terlempar, giliran dirinya yang merasakan dinginnya lantai gudang. Bayu baru saja menendang dadanya keras.
“Hanya itu?” Bayu mendekat dan duduk di atas tubuh Reno yang terbatuk-batuk sambil memegang dada. Ia menampar pipi Reno pelan, “Gimana tendangan gue? Sakit?”
“Sialan!” Reno hendak melayangkan tinju, dengan cepat Bayu memukulnya telak di bagian rusuk. Sakitnya terasa dua kali lipat, tendangan dan pukulan Bayu membuatnya benar-benar sulit bernapas.
Bayu melayangkan tinju ke rahang Reno, terdengar erangan keras yang bergema di gudang. Entah mereka sadar atau tidak, itu adalah erangan pertama yang mereka dengar setelah hampir dua puluh menit pertarungan terjadi.
Lelaki itu berdiri dari tubuh Reno, sedikit kasihan mendengar suara napas Reno yang tak karuan. “Kayaknya kalian harus cepat bawa dia ke rumah sakit sebelum kehabisan napas,” ujarnya pada teman-teman Reno yang kini menatapnya takut. “Peraturan tetap peraturan, kan? Tidak ada tuntutan apapun dari pihak yang kalah.”
Bayu kembali melayangkan tatapannya pada Reno. “Gue tunggu transferan lo. Cepat sembuh.”
Teman-teman Reno segera datang membantu ketika Bayu berjalan menjauh dengan langkah yang sedikit pincang. Belakangnya sakit karena membentur kayu, wajahnya apalagi karena pukulan berkali-kali.
“Kita antar lo ke rumah sakit,” ajak Ruly yang meringis ketika melihat lebam-lebam di wajah Bayu dengan jarak dekat. “Kali aja ada tulang lo yang patah. Bibir Lo kayaknya sobek.”
“Lo bawa minum? Gue haus.” Bayu duduk pada tumpukan kayu dan menyandarkan kepala ke tembok. Tatapannya tertuju pada tubuh Reno yang sudah dibopong keluar. “Zelo?"
“Dia lagi remedial Ekonomi,” Aska menjawab sembari memberikan botol minuman pada Bayu. “Sebenarnya gue juga, tapi gue lebih milih lo dari pada urusan sekolah.”
“Bodoh,” Bayu meneguk airnya. “Kalaupun nanti lo nggak naik kelas gara-gara itu. Gue nggak bakal milih lo dengan nggak naik kelas bareng,” sarkas Bayu. Aska mencibir.
“Bay, lo harus ke rumah sakit,” ajak Ruly sekali lagi. Ia khawatir melihat kondisi Bayu yang mengenaskan.
“Hmm, Nanti setelah gue tidur sebentar dan berhenti lebay.” Bayu mulai memejamkan mata, mencoba menghalau pening yang semakin menggerogoti kepalanya. Ia tidak mungkin pulang dengan kondisi yang tidak stabil seperti ini.
“Kita yang antar lo. Lo bisa istirahat di rumah sakit.” Ruly belum menyerah.
“Nggak,” gumam Bayu.
“Kalau gitu lepas jaket lo, biar kita bisa lihat apalagi yang luka, “gilliran Aska yang meminta.
“Berisik.”
Ruly dan Aska menyerah. Saling berpandangan, lalu menghela napas bersamaan. Seperti biasa, mereka hanya duduk menunggu Bayu hingga cowok itu bangun dari tidurnya, walaupun kadang Aska berpikir kalau Bayu pingsan bukan sedang tidur.
Hampir satu setengah tahun bersama, bagi mereka Bayu teman dekat yang masih membuat jarak untuk dirinya sendiri.
☼☼☼
Mobil Bayu berhenti sekitar dua puluh meter dari rumahnya. Dari jauh ia bisa melihat Pak Andi turun dari mobil dan meminta satpam membuka pagar, itu artinya ayahnya sudah kembali dari luar kota, yang artinya juga ia harus tinggal lebih lama agar tidak berpapasan dengan sang ayah.
Sembari menunggu, Bayu mengganti jaketnya yang sedikit ternodai darah dengan jaket yang diberikan Ane. Bayu mengecek sekali lagi luka yang sudah diobati sendiri dengan obat yang dibeli di apotek pinggir jalan. Hasil dari kebohongan besar pada teman-temannya bahwa ia akan pergi ke rumah sakit sendirian. Namun, Bayu tidak pernah melakukannya sekali pun.
Ia kemudian menyadarkan kepalanya ke jok mobil, mungkin tidur sebentar bisa menjadi alternatif bagus untuk menunggu. Getaran ponsel terdengar pada kursi di sebelahnya, nama Zelo tertera di layar.
“Hmm....”
“Reno udah trasfer duitnya. Gue dengar cerita dari anak-anak lo lagi nggak oke.”