The Scar

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #4

The Scar | 03

Terdengar sorakan dari koridor kelas sepuluh ketika Banyu berhasil memasukan lemparan tiga angka dua kali berturut-turut. Padahal itu hanya permainan pagi biasa sebelum bel masuk berbunyi. Ia ingin mencoba sekali lagi, tapi bola hitam di tangannya sudah direbut oleh Andi.  Ia terkikik. “Kita lihat, seberapa banyak sorakan yang bisa lo dapat.”

“Lo hitung baik-baik ya.” Andi mulai mengambil ancang-ancang. Tangannya sudah siap melempar bola ke ring, Banyu dengan sangat sengaja menyenggol tangannya, membuat bola itu jatuh bergelinding. “Sialan lo!!” umpatnya. “Kita ulang lagi,” pinta Andi.

Banyu tidak menggubris, saat ini fokusnya tertuju pada sang adik yang berjalan dari parkiran sekolah bersama teman-temannya.Sepertinya mereka sedang dalam pembicaraan serius. Pembicaraan yang membuat Banyu tidak suka, sebab dipastikan ada sangkut pautnya dengan luka-luka di tubuh Bayu.

“Woi... geng!!!” teriak Banyu.

“Geng?” Hanya Aska yang merespon sorakan itu dan memasang tatapan bloon. “Emangnya kita punya geng?”

“Tuh....” Banyu menunjuk dengan dagu, “Kalian,” sambungnya.

 Akhirnya perhatian empat orang itu tertuju pada Banyu. Zelo yang sejak tadi terlihat menjelaskan pun berhenti. “Ade gue kemarin pulang bonyok. Kalian ngapain lagi? Ade gue nggak pernah mau cerita.” Banyu bertanya pada teman-teman Bayu, tetapi tatapannya tetap tertuju pada saudaranya.

“Bukannya kalian kembar ya? Hidup sama-sama di perut, tanggal lahirnya juga sama. Kok bisa Bayu jadi ade lo sih, Nyu?” tanya Aska sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Ruly memutar mata.” Gue nggak abis pikir kenapa bisa jadi teman lo.”

“Ntar, beneran nih. Gue nggak ngerti—“

“Aska itu bukan pertanyaan yang harus lo pusingin. Jawab aja pertanyaan gue. Kenapa-Bayu-bisa-kayak-gitu?” ulang Banyu, menekan kata-katanya kali ini.

“Olahraga.” Ruly dan Aska kompak menjawab.

Banyu melihat bibir Bayu berkedut, sepertinya sudah salah tempat untuk bertanya.

“Udah kelar, Nyu? Kita mau ke kelas dulu.” Kali ini Zelo yang bersuara, tanpa harus menunggu jawaban Banyu, mereka kembali berjalan menuju kelas.

“Kalau wajah kalian nggak sama. Kita nggak pernah tahu kalau kalian itu saudara,” ujar Andi yang sedari tadi melihat percakapan mereka.

Banyu bergeming. Andi bisa jadi benar, mungkin juga semua orang. Jangankan mereka, ia sendiri kadang berpikiran seperti itu. Tinggal serumah dan kembar, dua hal yang membuatnya yakin kalau Bayu adalah saudaranya. Ia bahkan lebih banyak memiliki urutan daftar  tidak tahu tentang Bayu dibanding sebaliknya.

Orang-orang selalu bilang kalau anak kembar berbagi perasaan dan memiliki telapati satu sama lain. Sepertinya mereka salah, sebab Banyu sangat tidak tahu tentang perasaan saudaranya.

Lalu, siapa yang harus ia salahkan tentang kondisi ini? Orang tuanya, kah?

☼☼☼

Jadi... kapan lagi ini?” tanya Riza—wali kelas Bayu.

“Beberapa hari yang lalu.” Bayu menjawab malas dan memainkan jari-jari yang ia kaitkan di belakang tubuhnya.

“Bohong. Kemarin pagi wajah kamu belum babak belur kayak gini,” sergah Riza. Ia menatap anak walinya yang tertunduk dalam. “Kalau mereka nuntut, kamu bisa dapat masalah.”

Cowok itu mengangkat wajah. “Bayu, kan, udah bilang mereka nggak bakal nuntut. Ini nggak bakal sampai ke telinga kepala sekolah. Ini hanya masalah pribadi.”

“Masalah pribadi? Kamu itu bertarung sama banyak orang, bukan hanya satu, Bay. Gimana kalau semua orang tua mereka komplain dan mau nuntut kamu?”

“Kalau memang jalannya udah kayak gitu, yaa... habislah riwayat Bayu,” jawabnya eteng.

Riza mendesah, menatap Bayu simpati. “Sampai kapan, hm? Yayasan juga nggak minta kamu terus-terus nyumbangin uang. Cukup kamu hadir di sana bareng kami, kami udah senang. Ibu nggak tahu gimana reaksi Mama kalau sampai tahu uang yang sering kamu kasih itu uang dari hasil seperti ini. Orang tua kamu juga.”

Bayu tersenyum masam, mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Mereka nggak akan peduli.”

“Jangan pernah datang dengan kondisi seperti ini ke Yayasan. Atau Mama bakal usir kamu kalau tahu dari mana uang itu berasal. Kalau Ibu suruh kamu berhenti, kamu nggak bakal mau, kan?”

Lihat selengkapnya