The Scar

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #5

The Scar | 04

Gue dengar Reno udah keluar dari rumah sakit,” ujar Zelo. Tangannya membuka bungkusan rokok yang dibawanya dari rumah. Dengan segera Aska dan Ruly mengulurkan tangan meminta bagian. “Menurut kalian dia bakal ‘main’ sama kita lagi nggak?”

“Bisa jadi. Katanya Reno itu nggak pernah mau kalah. Gue rasa kemarin tuh dia lumayan malu sama anggotanya,” Ruly menimpali.

“Emang Reno bisnis Oriflame? Apa Tupperware?” sahut Aska.

Ruly terbatuk, tersedat asap rokok. Membuat Zelo harus memukul-mukul belakangnya pelan, sambil tertawa keras. “Otak lo ke mana sih, Ka?” tanya Ruly. Alisnya menekuk kesal.

“Nggak ke mana-manalah. Di sini aja,” jawab Aska. Telunjuknya berada samping kepala. “Lo pikir otak bisa jalan ke mana-mana. Lo nggak belajar Biologi, sih,” lanjutnya lagi. Serius.

“Kita, kan, IPS. Dodol. Yang gue heranin, lo tahu aja yang gituan.” Ruly geleng-geleng dan berdecak.

“Kalian ngomongin anggota. Emak gue suka ikut anggota begituan. Gue pikir Reno juga ngumpul kayak emak gue. Bro, cicilan gue tinggal berapa ya?” Aska meniru kebiasaan mamanya.

Sontak mereka tergelak, membayangkan sosok Reno dan teman-temannya berkumpul untuk membicarakan kosmetik atau peralatan makan dari plastik yang harganya mahal.

“Reno dengar mampus kalian.” Suara serak berat itu akhirnya terdengar. Bayu mengangkat wajah dari buku TTS yang ditekurinya sejak tadi. Ia mendengus, tanpa sadar ikut membayangkan.

“Lo mau?” Zelo menawarkan rokoknya di sela-sela tawa.

“Nggak... ini sekolah.”

Zelo menarik rokoknya, seharusnya tadi tidak menawarkan. Ia selalu lupa kalau Bayu tidak pernah melakukan hal-hal aneh di sekitar sekolah. Walaupun sebenarnya selama ini mereka tidak pernah kedapatan, karena melakukannya di belakang gudang sekolah.

Hari ini jam pelajaran olahraga kosong, istri Pak Rahmat akan melahirkan. Mereka diminta untuk melakukan olahraga sendiri. Tapi, siapa yang mau? Sudah dipastikan sembilan persen siswa akan memilih berteduh di kantin dan kelas. Lima persen mungkin mengikuti Bayu dan teman-temannya. Sisanya, mungkin pecinta olahraga sejati.

“Bay, gue suka penasaran,” ujar Aska.

“Apa?” tanya Bayu tanpa menatap Aska. Cowok itu sudah kembali sibuk denga TTS.

“Hm... Jadi lemari lo isinya jaket semua?”

“Gue udah curiga pasti sesuatu yang nggak penting lagi,” cerca Ruly dengan suara lelah.   

“Kepo lo,” jawab Bayu datar.

Aska mencebik. “Tangan lo udah kinclong banget kali yaa.”

“Eh... Lho kok!” pekik Zelo. Telunjuknya mengarah ke pohon samping gudang. Di sana berdiri seorang perempuan masih dengan tas punggungnya, wajahnya terlihat bingung.

“Dia manusia, kan?” tanya Ruly. “Kakinya nggak melayang.”

“Wiihh....” seru ketiganya ketika cewek itu menendang pohon di depannya.

Tiba-tiba, pandangan cewek itu mengarah ke mereka. Bukannya takut, cewek itu mendekat.

“Dia ke sini, Bro.” Aska terlihat bersemangat.

Gadis itu semakin dekat, wajahnya tertekuk. Namun, beberapa langkah kemudian wajahnya berubah cerah. Ia tersenyum lebar, terlalu lebar malah. Kelopak matanya membesar, kabahagian terpanjar jelas dari sana. “Ya Lord!!!” pekiknya sambil melompat senang.

Bayu yang tidak tahu apa-apa terperanjat, saat wajahnya sudah terangkat oleh tangan yang menopang kedua rahangnya.

Wajah cewek itu sangat dekat, senyumnya masih mengambang. Matanya berbinar, seperti baru saja menemukan berlian di tambang minyak bumi. “Akhirnya ketemu kamu juga. Kangen deh.” Jari-jari putih kurusnya mencubit pipi Bayu gemas. Membuat Aska, Ruly, dan Zelo terperangah hebat.

“Sara!!!”

Mereka berpaling berbarengan ke sumber suara. Terlihat Banyu yang sedang berlari ke arah mereka.

Cewek yang dipanggil Sara itu mengernyit, tangannya belum lepas dari rahang Bayu. Ditatapnya Banyu dan Bayu bergantian. “Lho, Nyu... Kok lo ada dua, sih?” tanyanya dengan alis berkerut hebat. Sekali lagi kepalanya bolak-bolak mencermati dua saudara itu. “Astaga! Kalian kembar?!!”

Bayu menghela napas, tatapan datarnya terlihat sangat tidak suka. “Tangan lo nggak sopan.”

☼☼☼

Jadi selama ini lo kembar?” tanya Sara masih dengan keterkejutan saat Banyu membawanya ke kantin. “Iihh... jadi pengin deh. Ngebayangin muka gue jadi dua.” Ia tertawa keras.

Banyu ikut tertawa. Mengangguk-angguk samar, merasa sadar kalau Sara tidak pernah berubah. Masih tetap aneh. Lulus SMP, Sara harus ikut orang tuanya ke Medan. Setelah berpisah pun mereka tidak saling memberi kabar. Sebenarnya tidak ada alasan jelas untuk melakukan itu.

Dari penampilan Sara banyak berubah. Dulu gadis itu suka mengikat rambutnya seperti ekor kuda. Sekarang rambutnya dipotong pendek sebahu dengan poni yang menutupi dahi. Wajah manis bocahnya sudah lebih dewasa dan bersinar. Sara lebih cantik....

“Nyu... Nyu!!!”

Lihat selengkapnya