The Scar

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #6

The Scar | 05

Ane mencomot ayam goreng yang sedang ditiriskan Bik Dina di piring. Tubuhnya terasa lelah, seharusnya ia langsung pulang ke apartemen untuk beristirahat, tapi entah kenapa kemudinya berbelok ke rumah sang kakak. Padahal ada beberapa alasan yang membuatnya enggan berada di rumah ini. Namun, beberapa hari ini Ane tidak bertemu dengan si kembar, Bayu lebih tepatnya, ia hanya ingin mengecek keadaan anak itu.

“Kamu nggak capek?” tanya Bik Dina, menatap wajah Ane yang terlihat letih.

“Capek, Bik. Tapi maunya ke sini dulu.”

Bik Dina kembali memasukkan beberapa potong ayam untuk digoreng, terdengar bunyi letupan-letupan kecil ketika ayam sudah bergabung dengan minyak panas. “Kan, kamu bisa datang kalau habis istirahat. Atau tidur dulu di kamar tamu,” lanjutnya.

“Nanti Bayu keburu berangkat sekolah. Akhir-akhir ini nggak ada kejadian apa-apa?”

Sebenarnya banyak kejadian kalau Bik Dina mau berkata jujur. Akan tetapi, ia memilih diam. Perempuan rentah itu sangat tahu bagaimana Ane, setelah kejadian beberapa tahun silam, wanita itu tidak begitu suka dengan saudaranya. Menurut Ane kakaknya adalah orang paling tidak punya hati sedunia.

Kedatangan Ane ke rumah itu sebenarnya membuat Bik Dina diliputi perasaan cemas, karena sudah dipastikan rumah akan gaduh akibat saut-sautan kemurkaan. Ane selalu mengatakan apa yang tidak ia suka dan sudah sangat jelas hal apa itu.

“Bik, Aku masih nunggu lho. Jangan-jangan memang ada ya? Mas siksa dia lagi?” Mata Ane membulat ketika memikirkan spekulasinya sendiri.

“Nggak... akhir-akhir ini tenang-tenang saja. Bayu, kan, sudah tahu harus gimana. Tapi kalau kamu datang ke sini Bibik jadi nggak tenang.” Suara Bibik terdengar sedikit kesal.

Ane tertawa pelan. “Yaa... nggak juga sih kalo Mbaknya nggak ngajak ribut.” Kemudian ia menghela napas, “Seharusnya Bayu ikut sama aku aja. Setidaknya di sana dia nggak hidup kayak orang numpang.”

“Lah... kalau Deva marah-marah, kamu cuekin aja. Maklumin....”

“Nggak bisa dong, Bik. Masa, iya... ada Ibu model gitu. Dia bilang benci lihat muka Bayu, apa dia nggak sadar kalau muka Bayu dan Banyu itu sama? Lihat muka Banyu pasti lihat muka Bayu juga lah.” Suara Ane mulai mengeras.

“Kamu mulai lagi. Sudah sana mending kamu temuin Bayu, abis itu pulang. Nggak perlu ketemu Deva.” Bik Dina mendorong bahu Ane agar segera menyingkir.

Namun, beberapa menit kemudian terdengar helaan napas pasrah dari mulut Bik Dina, tahu-tahu Ane yang tadi sempat diusirnya sudah duduk manis di salah satu meja makan, menunggu yang lain untuk bergabung.

Ane dengan santai menyendok nasi goreng ke atas piring dan tersenyum kelewat manis. “Bibik ke belakang aja. Aku mau ngobrol bentar sama keluarga besar ini.” Kalau sudah seperti itu Bik Dina hanya bisa pasrah dan mendengar semuanya.

“Kamu mampir?”

Ane mengangguk membalas sapaan yang diberikan oleh sang kakak, yang kemudian mengambil posisi di tengah ujung meja. Detik berikutnya Deva sudah menyusul  suaminya duduk di sebelah kanan, tiga kursi dari tempat Ane sekarang duduk. Seperti biasa tidak perlu menyapa.

Mereka sarapan dalam diam, hanya dentingan sendok yang mengisi kesunyian pagi itu. Adrian memang tipikal orang yang tidak banyak bicara, ia lebih memilih menyimpan suaranya untuk hal penting untuk disuarakan dan kedatangan Ane memang tidak pernah dianggapnya penting.

“Banyu, sarapan dulu.” Suara Deva akhirnya terdengar, senyum keibuan itu terpancar senang. Meskipun membuat Ane jijik untuk melihatnya barang sedetik pun.

“Mbak Ane kapan datang?” tanya Banyu, berjalan mendekati meja makan.

“Udah dari tadi. Ayam yang itu aku yang goreng.” Ane menunjuk sepiring ayam goreng yang sebenarnya hasil rajikan dari si bibik. “Bayu mana? Kok nggak turun?”

Banyu berdiri kaku, matanya melirik reaksi orang tuanya. Ayahnya jelas tidak memperlihatkan apa-apa. Tapi lain dari riak wajah ibunya, senyum keibuan itu hilang entah ke mana.

“Bayu!!!” Ane berdiri dari tempat duduknya untuk mengejar Bayu yang turun dari tangga dan melintas begitu saja. Tangannya mencengkram tas punggung Bayu. “Sarapan dulu.“

Bayu berbalik, lalu senyum itu terlihat. Senyum yang paling Ane benci, senyum yang membuatnya ingin segera berlari dan menampar keras wajah Deva di depan kakaknya, atau membeturkan kepala mereka ke dinding agar sadar kalau mereka punya satu anak lagi yang harus diperhatikan.

“Mbak, Ada beberapa hal yang memang udah nggak bisa lagi kita ubah. Dari beberapa hal itu, ini salah satunya. Dan Bayu udah terbiasa.” Bayu melepas cengkraman keras Ane pada tasnya. “Mbak, pulang gih. Kalau udah nggak bisa nyetir minta Abang Maqi buat jemput.”

Ane tidak berkata apa-apa, hanya saja desahan emosi itu terdengar keras saat wanita itu berbalik masuk ke ruang makan.

Dan....

Langkah kaki Bayu belum sempat berpijak pada lantai teras, suara gaduh itu terdengar. Di dalam sana, ia tahu tantenya lagi-lagi sedang memperjuangkan hak, yang sebenarnya sudah lama terlupakan olehnya.

☼☼☼

Bayu menepikan mobil tepat di depan sebuah kios kecil yang pintunya baru setengah terbuka. Waktu memang masih jauh dari angka tujuh pas, bahkan jarum panjangnya masih mengarah pada angka lima. Biasanya Bayu menggunakan kesempatan itu untuk jatah sarapan yang hampir tidak pernah dilakukan di rumah.

Namun, nafsu makan cowok itu sudah menghilang. Jari-jarinya sedang sibuk bekerja untuk membuka bungkus rokok dari plastik luarnya, hasil dari transaksi dengan bapak kios beberapa detik yang lalu. Ia duduk di bangku panjang yang berada di samping pintu lipat kios dan mulai menyalakan rokok.

Embusan asap keluar bersamaan helaan berat dari dalam mulutnya, meski begitu rasa sesak di dada tak kunjung berkurang. Tatapannya terkuci pada sosok ibu dan anak yang berada di seberang jalan. Sang ibu sedang kesulitan mengajak putranya untuk masuk ke dalam gerbang PAUD beberapa meter dari mereka. Bocah laki-laki itu menangis, tetapi dengan sabar ibunya mengelus kepalanya. Hingga bocah gembul itu mengangguk. Meskipun masih cemberut mereka berjalan menuju gerbang sekolah dengan ikatan tangan yang erat.

Hingga kilasan ingatan kembali ke permukaan otak Bayu.  Suatu kisah yang sangat ingin ia tenggelamkan di dalam kepalanya. Ketika ibunya masih mengelus kepalanya sayang, mengandeng tangannya erat, dan memberikan pelukan hangat. Namun, sekarang jangan pernah tanya, ia lupa bagaimana rasanya.

Rokok kedua kembali dinyalakan. Pikirannya kini tertuju pada kata-kata Ega tempo hari, tentang kapur ajaib yang dimiliki anak tidak nyata bernama Rudy. Mungkin ia bisa berharap hal seperti itu benar ada. Ia akan membeli kapur tersebut berapa pun harganya, kemudian menggambar dunia baru di sana.

Mengambar seorang ibu dan ayah yang bisa diajak bicara dengan leluasa dan bisa memeluknya hangat seperti dulu. Dulu yang sudah sangat lama.

Atau bisa juga mengambar hati baru dengan detakan baru. Hati yang belum tercemari oleh warna hitam kelam dan kesakitan bertubi-tubi. Hati yang tak seperti potongan keju atau rumah lebah yang berlubang sana-sini. Hati yang tak pernah terlilit oleh tanaman rambat berduri. Hati yang tak pernah ia rasakan utuh....  

Lihat selengkapnya