Banyu mengetuk pintu kamar orang tuanya, berharap di jam sebelas lewat ibunya belum tidur. Ia mencoba beberapa kali, sampai gerendel pintu berwarna cokelat itu bergerak. Dan pintu terbuka.
Cowok itu tersenyum, lalu mengangkat mug yang dibawa dari dapur. “Susu, pleasee,” pintanya manja.
Senyum Deva mengembang. “Biasanya juga kamu bikin sendiri.” Wanita itu berjalan menuju dapur, Banyu mengekor di belakang. Dinyalakannya lampu dan beranjak memanaskan air.
“Lagi pengin dibuatin sama Bunda,” ujar Banyu, duduk di kursi pantri.
Deva menilik putranya. “Kamu nggak macam-macam lagi di sekolah, kan?”
“Aku nyebelin dimarahin, aku baik dicurigain. Bunda maunya apa, sih?” protes Banyu.
Deva tertawa pelan, mendekat ke arah Banyu dan mengusap kepalanya. Mencermati wajah remaja itu, jejak-jejak suaminya sudah terlihat di sana.
“Mbak, muka Banyu dan Bayu itu sama. Bagaimana bisa Mbak dengan terang-terangan benci dan muak lihat muka Bayu, kalau selama ini yang Mbak selalu lihat bahkan Mbak cium setiap malam itu muka yang sama!!!”
“Mereka itu kembar, mereka itu sama, pernah hidup dan Mbak jaga mati-matian di dalam perut Mbak! Lalu kenapa sekarang Bayu Mbak singkirkan begitu saja. Sampai kapanpun mereka tetap sama. Sebenci-bencinya atau seberapa keras Mbak coba buat lupain, Mbak bakal tetap ingat Bayu karena sosok Banyu. Dan itu akan menjadi hukuman di sepanjang hidup Mbak nantinya!!”
“Mata kamu coklat dan teduh,” gumam Deva. Menepiskan segala tuduhan Ane tentang kemampuan membedakannya. Ia jelas tahu, sangat tahu.
“Bun, airnya mendidih tuh.”
Ucapan Banyu menarik Deva dari sibuknya pikiran. Ia menghela napas lelah, bertemu Ane tidak pernah manjadi hal yang baik.
“Ayah dah tidur?”
“Belum. Ayah lagi baca buku. Seperti biasa,” jawab Deva. Tangannya memasukkan susu ke mug.
“Baca apaan?”
“Hm...,“ gumam Deva selagi menuangkan air panas. “Astronomi?” lanjutnya dengan nada ragu. “Entalah. Ayah kamu, kan, suka baca ini itu.” Deva membawa mug tersebut ke depan putranya. “Nih, Abis itu tidur ya. Jangan tidur larut malam.”
“Thanks, Bun. “Banyu berdiri dan bergegas pergi. Sebelum sang ibu memperlakukannya seperti anak kecil.
☼☼☼
Tak seperti yang diharapkan ibunya. Banyu melewati pintu kamarnya dan menaiki tangga ke lantai tiga tempat kamar Bayu berada. Tatkala membuka pintu kamar, saudaranya tak terlihat. Namun, pintu balkon terbuka.
“Lo belum tidur?” tanya Banyu yang sudah duduk di kursi panjang kayu dengan alas duduk empuk, di samping Bayu.
“Emang ada orang tidur buka mata?” jawab Bayu datar.
Embusan napas lolos dari mulut Banyu, sudah maklum dengan sifat kembarnya. “Susu buat lo.” Ia meletakkan mug di dekat kaki Bayu yang berselojor di meja.
Bayu melirik sebentar, lalu kembali fokus pada mainan rubik di tangannya.
“Tadi lo ketemu Sara? Dia nyariin lo.”
“Lo ke sini cuma mau nanyai itu?“
Banyu tertawa pendek. Dari suaranya, Bayu seperti tidak suka dengn cewek itu. “Sara mungkin sedikit blak-blakan, Bay. Tapi, dia baik kok.” Ia menyandarkan belakangnya, lalu menyilang tangan di depan dada. “Jadi, lo jangan terlalu kasar sama dia.”
“Seharusnya tuh cewek yang lo ingatin buat nggak kasar sama gue.”
“Emang lo diapain sama dia?” tanya Banyu penuh minat.
Bayu mengembuskan napas dan melirik saudaranya tak suka. “Kalau cuma mau ngomongin itu mending lo keluar. Gue lagi malas.”
“Kapan sih lo nggak malas,” gumam Banyu kesal. Bayu tak peduli, cowok itu memilih sibuk memutar rubik, yang membuat Banyu takjub dengan jumlah kotaknya. “Gue ada tugas Biologi.”
“Gue IPS, Mas.”
Banyu menulikan telinga. Lantas membuka buku tulis bagian tengah milik Bayu, yang diambilnya dengan cepat sebelum menyusul ke balkon. Pun, pensil.
“Sebutkan empat teori tentang sel yang kalian tahu!” Banyu menyebutkan soal yang sudah dihapalnya. Terjadi jeda sunyi beberapa detik. Ia masih menunggu, sedangkan Bayu tak peduli. “Gue udah buatin lo susu,” bujuknya, berharap bisa jadi imbalan.
“Scheleiden dan T. Schwann, unit terkecil makhluk hidup. Max Schultze, unit fungsional terkecil makhluk hidup. Rudolf Virchow, unit pertum—“
“Woi, stop! Lo pikir pas lo ngomong kayak gitu, semua pindah di kertas ini terus jadi tulisan? Mungkin karena lo kelewat pintar malah kadang jadi bego. Ulang.”
“Scheleiden dan T. Schwann. Unit terkecil makhluk hidup.”
“Hm....” Banyu menuliskan kalimat tersebut dengan cepat. Mumpung saudaranya sedang baik hati.