The Scar

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #9

The Scar | 08

 Bunda gimana, Yah?” Banyu masuk ke kamar orang tuanya dan kembali menutup pintu. Lantas berjalan mendekat menuju ranjang di mana sang ibu sedang tidur lelap di balik selimut. 

“Udah baikan. Kata dokter Bunda kamu kecapaian, banyak pikiran juga. Tadi, udah siuman, tapi Ayah suruh tidur lagi.” Adrian mengangkat wajah dari buku, beralih menatap pintu yang tertutup. Sejurus kemudian pria itu mendesah dan kembali pada bacaannya.

Banyu menggenggam tangan hangat ibunya. Semalam sang ibu masih terlihat baik-baik saja, tetapi sepertinya hanya tampilan luar. “Apa karena ucapan Mbak Ane?” tanya Banyu tanpa menoleh. Namun, cukup lama ia menunggu, ayahnya tidak memberi jawaban apa-apa.

Sudah menjadi kebiasan atau tradisi. Saat Banyu mencoba untuk membicarakan tentang Bayu pada orang tuanya, pertanyaan itu hanya menghasilkan kebisuan. Seakan-akan Bayu merupakan sebuah teka-teki atau susunan soal matematika yang paling rumit sedunia, bahkan melihatnya saja membuat mereka pusing, lalu menyerah tanpa mencoba sekali.

“Ini udah bertahun-tahun, Yah. Mungkin Bunda nggak pernah cerita, tapi Banyu yakin Bunda masih suka mikirin Ega. Bunda belum ikhlas.” Banyu memijat jemari ibunya pelan. “Jadi, Bunda stress. Fisiknya sehat, tapi pikirannya enggak.”

“Ayah udah sering mengingatkan, tapi hal itu nggak gampang,” ujar Adrian. Kepalanya masih menekuri buku, tetapi tak ada kata yang tercerna dengan baik.

“Ayah juga belum, kan?” tebak Banyu, lalu tertawa hambar. “Yaa... kalau kalian udah ikhlas, pasti kalian udah maafin Bayu.”

Mendengar nama itu membuat mata Adrian benar-benar berhenti pada satu titik. Pupilnya tidak lagi bergerak untuk menyorot setiap kata pada buku di telapak tangannya.

“Banyu tadi kasih tahu dia kalau Bunda pingsan.”

Teringat reaksi saudaranya ketika mendengar kabar itu. Tubuhnya sedikit limbung. Mungkin karena sudah terlatih dan terbiasa, cowok itu mampu melenyapkan ekspresi merana dalam hitungan detik. Tergantikan oleh wajah datar dan tak peduli. Lantas berkata kalau ia punya urusan yang lebih penting. Seperti biasanya, melarikan diri.

Banyu tidak ingin memaksa, kendatipun ia punya kekuatan untuk menyeret saudaranya pulang. Ia sangat tahu, meskipun Bayu amat ingin segera berlari memeluk ibu mereka, tetapi cowok itu harus menahan hasratnya, menimbunnya dalam-dalam, sebab dipastikan sang ibu akan memalingkan wajah dan tidak akan membalas rentangan tangannya. Kemudian pekik dan tangis mengerikan akan terdengar, menuntut Bayu agar segera menjauh dengan luka hati yang baru.

“... tapi si bodoh itu bilang ada yang lebih penting,” lanjut Banyu diselingi tawa kosong. “Kalian mungkin bisa anggap ini biasa aja, tapi Banyu nggak bisa, Yah. Banyu nggak bisa kalau suatu hari Bayu semakin jauh dari kita dan nggak mau balik lagi,” Ia menelan saliva, lalu berujar, “Sayangnya, memang hal itu yang kalian harapkan.”

Adrian masih membisu. Namun, tidak juga menyuruh putranya diam dan berhenti menyampaikan kisah yang biasa memancing amarah. Pria itu berusaha menulikan telinga. Ironisnya, tak ada satu kalimat pun yang terlewatkan. Ia mendengar semunya.

“Bayu cerdas banget, Yah. Malah guru-guru bilang dia jenius. Bahkan kalau dia minta izin buat tidur di UKS atau di mana pun, gurunya pasti setuju. Soal-soal IPA aja bisa diselesaikan, padahal Bayu IPS. Dia juga sering dipilih buat ikut lomba olimpiade, tapi selalu nolak, katanya dia sibuk banyak urusan.” Senyum cerah Banyu terbentuk. Menceritakan semuanya dengan rasa bangga. Walaupun saat ini yang menjadi pendengarnya hanyalah seseorang yang tidak akan peduli.

“Yang lucu waktu salah satu orang tua teman Banyu yang paling bego di kelas datang ke sekolah. Bapaknya marah-marah, anaknya udah bego, badung lagi. Bapaknya malu, terus bilang kenapa anak aku nggak kayak Bayu aja, nggak bikin susah. Dia pengin Bayu jadi anak angkatnya.” Banyu terkikik mengingat hal konyol tersebut.

Lantas cowok itu mengalihkan pandangan dari wajah ibunya ke sang ayah yang masih tertunduk. Ia mendengkus, sedikit merasa marah. Ceritanya bahkan tidak mengubah mimik dingin ayahnya sedikit pun. “Orang lain pengin banget Bayu jadi anaknya. Seharusnya waktu itu Banyu paksa si Bapak buat bawa Bayu pulang. Bisa jadi di sana Bayu lebih dicintai, lebih bahagia, lebih—”

“Banyu,” potong adrian, suaranya ditekan dan dalam. Ia tidak ingin mendengar lagi. “Kalau Bunda dengar kamu ngomong begitu. Bunda bisa tambah sakit.”

Sekali lagi Banyu harus menghentikan usahanya. Rahangnya mengeras, menahan kemarahan yang sejak dulu tertahan. Dan ia pun harus kembali menelan semua emosi itu bulat-bulat hari ini. Bersamaan udara yang terhirup menuju paru-paru.

Banyu berdiri. Lalu menandaskan kalimat sebelum meninggalkan kamar. Sebuah kalimat yang akhirnya membuat Adrian menutup buku.

“Semoga suatu hari nanti Ayah sama Bunda menyesal udah ngebuang Bayu.”

☼☼☼

Zelo melihat jam tangan dan menghela napas. Hampir sejam Bayu berbaring di lantai dingin gudang dengan lengan kiri yang menutupi wajah. Lawan yang seharusnya diselesaikan oleh Ruly, lagi-lagi harus berhadapan dengan Bayu dan langsung babak belur.

Setelah itu Bayu tak bergerak sama sekali. Hanya suara napas dengan ritme cepat membuat mereka yakin kalau cowok itu masih berbentuk manusia bukan mayat.

“Udah hampir sejam,” ujar Zelo khawatir.

“Yang jelasnya gue nggak mau ke sana bangunin dia. Entar gue dikira lawan lagi,” timpal Ruly, mencoba mencari sandaran nyaman pada susunan balok.

Aska mendengkus. “Kalian pernah mikir nggak, kalau yang kita lakukan ini salah.” Kalimat singkat itu sontak membuat Zelo dan Ruly memutar kepala ke arahnya. “Duit yang kita dapat pas menang kita sumbangin ke yayasan anti kekerasan anak.”

Zelo mulai mengerti arah pembicaraan Aska. Namun, masih tercengang karena cowok yang kadang punya otak setengah itu berbicara dengan sangat benar. “Gue ngerti maksud lo.”

“Anak-anak di yayasan pengin lepas dari siksaan dan obatin luka-luka mereka. Mirisnya pake duit yang kita sumbangin. Ya... meski campur dengan duit orang lain. Dan yang lebih begonya, duit itu datang dari hasil kekerasaan. Kita buat orang lain babak belur baru bisa dapat duit. Anak-anak itu lari dari penyiksaan, kita malah nyiksa orang,” sambung Aska. Matanya menatap Bayu nanar.

“Lo beneran teman gue, kan? Jiwa lo nggak ketukar sama siapa-siapa?!” Ruly mengguncang-guncang tubuh Aska, berharap makhluk yang merasuki temannya segera pergi.

“Gue lagi serius, Rul. Keren, kan, gue?” ujar Aska sambil memainkan alis. Ruly refleks memukul kepalanya.

Tatapan Zelo beralih ke Bayu, tidak lagi peduli dengan dua temannya yang kembali berisik karena aduh cubit. Kemudian kisah lama itu kembali muncul di pikirannya. Ketika pertama kali mereka bertemu dengan Bayu.

Waktu itu ia, Aska dan Ruly, baru pulang dari pesta ulang tahun teman SMP mereka. Jalanan mulai sepi. Sialnya, Ban mobil Zelo bocor di daerah sunyi penduduk, mau tidak mau mereka harus berhenti dan menggantinya sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara bising mendatangi mereka. Ada tiga motor dengan dua orang masing-masing di atasnya. Zelo tahu kalau mereka anak geng yang sangat ingin diakui keberadaannya dengan cara menjijikan.

Awalnya Zelo yakin bisa mengalahkan mereka, hanya perlu membagi rata dan bertarung habis-habisan. Namun, satu di antara mereka mengeluarkan senjata tajam. Membuat ia dan kedua temannya harus mundur karena hanya punya alat-alat bengkel. Meskipun bisa menghasilkan rasa sakit yang mengeluarkan darah, tetapi arit mereka lebih mengerikan. 

Cowok itu menatap Ruly dan Aska, memberi isyarat untuk kabur secepat yang mereka bisa. Baru saja hendak memberi aba-aba, teriakan kesakitan terdengar dari lawan. Satu motor jatuh tepat di depan mobil yang lampunya kini menyorot mereka.

Beberapa detik kemudian Bayu turun—teman kelas yang sangat mereka segani. Wajahnya dingin dengan sorotan mata tajam, darah terlihat menetes dari ujung-ujung jari kirinya. Cowok itu berjalan maju, tidak takut dengan enam orang yang menatapnya berang atau pada senjata yang sewaktu-waktu bisa menebas kepalanya. Ia menghisap batang rokok dalam, sebelum membuang puntungnya ke samping motor yang ringsek karena ulahnya. 

Lihat selengkapnya