Bayu menggulung perban baru di atas luka-lukanya, kali ini lebih tebal, karena jumlah goresan kembali bertambah. Setelah selesai, ia berjalan menuju lemari untuk mengambil jaket, lantas menutupi lengan dan seragam dengan benda tersebut.
Dengan sedikit kesulitan Bayu menggendong tas. Lengannya susah digerakkan, denyut perih masih sangat terasa. Namun, ia tak peduli, sebab rasa itu sudah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun. Bayu membuka pintu kamar dan langkahnya terhenti tatkala menemukan Ane bersandar pada pilar tangga, tatapannya sayu. Bik Dina pasti sudah menceritakan kejadian semalam.
Ane tersenyum, sangat kentara sebuah paksaan. Ia mendekat lalu memeluk keponakannya erat.
“Hari ini Mbak antar kamu ke sekolah. Nanti Mbak jemput lagi.” Ane mengusap-usap punggung Bayu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Ikut Mbak pulang, yah,” ajaknya dengan suara sengau.
“Pulang ke mana? Ini rumah Bayu,” ujar Bayu santai.
Membuat punggung Ane berguncang. Bayu tersenyum masam, alasan lain yang membuatnya bertahan hidup adalah sosok satu ini. Sosok yang peduli dan merawatnya sejak kecil, bahkan selalu memperjuangkan posisinya. Orang pertama yang akan memberikan pelukan hangat ketika orang tuanya kembali melukai.
“Mbak udah lihat sendiri aku baik-baik aja. Dan bakal terlambat sekolah kalau Mbak nangis terus.” Bayu tersenyum miring ketika Ane memukul punggungnya.
Ane melepaskan kaitan mereka, lalu menghapus air mata. “Kalau ada apa-apa segera kabari Mbak.”
Bayu mengangguk. “Antar Bayu ke sekolah. Tapi, nanti nggak usah jemput.” Ia jalan lebih dulu menuruni tangga, tanpa harus mempedulikan protes lain tantenya. Rumah masih terlihat sunyi, kedua orang tuanya belum terlihat di ruang tengah seperti pagi biasanya, kalau sudah begitu jangan tanya soal Banyu.
“Bayu nggak sarapan?” tanya Bik Dina yang berjalan dari meja makan, wajahnya terlihat cemas.
“Sarapan di sekolah aja, Bik. Mbak Ane mau antar, jadi buru-buru.”
Bik Dina menatap Ane yang mengangkat kedua bahunya pasrah.
☼☼☼
Banyu membuang napas kasar di depan saudaranya yang tertidur pulas atau mungkin pura-pura tidur di pojok perpustakaan. Lima menit ia memanggil nama saudaranya dengan sangat sabar, tetapi tak digubris sama sekali. Kenyataanya Banyu tidak memiliki kadar kesabaran tinggi atau memang tidak memilikinya sama sekali.
Akhirnya, cara memanggil diubah ke cara menendang kaki. Dan seketika sadar kalau cara terakhir seharusnya dilakukan sejak awal. Kedua retina Bayu menatapnya malas sedikit terlihat memerah.
“Apa yang terjadi semalam?” tanya Banyu tak sabar.
“Apa yang terjadi semalam,” ulang Bayu datar.
“Gue tanya sama lo? Apa yang Ayah sama Bunda lakuin semalam?” Banyu menahan suaranya untuk tidak berteriak.
Bayu membenarkan duduknya. “Kalau semalam lo nggak dengar apa-apa, artinya nggak terjadi apa-apa.”
“Gue dengar Bik Dina nelepon Mbak Ane.”
“Gue udah lupa. Cuekin aja, itu juga bukan urusan lo.” Bayu sudah siap-siap untuk menutup matanya lagi.
“Gue saudara lo!!!” Suara Banyu mulai meninggi. Tak peduli akan diusir dari perpustakaan.
Bayu tersenyum miring. “Gue dengar gosip di sekolah ini kalau kita ini musuhan, jadi kita nggak pernah bareng. Dan teriakan lo, buat mereka semakin yakin.” Ia melirik beberapa orang di belakang Banyu, sedikit heran sejak kapan rak-rak favoritnya jadi tempat berkunjung.
Helaan napas Banyu terdengar keras. Tertunduk sesaat mencoba meredam emosi. sedetik kemudian kepalanya terangkat. “Lo yang buat hubungan kita runyam, Bay. Lo selalu menjauh dari gue. Lo nggak pernah ngizinin gue buat tahu masalah lo,” ungkap Banyu frustrasi.
Bayu mengusap lengan lukanya yang tertutupi jaket. Ia harus pura-pura lupa dengan apa yang terjadi semalam, mengingatnya terus menerus hanya akan membuatnya kembali menambah luka goresan yang belum kering.
“Lo sangat tahu kenapa kita kayak gini. Gue nggak mau Bunda semakin benci sama gue karena dekat sama lo. Gue juga nggak mau hanya gara-gara belain gue lo bertengkar dengan Ayah.” Bayu mengatakannya dengan berbisik. Ia membasahi bibir kemudian melanjutkan, “Mulai sekarang lo harusnya udah ngerti gimana caranya buat nolongin saudara lo. Meski itu bukan cara yang benar, seenggaknya bisa buat kita aman.”
“Sampai kapan pun gue nggak bakal ngerti.” Banyu meninggalkan tempatnya berdiri. Membuat beberapa orang yang sejak tadi penasaran, ikut bubar karena ketahuan menguping.
Bayu mendengkus, selalu merasa lebih baik kalau Banyu melakukan itu untuknya, menjauh. Baru saja ingin mencari posisi nyaman untuk tidur, tiba-tiba sepatunya kembali tertendang. Untung bukan tangannya yang menjadi sasaran kali ini, Bayu cowok itu melindungi tangan kirinya.
“Kalian harus sering-sering bareng. Hitung-hitung pahala,” kata Sara asal setelah melihat beberapa siswi terlihat mengintip ke arah keduanya.
“Jangan ganggu gue,” usir Bayu malas. Saat ini ia sedang malas meladeni Sara. Sebenarnya malas di setiap waktunya.
Alih-alih pergi, Sara duduk di samping Bayu dengan gaya nyosor seperti biasa. Sampai ujung buku besar yang dibawanya tak sengaja menyentuh lengan kiri Bayu dan membuat cowok itu mengaduh. “Tangan lo sakit?” tanya Sara dengan nada khawatir. Tangannya refleks terjulur untuk memeriksa, tetapi langsung ditepis oleh Bayu.
“Ini gara-gara gue tahu Pascal sama Maximus itu siapa. Jadi, gue pengin hancurin apapun di samping gue. Sayangnya waktu itu hanya ada jendela.”
Sara tertawa “Bohong banget. Padahal gue cuma bercanda soal peran itu.” Tawanya terdengar lebih keras.
“Pergi lo, gue pengin tidur,” usir Bayu sekali lagi.
“Ini perpustakaan sekolah, kan, ya, jadi gue bisa masuk ke sini. Terus ini juga masih daerah perpus, jadi mau-mau gue mau duduk di mana. Kalau lo mau, lo aja yang pindah.”
Bayu hanya menghela napas, bukan Sara namanya kalau bukan si tukang mencampuri urusan. Bayu kembali menutup mata, diam lebih baik. “Geser,” perintahnya. Namun yang terjadi lengan Sara semakin menempel pada lenganya dan suara cekikilan terdengar. Matanya kembali terbuka lalu melirik Sara kesal.
“Lo bilang geser,” kata Sara polos, senyum jahil terbentuk di sudut bibirnya.
“Gue tahu lo ngerti banget maksud gue.” Tapi Sara hanya menggeleng, Bayu memutar bola mata. “Geser-ke-kiri-sejauh-jauhnya,” jelasnya penuh penekanan di setiap kata.
“Ouwhh....” Mulut Sara membulat, kemudian terkekeh. Tubuhnya bergeser sesuai perintah, tiga kotak keramik mungkin sudah sejauh-jauhnya. “Udah, kan? Dari pada lo tidur mulu, nggak ada manfaatnya. Mending lo ngerjain soal matematika gue. Tadi sebelum rapat, Pak Samsuddin ngasih kelas gue tugas yang belum diterangkan sama sekali. Siapa yang berhasil dapat duit seratus ribu, bermanfaat banget kan?”
“Semua manfaatnya hanya buat lo. Mending lo diam.”
Sara memberenggut tidak suka. “Pelit,” gumamnya. Jelas kata itu tidak berpengaruh pada cowok di sampingnya. Nyatanya mata Bayu sudah kembali tertutup.
Bayu bernapas lega saat Sara akhirnya sadar dan memilih diam. Seperti biasa yang terdengar hanya sayup-sayup suara yang berada beberapa meter dari tempatnya duduk. Hal yang sudah menjadi kebiasan selama ia bersekolah di tempat itu.
Namun, beberapa menit kemudian ia sadar pemikirannya salah tentang suara sayup-sayup dari kejahuan atau kenyamanan. Nyataanya keadaan itu sudah berubah beberapa hari terakhir ini, karena cewek tukang bicara yang duduk di sampingnya. Terdengar tawa Sara diselingi bunyi pukulan pada paha, untuk kesekian kali Bayu harus membuka mata.