“Ready go!!” teriak sang pemimpin cheerleader di tengah lapangan basket sekolah. Dengan segera anggotanya melakukan thigh stand, di mana flyer berdiri di atas paha dua base dalam posisi satu kaki menekuk dan satu lurus. Tepukan tangan terdengar dari siswa kelas 10 yang sejak tadi terhipnotis akan program pengenalan eskul tahap dua tersebut.
Sara ikut bersorak ketika para cheers sudah membuat piramida, di mana Dinda menjadi flyer-nya. Temannya itu memang keren, Dinda sudah bergabung dengan tim cheer sejak SMP, jadi sudah sangat ahli. “Lo keren banget sih... kampret,” gumam Sara.
“Weh... mulut Neng Sara bisa gitu juga yaa.” Sara menoleh ke belakang sesaat suara itu terdengar. Ada Aska—yang bersuara tadi, Zelo dan Ruly yang sudah datang mendekat dan duduk di sampingnya.
“Personilnya kurang nih,” kata Sara ketika Bayu tak terlihat di antara ketiganya.
“Kalau Bayu ada di situasi kayak gini. Artinya dia harus dibawa ke Ustaz untuk rukiah,” ujar Aska lagi. “Gue demen yang kayak gini.” Tatapannya mulai fokus ke depan.
“Lo mau ikut eskul ini juga?” tanya Zelo, sejak tadi ia melihat Sara menonton dengan antusias.
“Nggak... malas gue. Mau fokus belajar aja deh, otak gue rada-rada di bawah standar.”
“Otak kami juga gitu. Tapi, kami mah malas belajar. Kalau nyontek rajin, kami punya otak bersama, otak Bayu.”
“Rul, itu aib keluarga, lo nggak boleh cerita.” timpal Aska, namun tatapannya masih terarah ke tengah lapangan.
Sara tertawa. “Kalian enak kalau gitu. Btw, dia ke mana?” Sara mengangkat pandangannya ke koridor lantai dua di depan kelas Bayu.
“Palingan juga tidur atau baca buku,” jawab Zelo, mengikuti pandangan Sara menuju kelasnya. “Lo nggak bakal nemuin dia di sana.”
“Kalian udah teman lama? Kok kayaknya udah saling ngerti,” tanya Sara, menatap ketiganya dengan penasaran.
Ruly mendengkus. “Temenan dari kelas 10, tapi sampai saat ini kita nggak pernah diajak ke rumah dia. Kita sih tahu alamatnya, tapi kalau nggak diundang, kan, nggak enak. Mungkin itu yang dinamakan saling pengertian.”
“Masa sih?” Mata Sara sedikit membulat. “Jadi, selama ini kalian main di mana aja?”
“Sekolah, cafe, yayasan, jalanan. Hm... di mana lagi ya?” Aska berpikir sejenak, mencoba menemukan jawaban yang lain. “Mimpi gue pernah kayaknya,” sambungnya, membuat ketiganya menatap ngeri.
“Ngapain lo mimpiin Bayu?” dengus Zelo.
“Suka-suka gue lah. Mimpi, mimpi gue,” jawab Aska tak acuh.
“Bayu suka berantem ya?” tanya Sara lagi dan sangat yakin kalau pertanyaannya itu memberi efek beku terhadap tiga cowok itu. “Waktu awal-awal, gue sering lihat bekas luka di muka dia. Pernah juga di yayasan ngobatin luka dia. Terus...”
Kalau kamu terus-terusan kayak gini... kamu bisa bunuh diri kamu sendiri. Sara teringat tentang percakapan yang sengaja didengarnya beberapa minggu yang lalu. Membuatnya semakin genjar mendekati Bayu, meski cowok itu masih mati-matian menghindarinya.
“Kok gue ngerasa ada yang nggak beres dengan Bayu.” Sara melanjutkan kalimatnya. Ia menatap Zelo yang kini tersenyum kecut. Gadis itu yakin Zelo juga pasti setuju dengan kalimat tersebut.
“Sejak awal kenal kita udah tahu, cuma nggak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita juga nggak bisa maksa Bayu buat cerita, karena itu hak dia. Jadi, setia nemenin dia kapan aja udah cara kami buat ngasih tahu dia kalau kami selalu ada buat dia,” ungkap Zelo.
“Yang paling buat gue penasaran, kenapa Bayu nggak pernah ngelepas jaket dia?” Aska melanjutkan dengan wajah serius. “Tapi, Ega pernah cerita kalau Bayu nggak pake jaket kalau lagi main sama dia.”
Terdengar embusan napas kasar dari Ruly. “Kita kan udah pernah bilang kalau kita tulus buat jadi teman Bayu. Kalau kalian udah mulai curiga ini itu sama hidup dia, nggak kedengar tulus lagi. Gue yakin suatu hari dia pasti bakal cerita, sabar aja napa.” Mendengar kata-kata Ruly membuat mereka terdiam dan mulai sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Sara.” Suara Ruly kembali terdengar. “Gue bukannya ngancam, tapi kalau lo datang cuma buat keadaan Bayu tambah parah. Gue nggak segan-segan buat nyakitin lo.”
Sara bisa melihat keseriusan di mata Ruly, teman-temannya pun sudah menatapnya dengan ekspresi yang berbeda-beda. “Lo bisa nyakitin gue sepuasnya kalau suatu hari gue nyakitin teman kalian.” Ia mengatakannya dengan nada paling yakin. Karena setelah mendengar kalimat neneknya tempo hari, hatinya yang sedih kala itu sangat ingin membantu Bayu. Meskipun tak tahu harus menolong cowok itu dari apa. Mungkin Sara hanya bisa bersabar seperti yang dilakukan sahabat-sahabat Bayu.
“Omong-omong, nenek bilang. Kalian jadi penyumbang tetap di yayasan. Usaha café, kan? Ajakin gue nongkrong di café kalian dong,” desak Sara dengan senyum antusias. Berbanding terbalik dengan reaksi tiga cowok di hadapannya.
“Emang kita punya ca... hmphh.”
“Aska lihat tuh si Siska, dulu tomboy, kan? Sekarang bisa jadi cheers. Hebat dia, mana makin manis lagi,” potong Ruly, tangannya masih membekap mulut ember Aska. Menyerahkan sepenuhnya pada Zelo.
Zelo mendengus bodoh. Selain mereka, tidak ada yang boleh tahu dari mana sumber sumbangan tidak normal mereka berasal. Anggap saja hasilnya seperti itu. Tapi, Zelo tak pernah sekali pun berpikir tentang jawaban yang akan diberikan kalau ada yang meminta alamat café tak nyata itu. Ia harus menjawab apa? sedangkan wajah Sara masih terlihat menunggu.
“Gengs!!!” Keempatnya menoleh ke arah jelmaan Bayu yang datang mendekat. Namun, mereka tahu itu Banyu dengan baju basketnya.
Zelo menghela napas tipis. Merasa lega sebab Banyu secara tak langsung sudah menyelamatkan dirinya.
“Lo udah masuk tim mereka juga, Sar?” tanya Banyu.
“Formulir gue nggak pernah di-acc sama saudara lo,” balas Sara. Wajahnya dicemberutkan.
Banyu tertawa. “Sabar. Gue pinjam Sara bentar.” Cowok itu menarik tangan Sara menghindari keramaian. “Entar malam lo sibuk?”
“Hm... nggak. Kenapa?”
“Nanti malam ulang tahun Almarhuma ade gue. Dan Bunda tahu kalau lo udah balik, jadi Bunda ngundang. Pengin ketemu lo lagi.”
“Ke rumah lo?” Entah mengapa prihal tersebut membuat rasa bahagia Sara mengembang. Pikirnya langsung tertuju pada Bayu. “Oke. Kasih gue alamatnya, kalian udah pindah dari rumah lama, kan?”
Banyu mengangguk. “Lo nggak perlu dijemput?”
“Nggak usah. Bikin lo repot. Bayu ada juga, kan?”
Senyum cerah Banyu sempat menghilang beberapa detik. Lagi, cowok itu mengangguk “Yaiyalah..., kan, rumah dia juga.”
Sara tertawa pendek. Namun, dalam hati yakin sudah mendengar keraguan dari suara Banyu.
☼☼☼
Dan keraguan Sara terjawab.
Hampir tiga puluh menit gadis itu berada di rumah Banyu, tetapi cowok yang dicari belum juga menunjukan kehadirannya. Sebenarnya kondisi ini sudah ada di kepalanya, hanya saja berharap sedikit tidak masalah, bukan? Karena harapan adalah doa. Namun, ada juga doa yang tak langsung dikabulkan.
“Sara sekarang sudah gadis. Tante sampai pangling lihatnya,” komentar Deva yang langsung menghentikan aksi melirik Sara ke arah tangga. “Sekelas sama Banyu, Nak?”
“Nggak Tante. Tapi, di sekolah sering ketemu kok,” balas Sara sopan.
“Sering main-main ke sini, kan, sudah tahu alamat rumah. Dulu waktu masih SMP kamu biasa main ke rumah lama,” pinta Deva.
“Iya, Tan... kalau ada waktu Sara datang deh.”