Bayu menatap pintu hitam yang berdiri tegak di hadapannya bersamaan dengan pikiran yang terbelah dua, antara masuk atau mencari tempat lain, karena ia tidak mungkin pulang ke rumah dengan wajah babak belur. Yang cowok itu tahu sang pemilik apartemen sedang ke luar kota beberapa hari yang lalu, ruangan di baliknya sudah pasti kosong, jadi seharusnya tempat ini menjadi pilihan satu-satunya.
Selang beberapa menit, Bayu mulai menggerakkan tangannya menuju tombol kunci untuk memasukkan password yang sudah dihafal di luar kepala. Bunyi ‘ceklek’ panjang terdengar ketika ia selesai menekan tombol angka tersebut, kemudian pintu terbuka.
“Sayang, kamu kok__ Bayu???”
Sebelas alis Bayu terangkat ketika tahu tempat tantenya tidak kosong seperti yang dipikirkan. Kenyataannya saat ini sudah berdiri laki-laki yang mungkin beberapa bulan lagi akan menjadi omnya.
“Kamu bikin kaget aja, kirain Mbakmu yang pulang kecepetan,” sambung Maqi, ketika tidak ada reaksi dari Bayu.
“Kalian kumpul kebo’ ya?”
Seketika Maqi berharap kalau bocah ini tidak perlu bereaksi apapun tentang kehadirannya. Walaupun kejadiannya tidak seperti itu, entah mengapa ketika Bayu mengatakan kalimat itu dengan wajah datarnya ia seperti tertuduh bahkan tertangkap basah.
“Nggaklah. Ane suka titip rumah kalau keluar kota,” jelas Maqi. Namun berakhir dengan cengengesan aneh karena Bayu sudah berjalan menuju sofa cokelat panjang di depan TV dengan wajah yang kini berubah menjadi tidak peduli sama sekali. “Kamu abis berantem?” tanyanya lagi.
“Nggak,” jawab Bayu malas, tubuhnya sudah dibaringkan di sofa dan menutup wajahnya dengan lengan kanan.
Maqi berjalan mendekat dan duduk di sisa sofa, tepat di bawah kaki cowok itu. Matanya memindai tubuh Bayu. Selain wajah yang penuh luka, buku-buku kedua tangan bocah itu terlihat memar, bahkan mengeluarkan darah yang sudah mengering. Maqi menghela napas, lalu menyilangkan kedua lengannya di depan dada.“Kalau Ane tahu kamu berantem lagi, pasti dia sedih.”
“Makanya jangan dikasih tahu.”
Maqi tersenyum kecut, sudah sangat tahu karakter Bayu selama ini. “Awalnya Abang kira yang jago berantem tuh Banyu, soalnya lihat dari karakter dia dan cerita Ane waktu kalian masih kecil. Tapi lama-lama baru tahu kalau kamu yang paling jago. Apa enaknya berantem sih Bay? Muka ganteng dibonyok-bonyokin gitu, kan, rugi.”
Bayu membuang napas. Ia datang ke tempat tantenya dengan niat menghidari pertanyaan panjang lebar, tetapi sepertinya salah. “Bang, jangan bawel kayak Mbak dong. Aku ngantuk.”
“Abang bersihin luka kamu dulu baru tidur. Itu sepatu kamu juga belum dilepas.” Maqi bangkit dari duduknya, lalu beranjak mengambil kotak obat yang Ane letakkan pada lemari gantung dapur. Sedangkan Bayu tanpa harus mengubah posisi, melepas sepatu dengan kakinya bergantian.
Maqi berdecak melihat sepatu Bayu yang sudah berserakan di karpet bulu. Ia membungkuk untuk merapikan dan meletakkannya di sudut sofa. “Sini muka kamu,” ujar pria itu dan kembali duduk di bawah kaki Bayu. Namun Bayu bergeming. “Bay—”
“Nggak usah. Entar juga sembuh sendiri.”
“Nanti kalau infeksi bahaya.”
Bayu mendorong tubuhnya untuk duduk, embusan napas terdengar keras, sebuah tanda keputusasaan besar. “Abang pernah dengar kalau racun ular kobra bisa digunakan buat pencegahan kanker?”
Maqi berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Terus?” tanyanya penasaran. Ia tahu Bayu bukan cowok yang suka mengeluarkan kata-kata tidak berisi sama sekali dari dalam mulutnya.
“Kalau dari sudut pandang orang biasa, pasti hal itu bahaya banget, karena racun ular mematikan. Tapi, kalau untuk si penderita sendiri, pasti mereka bakal ngelakuin hal apa aja buat sembuh, salah satunya racun itu.” Bayu lagi-lagi menghela napas kasar. “Anggap aja aku sedang butuh banget racun ular itu buat sembuh.”
Maqi mengerti yang dimaksud Bayu bukan racun ular dan kanker. Semua itu hanya konotasi lain yang Bayu pilih untuk mengambarkan luka-luka di tubuhnya dan sebuah penyembuhan entah dari apa. “Jadi kamu butuh luka-luka ini? Dari apa?”
Tiba-tiba Maqi sadar akan sesuatu. Tentang Bayu dan penolakan orang tuanya. Itulah sebabnya Bayu mencari sebuah penyembuhan dari rasa sakit hati.
“Abang yakin kalau kamu tahu saat ini racun-racun itu masih dalam tahap penelitian. Mereka masih ragu dengan dosis yang seharusnya. Jika lebih, tentu saja akan menyebabkan kematian. Sama halnya dengan luka-luka di tubuh kamu.” Maqi menepuk bahu Bayu pelan, kemudian meremasnya memberi kekuatan. Ia yakin Bayu mengerti akan kata-katanya. “Masuk ke kamar Ane buat tidur. Luka-luka kamu obatin sendiri aja. Bisa, kan?”
Bayu mengangguk, tatapan matanya masih lurus memandang karpet bulu. “Kalau Mbak Ane tahu tentang ini, aku bakal beberin kalau kalian kumpul kebo.”
Maqi mendengus, entah mengapa ancaman itu terdengar lucu di telinganya. Ia kemudian mengangguk menyetujui semua yang dikatakan Bayu, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi selama ini pada cowok yang duduk di sampingnya, yang sedari tadi masih menundukkan kepala.
☼☼☼
“Saudara gue mana? Semalam dia nggak pulang, hari ini juga nggak masuk sekolah,” tanya Banyu cemas. Pasalnya baru kali ini Bayu tidak pulang ke rumah selama mereka tinggal bersama, belum lagi ponselnya sejak kemarin tidak bisa dihubungi.
Zelo, Aska, Ruly mengangkat kepala mereka bersamaan dari mangkuk bakso. “Kita juga nggak tahu Nyu. Sumpah.” Aska menjawab sambil mengangkat dua jarinya ke udara.
“Selama ini, kan, kalian suka nongkrong bareng. Pasti kalian tahu dia ke mana.” Banyu mendesah keras.
“Kita emang kemarin bareng, Nyu. Tapi, sekitar jam 9 malam dia bilangnya mau pulang. Dan hari ini dia nggak masuk. Kita juga nggak tahu dia ke mana. Lo udah tanya sama Sara? Mereka sering bareng,” jelas Zelo.
Banyu menggeleng. “Sara kemarin bareng gue.” Ia bertolak pinggang mencoba memikirkan sesuatu, kemudian mengingit bibirnya dan pada akhirnya tidak menemukan apa-apa. “Kalian nggak ada janjian berantem sama preman gitu? Terus Bayu maju sendiri?”
“Nggak mungkinlah, Nyu. Kita nggak pernah main sama preman. Lagi pula kalau berantem Bayu suka ngajak-ngajak kita,” kata Aska, masih tetap menikmati kuah baksonya.
“Kalau kalian tahu sesuatu, tolong cepat kabarin gue. Gue khawatir ade gue kenapa-napa.” Banyu terdengar benar-benar memohon kali ini hingga membuat ketiganya langsung mengangguk mantap. Kemudian, cowok tinggi itu berlalu dari hadapan mereka.
“Kita nyariin Bayu, tapi nggak tahu kenapa waktu kita ngomong sama Banyu, gue ngerasa kalau gue ngomong sama Bayu. Terus siapa yang kita cari? Gitu yaa kalau punya kembaran, kita nggak benar-benar ngilang,” celoteh Aska sembari menyadarkan tubuhnya ke kursi plastik kantin sekolah.
“Ruly, lo beneran nggak tahu dia ke mana? Setahu gue kalian jalan bareng ke parkiran semalam.” Zelo mengalihkan pandangannya ke Ruly yang sejak tadi diam tanpa suara.
Setelah pamit dari Cafe semalam Ruly memang tahu Bayu di mana dan sedang apa. Namun, setelah Bayu mengantarnya pulang ia tak tahu lagi tentang keberadaan cowok itu. “Setelah dari Cafe itu gue nggak tahu dia di mana, kita pisah gitu aja,” bohong Ruly, tetapi ada beberapa persen kejujuran pada kalimatnya.
Aska dan Zelo mengembuskan napas bersamaan. “Dia nggak pernah kayak gini,” ujar Zelo sendu.
Ruly mungkin yang paling cemas di antara teman-temannya, karena kemarin melihat jelas bagaimana wajah Bayu yang babak belur karena aksi bosannya. Ia takut terjadi apa-apa, bisa saja karena bekas pukulan yang tak terdeteksi membuat Bayu pingsan di jalan atau mungkin cowok itu kembali diserang. Ruly menutup mata dan berdoa dalam hati, semoga yang dipikirkannya salah.
“Bayu beneran nggak hadir ya?” Kehadiran Sara membuat mereka kembali mengangkat kepala. “Gue telepon tapi ponselnya nggak aktif. Tuh, anak ke mana?”
“Di yayasan beneran nggak ada?” tanya Ruly.
Sara menggeleng, tangannya menarik kursi tepat di samping Zelo, lalu meletakkan wadah plastik kecil di atas meja dengan kura-kura di dalamnya.
“Lo melihara kura-kura?” Kali ini Aska yang bertanya seraya menarik wadah plastik itu, lalu mengamati dari dekat. “Tapi kok kura-kuranya nggak gerak?”
Sara tampak lesu. “Bukan... itu punya Ega. Dia bilang udah beberapa hari ini Donatello nggak makan, males gerak, katanya sakit. Tapi, gue ngerasa tuh kura-kura udah mati. Dia minta gue sama Bayu bawa ke dokter hewan buat periksa, biar cepat sembuh. Kalau udah mati gue harus bilang apa? Ega pasti sedih banget.”
“Donatello? Bukannya itu personil kura-kura ninja ya?” Zelo tertawa.
“Yang namain Ega. Gue sempat nanya kenapa milih nama itu karena ada tiga personil lainnya. Dia cuma bilang kalau dia lebih suka warna ungu ketiban biru, jingga, sama merah.” Mendengar penjelasan Sara ketiganya tertawa kecil. “Kalian jangan ketawa dulu. Donatello udah mati dan Bayu hilang.”