The Scar

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #15

The Scar | 14

Lo brengsek! sialan! Ya Allah, Astagfirullah, Bayu Al-Fahri lo apain pipi gue tadi. Dasar laki-laki jahanam!” cecar Sara tiada henti.

Bayu hanya menjadi pendengar setia, terhitung sudah lebih dari setengah jam yang lalu. Mulai dari selesainya adegan itu sampai kembali ke mobil dan mulai berjalan ke yayasan untuk membawa Donatello ke rumah barunya. Dan kalimat yang terdengar hampir sama sejak tadi.

“Gue nggak nyangka lo setega itu sama pipi gue. Lo ngomong dong, kasih alasan kek, bela diri kek, atau tanggung jawab gitu. Kenapa lo kayak menikmati banget.”

“Harus segitu banget ya reaksi lo,” ujar Bayu datar. Mata Sara membulat. Tangannya langsung memukul lengan Bayu keras. “Lo injak, tendang gue, gue biasa aja.”

“Itu beda!” Sara menopang wajahnya dan mulai menangis tersedu-sedu tanpa air mata. “Pipi gue.”

“Drama.”

“Untung nggak ada bekasnya,” keluh Sara.

Bayu memutar bola mata, cewek di sampingnya memang kurang waras. “Lo yakin nggak berbekas?”

Sara menatap Bayu sengit, lalu mengambil poselnya dan mengecek keadaan pipinya lagi. Ia bernapas lega karena tidak menemukan sesuatu, walaupun sebenarnya pipinya dicium bukan ditampar. Sara bodoh!!! “Senang lo yaa lihat gue jadi bego. Bekasnya nggak ada.”

“Ada.”

“Nggak ada.”

“Ada... Di hati lo.”

Bam. Seperti bola air yang meledak tepat di jantungnya, terasa dingin lalu menguar ke seluruh tubuh. Sara sadar itu hanya ocehan tidak bermutu Bayu, tetapi gadis itu berani bersumpah kalau kalimat tersebut memberi efek serius pada hatinya.

Sudut bibir Bayu berkedut. Kepalanya ditopang dengan tangan kanan yang bersandar pada jendela mobil, memijitnya pelan kerena sakit kepalanya belum hilang. ”Lain kali lo pengin gue buat mati suri nggak?”

“Otak lo tuh yaa, brengsek!!!” Sara melakukan serangan bertubi-tubi dengan kepalan tangannya di sisi kiri tubuh Bayu. Tanpa berpikir kalau saat ini cowok itu sedang berkonsentrasi dengan kemudi.

Bayu berdecak, tahu-tahu menepikan mobilnya. Melihat keadaan itu Sara menghentikan serangannya menjadi waspada, jangan-jangan Bayu akan membuatnya mati suri kali ini. Namun, cowok itu hanya membuka pintu mobil dan keluar. Sara masih mengamati dari dalam.

Beberapa detik kemudian Bayu mengangkat tangannya pada salah satu taksi yang berlalu, kemudian berjalan menuju pintu milik Sara dan membukanya.

“Lo ngusir gue?” tanya Sara dengan pelototan.

“Kalau kita nggak pisah yang ada kita berdua bakal mati sama-sama. Gue mah ogah mati bareng lo.”

Sara berdesis, lalu mengambil barang-barangnya dengan kasar, begitu juga dengan kandang Donatello. Dengan cara menyentak ia berjalan menuju pintu taksi yang terbuka dan masuk.

Bayu membuka pintu penumpang bagian depan lalu mengambil ponselnya pada saku celana. “Pak, balik sini dong.” Ketika sang sopir memperlihatkan wajahnya, Bayu dengan cepat menekan tombol capture. “Buat jaga-jaga kalau teman saya hilang. Bapak yang saya salahin, foto Bapak sudah ada sama saya. Saran aja nih yaa, jangan berani macam-macam sama dia, Pak. Dia garang. Kayak macan.”

Sara mendengkus ketika sang sopir tertawa dengan kalimat itu.

“Pak, ponselnya pinjam, boleh?” Sopir tersebut dengan patuh memberikan ponselnya. Bayu segera mengetikkan nomor ketika ponsel si sopir di tangannya. “Nih, nomor saya. Kalau dia sudah sampai, kabarin saya.”

“Kenapa nggak nyuruh dia saja, Dek.”

“Dia lagi ngambek. Mana mau.” Bayu menatap Sara yang langsung membuang muka. “Lo pikir aja dulu. Sebenarnya lo marah sama gue atau gemes.”

Bayu menutup pintu dan berlalu. Meninggalkan Sara yang sudah menutup wajah.

Sara kesal. Lebih kesal lagi karena di lain sisi ia merasa gemas!

☼☼☼

Bayu menyandarkan kepalanya di atas stir ketika mobil sudah terparkir pada carport belakang rumah. Beberapa menit yang lalu sang sopir sudah mengabarkan kalau beliau sudah mengantarkan Sara dengan selamat, membuatnya kembali tersenyum. Namun, kepalanya semakin berat, hidungnya terasa nyut-nyut, begitu juga lehernya yang terasa terbakar. Demam sudah pasti menanti....

Sejak semalam badannya kurang enak, tetapi tak memedulikan karena pikirnya hanya pegal-pegal biasa karena habis adu jotos. Dan sepertinya hujan tadi menambah beban tubuhnya saja. Sakit dan sendirian adalah dua hal yang paling tidak cowok itu inginkan seumur hidupnya. Sialnya, ia harus menyapa keduanya hari ini.

Dengan malas Bayu keluar dari mobil dan berjalan ke pintu belakang. Ia hanya perlu mandi dan membungkus tubuhnya dengan selimut tebal lalu tidur. Pintu ia buka tanpa harus mengendap, kemarin pagi Bik Dina pulang kampung karena cucunya akikah dan besok pagi baru kembali. Jadi, Bayu tidak perlu menyembunyikan wajahnya dari siapa pun, orang tuanya sudah dipastikan belum pulang kantor di jam-jam sore seperti ini.

Tapi, ia salah....

“Nggak perlu sampai telepon polisi. Paling dia keluyuran lagi sama teman-teman nggak benarnya.” Deva geram.

“Ini udah hampir 24 jam, Bun. Dan Bayu belum pulang-pulang. Gimana kalau terjadi sesuatu sama dia?” Banyu mulai menekan tombol di ponselnya.

Deva meraih dan melemparnya ke sofa.“Bunda bilang nggak usah. Kamu malu-maluin orang tua aja.”

Lihat selengkapnya