“Yakin lo udah bisa sekolah hari ini?”
Bayu mendelik ke samping, sudah ada Banyu bersandar nyaman pada jok taksi yang ia pesan untuk dirinya sendiri. “Lo ngapain?”
“Jalan, Pak,” ucap Banyu santai. “Ke sekolahlah Bayu. Lo nggak lihat gue udah rapi kayak gini, hah?” Jari-jari tangannya merapikan dasi yang miring.
“Lo, kan, punya mobil,” balas Bayu malas. “Turun sana mumpung belum jauh.”
Banyu berdecak kesal. “Sekali-kali ke sekolah bareng nggak masalah kali. Mbak Ane juga sering ngeteror gue selama lo sakit gue harus jagain. Siapa tahu lo pingsan di taksi atau ketemu sama preman-preman. Gue, kan, bisa lindungin.”
“Gue udah sembuh. Jadi, jangan alay. Jijik gue.”
“Sembuh apanya, muka lo masih pucat gitu. Kenapa nggak nambah libur lagi sih, lo kan baru izinnya dua hari. Lo juga nggak bakal jadi bodoh kalau ninggalin pelajaran sejam doang,” cecar Banyu.
Bayu hanya membuang wajah menatap jendela samping.
“Tempat makannya lucu, Dek. TK di mana ya?” Banyu cekikilan sambil melirik tempat makan susun berwarna merah dengan motif bunga sakura yang berada di tengah-tengah mereka. Bik Dina sengaja menyediakan bekal bubur untuk Bayu karena belum bisa makan sembarangan pesan dari Ane.
Wajah Bayu semakin dongkol. “Pak, boleh nepi terus turunin orang ini nggak?” Bukannya kesal Banyu malah tertawa lebar begitu juga dengan si sopir yang mengulum senyum. “What the floor,” gumamnya dengan wajah ditekuk.
Banyu mencoba menahan tawa saat tahu kalau saudaranya sudah mulai tidak suka dengan candaannya. Ia memilih diam dari pada membuat Bayu semakin kesal dan menurunkannya di pinggir jalan.
Taksi berhenti di depan pagar setelah beberapa menit kebungkaman mereka. Banyu turun lebih dulu dan membayar taksi. Bayu masih harus membereskan bekalnya ke dalam tas, tiba-tiba sadar.
“Pak, ini buat Bapak aja deh. Bubur buatan Bibik saya enak banget,” Bayu menyodorkan bekalnya ke depan, sang sopir menatapnya heran. “Tempatnya nggak usah dibalikin. Koleksi Bibik saya banyak.” Karena belum ada reaksi apapun dan Bayu mulai kesal, ia meninggalkan bekal begitu saja di kursi penumpang.
Ia kemudian turun dari taksi ketika sang sopir mengangguk masih dengan wajah bingung. Banyu masih menunggu di depan gerbang, cowok itu sepertinya mendengarkan petuah Ane dengan benar. Namun, Bayu melewatinya tanpa menegur.
Banyu berjalan cepat untuk menyamakan langkah. “Bekal lo mana? Ketinggalan ya?” Ia berbalik melihat taksi yang tadi mereka tumpangi dan kosong. “Udah pergi.”
“Udah gue kasih sama sopirnya. Kasihan Bapaknya lapar,” jawab Bayu sekenanya.
Banyu lagi-lagi tertawa, sudah pasti Bayu yang mengakali kotak bekal itu agar jauh-jauh darinya. Mereka berjalan masuk bersamaan, pemandangan yang tidak biasa di pagi hari. Apalagi sudah dua hari tidak melihat Bayu di sekolah. Meskipun hari-hari biasanya mereka jarang menemukan Bayu berkeliaran. Dan hari ini keduannya datang barengan.
“Sara!” Retina Banyu tidak sengaja menemukan gadis itu berjalan di koridor kelas satu. Bayu langsung mengikuti arah pandangan saudaranya, bersamaan dengan Sara yang menoleh menatap keduanya.
Sara yang sadar akan kehadiran cowok yang selama dua hari ini tak ada kabar, memberengkut karena kembali mengingat adegan kutukan batu beberapa hari yang lalu. Ia membuang muka dan pergi.
“Sara tuh ngambeknya sama gue apa lo?” tanya Banyu sambil menggaruk kepala.
“Nggak tahu.” Bayu mengangkat bahu ringan. “Sama lo kali. Udah ah... jangan ikut-ikut gue lagi.”
Bayu berjalan cepat menuju kelasnya di lantai dua. Kakinya baru saja menjajali tembok lapangan basket, langkahnya terhenti kerena tangan yang menutup matanya.
Bayu mendengkus. “Lo nggak lepas gue banting.”
“Galak banget, gue kira abis sakit galak lo rontok dikit gitu.” Aska melepas tangannya, mengganti dengan merangkul bahu cowok itu.”Untung lo sakitnya cuma dua hari, gue nggak kebayang harus barengan sama dua orang bego ini lebih lama pas ada ulangan harian. Ya Allah... mereka begonya udah kronis banget. Gue nggak bisa nyontek... nyontek juga percuma kerena jawaban mereka hampir soal semua.”
Ruly maju dan memiting leher Aska. “Bacot lagi lo gue patahin nih leher.” Aska hanya terkekeh geli.
“Yakin udah sembuh?” tanya Zelo.
“Menurut lo?” tanya Bayu balik, kakinya mulai melangkah maju melintasi lapangan basket.
“Kalau lo nggak enak badan bilang,” lanjut Zelo.
“Yes, Mom,” canda Bayu dengan wajah datar. Langkahnya sekali lagi terhenti saat getaran di saku celananya.
From: 081267XXXXXX
Gue Reno. Bisa ketemu? Nggak berantem sih ada orang yang mau kenal ma lo. Siang ini. Tempat biasa.
Bayu memperhatikan teman-temannya yang sudah berjalan lebih dulu dan sekali lagi ia tidak ingin melibatkan mereka.
To: 081267XXXXXX
K
☼☼☼
Senyum sinis Bayu terlihat saat tatapannya terarah pada cowok yang juga balik menatapnya dengan senyuman serupa. Reno duduk di atas balok kayu yang tersusun di pabrik bekas. Satu kakinya dibiarkan menjuntai, satu lagi dinaikkan sebagai penopang tangan saat menikmati rokok.
“Sendiri?” tanya cowok itu dengan alis yang hampir menyatu.
Dengan berbekal kebohongan ingin ke toilet, Bayu berhasil melarikan diri dari teman-teman dan juga saudaranya.“Sendiri juga pasti bisa ngalahin lo, kan? Tumben lo nggak bawa teman-teman lo.”
Reno tertawa lantang. “Gue cuma antar orang hari ini. Gue nggak ada urusan sama lo. Mungkin suatu hari.” Reno turun dari tempat duduknya, membuang puntung rokok lalu menginjaknya. Kemudian berjalan lebih dekat ke Bayu, tersenyum menatap intens. “Gue pikir lo terlalu berani datang sendirian hari ini.”
Bayu mendengkus, tatapannya menantang Reno. “Badan lo paling tahu gue.”
“Well... itu badan gue. Bukan badan mereka.” Reno berbalik badan kemudian berteriak. “Makanan kalian udah datang!!!”
Setelah itu enam orang masuk dari pintu sisi kiri, yang berlawanan dari pintu yang Bayu pakai masuk tadi. Ia terkikik kala melihat salah satu orang yang berjalan di depan, masih sangat hafal dengan wajah itu.
“Lo yang nyerang sekolah gue, kan?” tanya Bayu tenang. Suaranya tak terdengar takut sedikit pun. “Gue Bayu omong-omong, bukan Banyu.”
“Gue penasaran sama lo.” Cowok itu berjalan ke tengah gedung, kedua tangannya tenggelam ke dalam saku celana. Matanya memindai Bayu. “Katanya lo suka terima tantangan orang. Kedengarannya kok lo sombong banget ya.”
Bayu menggigit bibirnya menahan dengusan. Bukan ingin menertawai cowok yang sedang bicara, tetapi heran dengan orang-orang yang ikut bersamanya. Tanpa pakaian sekolah dengan tindik di mana-mana. Bayu yakin mereka preman pasar yang tahunya main keroyokan sana-sini. “Ini teman-teman lo, No?” Kepalanya dipalingkan ke Reno yang kembali membakar rokok. “Gue nggak tahu kalau lo temenan sama preman-preman kayak gini.”
Reno geleng-geleng kepala. “Nyali lo gue akuin gede banget.”
Bayu kembali melirik Reno. “Lo harusnya tanya Reno prosedurnya gimana kalau mau nantangin gue.” Matanya kembali menatap Gema. “Nggak asal datang terus berantem.”
Terdengar tawa dari Gema dan teman-temannya. Si preman dengan telinga berlubang bicara. “Kayak mau lamar kerja aja... Elahh. Kayaknya lo mulai takut nih?” Ia memandang remeh Bayu.