“Aku udah bilang jangan ke rumah sakit ini, kita bawah ke tempat kita aja. Aku nggak mau Bayu ketemu sama mereka!” ujar Ane masih di sela-sela tangisnnya. Tangannya sibuk memukul tubuh Maqi.
Maqi memeluk Ane. “Rumah sakit ini paling dekat dari rumah.”
“Tapi, aku nggak mau ketemu mereka!!!” teriak Ane.
“Ssstt... kita nggak akan ketemu mereka kalau itu mau kamu. Kamu harus tenang, kuatin diri kamu, Bayu butuh itu.” Maqi mencium rambut Ane lalu kembali mengusap punggungnya.
Salah satu Dokter muda berjalan mendekati mereka—Nabil tertera di atas kantong jas dokternya. “Kondisi Bayu stabil, nggak perlu transfusi darah, lukanya juga nggak cukup dalam,” ujarnya. Helaan napas lega Maqi terdengar, meski Ane masih setia menangis di dadanya. “Tapi ada yang lebih penting.” Ia terdiam sejenak, membuat Ane melepaskan dari pelukan Maqi dan beralih menatapnya. “Self harm, He is positive. Kalian tahu?”
Ane menutup wajahnya, air matanya semakin banyak. Kendatipun Nabil tidak menjelaskan, ia sangat tahu apa yang telah terjadi dengan keponakannya hari ini. Namun mendengar kalimat itu membuatnya yakin, bukan hanya hari ini Bayu melukai dirinya, ada hari-hari lain entah sejak kapan.
“Kami baru tahu hari ini,” jawab Maqi.
“Walaupun masih terlihat ringan, tapi kalian tahu kalau kasus ini bisa sangat berbahaya kalau pasiennya nggak segera ditangani. Kalian harus ngobatin Bayu atau kalian bakal lihat dia kayak gini lagi, mungkin bisa lebih parah.” Nabil memandang keduanya serius. “Bayu bakal gue pindahin ke ruang perawatan.”
“Sayang, aku bantu Nabil dulu,” kata Maqi yang mulai bergerak mengikuti Nabil.
Ane hendak membuka mulut, tiba-tiba teringat sesuatu yang lebih penting, membuat api amarahnya meletup-letup bagai lahar. Ia mengangguk pada Maqi, menunggu pria itu berlalu, kemudian berbalik badan, menghapus air matanya, lantas menghubungi orang dengan ponselnya lalu melanjutkan langkah.
Wanita itu memencet tombol angka 4 pada dinding lift berkali-kali dengan tidak sabar. Berharap lift segera membawanya ke lantai yang diinginkan.
Selang beberapa detik pintu lift kembali membuka, Ane berjalan keluar dengan langkah besar dan kasar. Pintu destinasinya sudah berada di depan mata, tanpa harus mengetuk ia membuka dengan kekuatan, hingga terdengar suara gaduh ketika pintu terbuka.
Tatapan empat mata terkejut dan bingung menyambut kedatangannya yang tiba-tiba. Ane masih terus berjalan, melewati tubuh sang kakak yang terlihat ingin bertanya, tetapi tak dipedulikannya. Yang ingin ia lakukan saat ini hanya....
PLAK....
Tamparan keras berhasil Ane hadiakan ke pipi kiri Deva. Terdengar ringisan keras, bahkan wanita itu hampir terjungkal dari kursi besi di sisi kiri tempat tidur perawatan Banyu. Napas Ane memburuh, dadanya naik turun dengan cepat, tangannya gemetar. Ia ingin melakukannya sekali lagi tapi tangannya sudah tertahan. Tidak perlu melihat siapa yang melakukan itu.
“Kamu apa-apaan?” tanya Adrian, suara emosinya terdengar tertahan. “Banyu lagi istirahat.” Matanya melirik Deva yang masih terlihat syok, seraya memegang pipinya yang memerah.
Ane melepas tangannya kasar, menatap Adrian dengan kebencian, air matanya kembali jatuh. “Kalau saja hari ini Bik Dina masih ada di kampung dan aku nggak cepat datang. Kalian pasti sudah senang banget di pemakaman Bayu.” Ia terkekeh saat tahu tidak menemukan reaksi apapun dari keduanya.
“Mas...,” ucapnya pelan, diturunkan sedikit kadar kebencian dari tatapannya. “Hari ini Bayu ngiris tangan dia dan sekarang lagi ditangani di UGD. Anak kembar kalian hari ini hampir kehilangan nyawa, TAPI KENAPA HANYA BANYU YANG KALIAN PEDULIIN!”
“Banyu ketusuk gara-gara dia. Kamu nggak kasihan sama Banyu?!!” Deva membalas teriakan Ane.
Ane menatap Deva dengan senyum miring. “Kasihan?” Ia kembali terkekeh, lalu menatap keponakannya yang sedang berbaring tenang di tempat tidur, kondisinya baik-baik saja. “Setidaknya Banyu punya orang tua yang lengkap untuk jagain dia. Terus... apa yang kalian kasih buat Bayu?” Ane menghela napas lelah. “Bayu sakit, Mas. Ini karena kalian!!!”
Adrian masih bergeming membuat Ane putus asa. Sepertinya hati kakaknya memang sudah tak bisa terselamatkan lagi.
“Sakit apanya? Dia kelihatan baik-baik aja, berantem sana-sini-”
“DIA SELF INJURY!!!” Teriakan Ane memotong kalimat Deva, air matanya mengalir deras. Baru kali ini Ane bisa benar-benar melihat perubahan di wajah keduanya, tapi ia tahu kalau itu hanya ekspresi terkejut biasa, kerena nyatanya mereka tak akan pernah peduli.
“Sepertinya emang nggak ada gunanya ngejelasin ini sama kalian. Papa bakal kecewa dan sedih banget kalau tahu Mas udah jadi monster nggak berhati kayak sekarang. Kalian emang orang tua hebat!” Ia tersenyum sinis, lalu membalikan tubuhnya ke arah pintu.
“Ane....” Langkah Ane terhenti ketika mendengar suara berat kakaknya.
“Ini terakhir kalinya kalian nyakitin Bayu. Aku bakal bawa dia pergi dari rumah kalian, sejauh-jauhnya. Setelah itu... anggap kita nggak saling kenal, lupakan tentang keluarga. Kalian bisa anggap Banyu anak satu-satunya yang kalian punya dan Bayu nggak pernah lahir sama sekali ke dunia. Aku nggak mau sakit Bayu tambah parah karena hidup terbuang.” Ane melanjutkan langkah.
☼☼☼
Bayu menelan salivanya yang terasa seperti duri, saat berhasil mengembalikan kesadarannya setelah entah beberapa jam tertidur. Perih di tangan kirinya memperkuat otaknya bawah ia telah benar-benar sadar. Semua adegan yang terjadi beberapa jam lalu kembali muncul di kepalanya, tetapi cowok itu masih saja tidak tahu kenapa berada di tempat itu dengan infus di tangan kanan.
“An... kamu makan dulu dong, aku udah beliin sate ayam kesukaan kamu. Bawang gorengnya udah aku banyakin juga.” Maqi terlihat membujuk Ane yang sepertinya sedang merajuk di ujung sofa.
Ane menarik tisu untuk menghapus air matanya, lalu membersit hidung. “Kamu pikir sate ayam lebih penting dari kondisi Bayu. Sate ayam bisa aku makan kapan-kapan, tapi kalau terjadi sesuatu sama Bayu, bakal cari Bayu di mana?” ujarnya masih tersedu-sedu.
“Kan, tadi Nabil bilang dia baik-baik aja. Cobain aja setusuk nih, perut kamu juga butuh diisi. Buang-buang makanan nggak boleh, Sayang,” bujuk Maqi.
“Aku bilang nggak, ya nggak.” Ane masih keras kepala.
“Kalian mending pulang aja deh, berisik.” Bayu akhirnya angkat suara dari pengamatan diam-diamnya selama beberapa menit. Sontak membuat dua sejoli itu berlari mendekat ke tempat tidurnya.
“Kamu udah sadar? Mana yang sakit bilang sama Mbak?” cecar Ane, ia mengusap pelan lengan Bayu yang terbungkus perban putih.