Tatapan Adrian masih terpaku pada tangan tak bertenaga sang putra. Ini kali pertama tangan mereka kembali bersentuhan, setelah sekian lama ia mencoba untuk terus menghindar dan tak peduli. Beberapa detik yang lalu kesadaran Bayu sudah menghilang total, tubuhnya masih terbaring lemah pada lantai dingin.
Pria itu menatap wajah putranya nanar. Warna pucat masih mendominasi, lingkaran hitam terlihat di bawah mata. Begitu pula luka-luka bekas pemukulan dua hari yang lalu. Ia menyisipkan kedua lengannya ke belakang tubuh Bayu, lalu mengangkat putranya ke atas ranjang perawatan.
“Mas, kita harus bawa dia ke rumah sakit jiwa. Kalau terus-terus kayak gini kita bakal jadi korban!” protes Deva masih saja terdengar. “Ingat, Mas. Dia yang udah buat Ega-”
“Deva,” potong Adrian. Berbalik dan berjalan mendekati tubuh istrinya yang gemetar karena amarah, lalu meremas kedua bahu wanita itu. “Dev, kalau kita masukin Bayu ke RSJ, orang-orang perusahaan akan tahu. Berita tentang kita punya anak yang gila akan tersebar di mana-mana, itu akan merusak nama baik kita,” jelas Adrian pelan, membuat mata Deva terbelalak.
“Mereka juga pasti bakal tanya lebih lanjut sebab akibatnya. Kamu mau setiap harinya direcokin tentang Bayu? Dengar namanya saja kamu nggak suka.” Adrian tersenyum sesaat, lalu melanjutkan, “Nanti aku cari cara yang lain supaya kita tetap aman dan Bayu bisa pergi jauh dari kita.”
Deva terdiam, suaminya benar. Kalau orang-orang tahu mereka punya anak yang sakit jiwa, itu akan menjadi bomerang untuknya sendiri.
“Kamu ngerti, kan?” tanya Adrian. Deva mengangguk, senyumnya sudah kembali terlihat. “Kalau begitu balik ke kamar Banyu. Kasihan dia sendirian.”
Setalah Deva benar-benar pergi, Adrian kembali berjalan mendekat ke ranjang Bayu. Tangannya perlahan menyentuh wajah sang putra, jari-jarinya kemudian mengusap sisa-sisa aliran air mata yang hampir mengering.
“Kenapa bisa luka kayak gini?” tanya Adrian lembut pada Bayu kecil yang duduk di bangku taman kompleks rumah mereka. Ia meniup-niup luka berdarah di lutut bocah itu.
“Banyu ngedorong sepedanya kencang banget, Yah. Kalau nggak ada pohon itu, Bayu pasti udah nyungsep di kolam. Bayu kan nggak bisa renang,” jelas Bayu di tengah-tengah tangisnya. Membuat sang ayah terkikik, kerena kolam itu hanya setinggi lutut orang dewasa.
“Sudah, ah. Jangoan masa nangisnya banyak. Ayah juga sudah kasih Banyu hukuman karena nakal.” Adrian mengusap pipi putra lima tahunnya yang basah. “Nanti lukanya kita obatin di rumah.” Tangannya sudah berpindah untuk mengikat tali sepatu Bayu yang sempat terlepas. “Mau Ayah gendong atau jalan sendiri?”
Bayu berpikir, wajahnya terlihat menggemaskan dengan bibir yang mengerucut. Ia lalu turun dari bangku dan meringis. “Jalan aja. Kalau digendong nanti diejekin lagi sama Banyu.”
Adrian menarik tangan kecil Bayu lalu menggenggamnya erat. “Ayo pulang, bentar lagi hujan.”
“Ayah, kenapa bisa ada hujan, emangnya di langit banyak air? Banyu bilang katanya malaikat lagi mandi makanya ujan,” celoteh Bayu polos.
Adrian tertawa kemudian menjelaskan semuanya sepanjang perjalanan mereka kembali ke rumah.
Air mata luka itu akhirmya jatuh, bersamaan dengan bayangan masa lalu yang memudar. Adrian kini menyadari, sudah terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk membuat garis saling berjauhan dengan putranya. Tangan yang dulu sangat kecil kini terasa berbeda. Tangan kecil itu menghilang sudah sangat lama. Begitu juga dengan wajah polos yang selalu bertanya banyak hal, tergantikan wajah takut dan penuh luka ketika memandangnya.
Garis-garis samar dan perban di kedua tangan putranya, membuat hatinya tertohok. Betapa selama ini ia sudah membunuh putranya secara perlahan, dengan pedang-pedang keegoisannya sendiri.
Bayu-nya terlupakan sudah sangat lama. Melupakan bahwa wajah itu yang selalu menemaninya bertahun-tahun yang dulu, yang sudah sangat lama, di sebuah perpustakaan kecil yang mereka punya di dalam rumah.
“Mas, ngapain di sini?!!”
Adrian menghapus air matanya. “Mas hanya nolongin Bayu yang hampir dibawa Deva ke Rumah sakit jiwa.”
“Wanita sialan!!!” geram Ane. Ia baru saja akan melangkahkan kaki, tetapi tangan Adrian lebih dulu menahannya. “Mas lepasin.” Gerakan Ane terhenti saat melihat mata kakaknya yang sembap, entah apa yang sudah terjadi di sini, tapi ia yakin kakaknya baru saja menangis.
“Bawa Bayu pergi dari rumah setelah ini,” ujar Adrian dengan suara bergetar. “Keluarga kami udah nggak bisa tertolong lagi. Cara satu-satunya hanya menolong orang-orangnya satu per satu. Dan Mas mau kamu nolongin Bayu.”
Kendatipun terdengar kejam di telinga Ane. Namun, kalimat Adrian menyentil hatinya hingga membuat matanya kembali basah. “Mas... Bayu nggak pernah mau pergi dari rumahnya. Dia selalu bilang rumah itu tempat di mana ibu, ayah, dan juga saudaranya berada. Dulu dia pernah kehilangan dan sekarang dia nggak mau lagi.” Adrian memalingkan wajah. “Apa udah nggak ada sedikit cinta yang bisa kalian bagi buat Bayu? Hanya kalian yang bisa nyelematin dia.”
Adrian menarik Ane ke dalam pelukan. “Maafin, Mas. Dari awal Mas udah salah besar. Tapi, Mas nggak punya pilihan lain.”
☼☼☼
Helaan napas Ane kembali terdengar ketika melihat keponakannya masih tidur di selimut. Semenjak bangun dari tidur, Bayu tidak bicara sama sekali. Ane sudah beberapa kali membujuknya untuk makan, tetapi tak diindahkan.
Bayu hanya bangun ketika harus ke toilet atau menutup tirai jendela ketika Ane terus-terus membukanya. Hingga malam datang pun, lampu utama tak dinyalakan, ruangan hanya diterangi oleh lampu neon kecil di atas ranjang Bayu.