The Scar

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #19

The Scar | 18

Kita ke sini mau jengukin Banyu, Sar?” Zelo melirik Sara jengah. “Karena gue nggak yakin kalau di sini ada Bayu,” lanjutnya. Kembali teringat drama keluarga Bayu. Sebelum cowok itu mghilang

Sara berhenti dan berbalik. “Bayu udah hilang empat hari, kan? Dan bodohnya gue lupa, kalau gue nyimpan kontak Tante Bayu. Waktu gue minta informasi dari dia, dia minta gue datang ke sini.” Gadis itu menghela nafas. “Yang gue nggak suka kenapa harus ketemu di sini.”

“Perasaan gue kok nggak enak,” ucap Ruly mengusap tengguknya.

“Kalian mikirnya jangan macam-macam. Kali aja Tantenya Bayu mau ngasih tahu tuh bocah di mana. Tapi karena datang cengukin Banyu, makanya sekalian minta ketemu di sini.” Ketiganya langsung menatap Aska yang berdiri santai.

“Kayaknya ada orang pintar baru meninggal, terus rasukin dia,” gurau Ruly. Aska menatapnya tak suka.

“Zel... tolong tertibikan dua teman lo ini. Seharusnya tadi mereka nggak diajak,” protes Sara sembari melanjutkan langkah untuk mencari ruangan dokter Nabil sesuai petunjuk Ane.

Dengan modal bertanya pada beberapa perawat yang lalu lalang. Sara dan juga para cowok berhasil menemukan ruangan para dokter yang berjejer pada koridor. Spesialis bedah.

“Emang kita diizinin masuk, Sar?” Zelo terlihat ragu saat Sara masih terus berjalan untuk mencari pintu berlabel nama yang dimaksud.

“Bukannya kalau mau nemuin dokter harus daftar dulu, ya?” Aska bersuara, langkahnya terhenti. “Iya, kan, Rul?” Wajah polosnya membuat Ruly mendengkus.

“Ya iya... kalau lo mau konsultasi kesehatan. Kita, kan, cuma pengin ketemu sama orang, Bego. Ckck....” Ruly geleng-geleng putus asa. “Atau lo daftar sana. Bedah tuh otak lo yang nggak ada kemajuan sama sekali.”

Sekonyong-konyong salah satu pintu terbuka, langkah Sara dan Zelo terhenti.

“Kalian mau ketemu Ane, ya?” tanya dokter itu dengan alis berkerut.

“Dokter Nabil?” tebak Sara.

Pria itu tertawa kecil, lalu mengangguk.

“Ngomongnya di dalam aja. Ane bentar lagi nyampe, kok. Ada keperluan di luar katanya.” Nabil membuka pintu ruangannya lebar, mempersilakan remaja itu masuk.

Sara dan Zelo masuk lebih dulu. Disusul Ruly dan Aska berebut untuk masuk. Mereka memposisikan tubuh pada sofa hitam berukuran sedang. Aska yang terlambat masuk, membuang napas pasrah karena harus duduk di karpet.

“Tuh, ada kursi. Ambil aja,” ujar Nabil, seraya menunjuk dua kursi yang berada di depan meja kerjanya.

“Nggak usah, Dok. Di sini empuk banget,” ujar Aska. 

“Tunggu Anenya, ya. Saya mau ke kamar pasien dulu.” Nabil beranjak dan menutup pintu dari luar.

Beberapa menit kemudian, pintu yang ditutup Nabil kembali terbuka. Ane masuk dengan wajah lelah, tetapi masih melempar senyum lebar.

“Hallo, Mbak.” Sara berdiri untuk bersalaman. “Maaf, Mbak. Sara nggak datang sendiri. Mereka bertiga teman dekat Bayu.”

Mata lelah Ane membulat. “Bayu punya teman dekat?”

Pertanyaan tersebut membuat Sara dan yang lain bingung. Apa salahnya kalu Bayu punya teman dekat?

“Eh... Maaf. Bukannya Mbak nggak percaya sama kalian. Tapi, Mbak nggak percaya sama ponakan Mbak yang punya teman dekat, karena Mbak tahu banget dia orangnya gimana. Tapi, tahu kalian ada, Mbak senang banget,” ungkap Ane senang.

“Mbak duduk aja dulu.” Sara menarik salah satu kursi dari meja kerja Nabil. Lantas meletakkannya lebih dekat dari sofa. Setelah Ane duduk, gadis itu melakukan hal yang sama. “Kenalin teman-teman Bayu... Aska, Zelo, Ruly.” Sara menujuk para cowok itu satu per satu.

Senyum Ane mengembang. “Saya Ane. Panggilnya Mbak aja yaa... jangan panggil Tante. Saya masih muda, kan?”

Sara yang sudah pernah mendengar kalimat itu, tertawa. Sedangkan ketiga cowok di sebelahnya hanya mengangguk kaku. Sebeku senyum yang diperlihatkan.

“Terus, Bayu ke mana, Mbak?” tanya Zelo.

Senyum Ane berubah sendu, membuat Zelo dan lainnya sedikit tegang menunggu penjelasan dari wanita itu.

Ane menarik napas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. “Mbak awalnya pengin cerita ke Sara aja. Soalnya Mbak tahunya dia dekat sama Bayu. Tapi, ternyata Mbak salah, masih ada juga yang tahan sama sifat nyebelin dia itu.” Ane terkikik, mengingat wajah menyebalkan keponakannya yang beberapa hari ini tak terlihat.

“Mbak percaya sama kalian. Jadi, Mbak harap setelah kalian tahu apa yang terjadi. Kalian masih mau ada di samping Bayu. Tapi, kalau kalian takut, sebaiknya kalian pergi jauh-jauh dari dia.” Senyum sendu Ane kembali terlihat.

“Bayu kenapa sih Mbak?” Suara Zelo mulai tak sabar.

Kebingungan melanda Ane sesaat, sepersekian detik kemudian tersadar kalau teman-teman Bayu belum tahu apa-apa. Ada beberapa hal yang mungkin dirahasiakan oleh keponakannya. “Bayu dirawat di rumah sakit ini."

“A-apa?” Sara langsung memalingkan kepalanya pada Zelo, yang katanya tidak tahu menahu perihal hilangnya Bayu. “Kalian yakin benar nggak tahu dia berantem parah terus di bawah ke sini? Kalian bilang waktu itu cuma antar Banyu.”

“Waktu itu dia nggak kenapa-napa, kan?” tanya Ruly. Zelo yang ditanya hanya menatap kosong ke depan.

“Bayu sakit bukan karena luka berantem,” jelas Ane. Semua tatapan kembali ke arahnya. “Bayu ngiris tangan dia sendiri.”

Hening. Itu yang terjadi ketika Ane berhasil menyelesaikan kalimat yang menyakitkan untuknya sendiri. Teman-teman Bayu terlihat syok, mereka menatap Ane dengan kehampaan dan juga kesedihan yang terpancar jelas. Mata Sara mulai memerah...

Seketika Zelo ingat dengan garis-garis di lengan Bayu dan juga kejadian mengerikan saat orang tua cowok itu datang. “Apa kejadiannya setelah Banyu ketusuk?” Suara Zelo bergetar.

Ruly dan Aska tersadar, menatap Zelo setegah terkejut. Mereka juga jelas-jelas ingat apa yang terjadi.

Ane mengangguk pelan. “Dia... self injury.”

Kalimat pendek itu menjadi bom atom untuk semuanya. Mereka terduduk lemas, mengetahui teman mereka yang terlihat biasa-biasa saja. Ternyata selama ini menyimpan luka teramat besar dan berdarah-darah.

Tanpa harus dijelaskan, mereka sudah tahu tentang istilah medis itu. Bahkan Aska sekali pun. Cowok itu tertunduk dalam, mengingat apa yang telah mereka lakukan setahun ini. “Jadi, selama kita berantem itu buat nyakitin dirinya sendiri?” Aska berdecih. “Ternyata dia lebih bego dari gue.”

“Dan jaket,” Ruly menimpali. “Untuk nutupin luka-luka di tangan dia. Dia nggak mau kita tahu kalau selama ini dia sakit.”

Sara mendengarkan kenyataan itu satu per satu. Dan mulai mencocokan dengan fakta-fakta yang ditemukannya sendiri. Bayu yang tak terlihat sewaktu SMP. Ekspresi orang tua Bayu saat mendengar nama cowok itu disebut. Bayu yang sangat dekat dengan sang nenek yang notabene seorang Psikiater. Begitu pula percakapan yang sempat terdengar di ruang perawatan.

Satu kesimpulan besar bahwa selama ini Bayu tidak bahagia.

“Mbak harap kalian nggak ninggalin Bayu ditengah jalan. Beberapa hari ini dia nggak mau ngomong sama orang. Dia selalu mikir kalau dia gila dan bisa ngelukain orang lain.” Embusan napas lirih keluar dari mulut Ane. “Mbak sengaja panggil Sara buat tolong bujukin. Siapa tahu dia mau ngomong sama orang selain Banyu. Mbak minta tolong sama kalian ya... tolong bilang kalau dia bisa sembuh.”

“Emang siapa yang bilang dia gila, Mbak?” tanya Zelo

“Ibunya. Malahan Bayu hampir dibawa ke rumah sakit jiwa,” jelas Ane.

“Gilakk,” teriak Ruly. “Gue nggak nyangka kalau Bayu tersiksa banget sama tuh emak-emak. Lo masih ingat waktu dia teriak-teriak nggak, Zel. Kalau gue nggak ingat sama Mama gue yang udah meninggal, gua teriakin tuh orang.” Napas Ruly berderuh.

Lihat selengkapnya