The Scar

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #20

The Scar | 19

Ane melirik Bayu saat mendengar dengusan pendek cowok itu. Walaupun hanya sedikit, tapi Ane ikut tersenyum ketika Bayu melakukannya. Wanita itu sangat berterima kasih pada tontonan komedi sore di salah satu siaran TV.

Hari ini Bayu sudah terlihat berbeda, tidak lagi bersembunyi di bawah selimut, tidak lagi marah ketika jendela dibuka, dan juga sudah mulai meminta makanan sendiri. Pagi tadi Bayu mandi, setelah itu menghabiskan waktunya dengan membaca dan menonton TV. Cowok itu bahkan sudah meminta pulang. Namun, Ane belum berhasil membujuknya untuk tingal bersama, takut kalau Bayu kembali ke rumah itu, pemandangan hari ini tidak akan terlihat lagi.

“Sejak kapan Mbak jadi artis?” tanya Bayu dengan muka datarnya seperti biasa.

Ane terlihat bingung. “Maksud kamu?”

“Sekarang tuh yang Bayu nonton kepala Mbak,” jawab Bayu lagi masih datar. Cowok itu menggoyangkan cari telunjuknya sebagai isyarat agar Ane segera menyingkir.

Ane memalingkan tubuhnya ke belakang dan layar TV besar yang terlihat. Ia kemudian menggeser tubuhnya. “Mbak, mau keluar dulu. Kamu mau titip sesuatu?”

Bayu menggeleng, irisnya masih fokus ke TV.

“Nanti Mbak manggil Bibik ke sini buat temenin kamu.”

“Nggak.”

Ane mengembus napas. “Kalau Sara gimana?” tanyanya dengan kerlingan aneh.

“Kenapa juga harus Sara?”

“Yakin dia bukan pacar kamu?“ Bayu meresponnya dengan alis terangkat sebelah. “Artinya baru gebetan?” Tatapan keponakannya berubah tajam. Ane tertawa, merasa berhasil menggoda cowok itu. “Mbak pergi dulu ya. Jaga diri baik-baik. Kalau Deva datang terus-”

“Udah sana. Bawel,” serobot Bayu sembari mengganti chanel TV dengan remot yang dipegangnya.

Ane menatap Bayu kesal, sedikit menggerutu lalu berjalan keluar pintu. Langkahnya terhenti ketika tiga cowok berseragam sekolah berdiri di hadapannya. “Kebetulan kalian ada di sini. Ya sudah, masuk aja. Dia lagi sendiri. Mbak titip ya. Mbak ada urusan. Have Fun.” 

Bayu terkejut saat ketiga temannya masuk ke dalam kamar dengan beberapa peralatan di tangan mereka. Tubuhnya yang bersandar nyaman pada kepala tempat tidur, kini terduduk tegap. Jujur saja, ia masih enggan bertemu ketiganya, merasa risih jika harus melihat tatapan kasihan dari mereka.

“Ada tugas Geografi dari Bu Reni. Ngumpulinnya besok pagi, kalau mau nunggu lo sekolah agak lama kali yaa, makanya kita ke sini,” jelas Zelo yang mulai mengikuti Ruly dan Aska bersila di karpet depan sofa. “Tapi kayaknya lo udah sembuh.”

“Gue udah gambar petanya. Yang susah tuh penyebarannya, kita malas baca dan nyari. Kita mau cara instant.” Ruly terkekeh ketika mengakhiri kalimatnya.

Bayu tertegun. Masih belum mencerna kelakuan teman-temannya. Meskipun tidak berkata-kata seperti yang lain, Aska sudah sibuk dengan sebungkus besar camilan kentang goreng, tubuhnya sudah berbaring di Sofa. Mereka terlihat normal... bodoh seperti biasanya.

“Tante lo cantik banget, Bay,” celoteh Aska yang mulai mencari posisi nyaman. “Gue rela jalan sama dia meski umur kami jauh banget. Entar lo jadi ponakan gue. Aduh... indah banget deh.”

PLAK... benturan remot dan tengkorak kepala terdengar, disusul dengan aduhan dan cacian keras dari mulut Aska.

“Bayu lo kok gitu, sih,” eluh Aska sambil menggosok-gosok kepalanya.

“Salah lo. “Bayu turun dari tempat tidur dan bergabung bersama Zelo dan Ruly di karpet. Ia tidak lagi peduli dengan perban kecil yang menutupi luka irisan nadinya atau bekas-bekas luka baru yang mengering di lengannya. Kendatipun Bayu sangat tersentuh dengan reaksi yang biasa-biasa saja dari mereka, Bayu tidak akan pernah mengakui hal itu.

Zelo, Aska, dan Ruly bukannya tidak kaget melihat bekas-bekas luka di kedua lengan Bayu. Hari ini luka-luka itu terlihat nyata, tetapi ada hal yang lebih penting, Bayu masih seperti yang dulu adalah sebuah hal yang sangat mereka syukuri pada Tuhan. Tanpa sadar ketiganya tersenyum lega.

Bayu memperhatikan hasil gambar Ruly dengan saksama. Temannya itu mungkin lemah di hampir semua mata pelajaran, tetapi kalau urusan gambar menggambar Ruly tidak pernah diragukan. Bayu manggut-manggut ketika hasil lukisan Ruly sempurna seperti biasanya. Ia menopang kepalanya dengan sebelah tangan, pensil diketuk-ketuk di paha. “Ini hewannya mau lo gambar juga apa tulisan aja?” 

“Bagossnya gaumbaour, Rul,” timpal Aska dengan mulutnya yang penuh makanan.

“Jadi?” tanya Bayu lagi dengan suara serak datarnya. Matanya masih tertuju pada peta warna-warni di bawahnya.

“Ya, Udah. Gambar aja deh. Gue sih awalnya mau nyari gambar di daring terus di tempelin-”

“Nggak rapi,” potong Bayu.

“Gue bilang juga apa. Lebih bagusnya tuh kalau lo langsung gambar di situ aja. Kalau nempel-nempel entar lo dibilang kurang kreatip.” Lagi-lagi Aska menimpali seenak jidatnya.

Bayu mulai menilik petanya satu persatu dan mulai menuliskan nama-nama hewan menurut persebarannya di setiap daerah. Ia hanya berhenti beberapa menit sekali untuk berpikir sambil terus mengetuk pensil di pahanya, setelah itu kembali menulis. Dan rasa rindu untuk kembali ke sekolah menjadi semakin besar, ia rindu suasana seperti ini. Di mana otaknya terpakai untuk menyelesaikan sesuatu.

“Kapan lo keluar dari rumah sakit?” tanya Zelo.

“Besok.”

Zelo mengangguk, disusul Ruly.

“Kalau.., sekolah gimana?” tanyanya lagi. Suaranya terdengar ragu, takut menemukan jawaban yang tak diinginkan.

“Besok,” jawab Bayu tanpa ragu.

“Hah??!!” seru ketiganya.

“Udah jelas. Nggak usah nanya maksudnya.”

Mulut Ruly yang sudah terbuka untuk bertanya terhenti, ia meneguk ludah bersamaan dengan kata-kata yang baru saja ingin dikeluarkan.

Lihat selengkapnya