“Bayu nggak merasa udah daftar dan ikut tes ini di mana-mana. Kenapa ada nama Bayu di sini?”
“Kepala sekolah yang mendukung nama kamu ada di daftar itu. Dari nilai-nilai kamu, Ibu pikir nggak ada yang meragukan otak kamu selama ini, meskipun kamu nggak jadi tim olimpiade apapun di sekolah.”
“Ini masih belum masuk akal. Nggak mungkin mereka percaya begitu aja tanpa test.”
“Apalah arti sebuah test, kalau otak kamu udah cerdas dari janin.”
“Tapi... orang-orang itu nggak kenal sama Bayu.”
“Siapa bilang? Gimana kalau ternyata para pemberi beasiswa itu salah satu dari guru kamu di sekolah?”
“Pokoknya Bayu-”
“Ibu nggak mau berdebat masalah ini ya Bayu. Ibu pengin kamu ambil kesempatan emas ini.”
“Bayu pikir-pikir dulu.”
☼☼☼
Pikiran Bayu terpecah ketika amplop yang sejak tadi digenggamnya tertarik paksa. Tanpa harus membuka mata ia tahu siapa pelakunya.
“Jadi rumor ini benar?” tanya Sara. “Aisya Syakila... itu teman kelas gue, terus dia bilang kalau nama lo ada. Nggak heran juga sih, karena otak lo emang bermanfaat buat negeri ini. Dan gue yakin kalau orang-orang di sana pun bakal bangga sama lo.”
Bayu mendengkus, membuka mata lalu melirik Sara malas. Cewek itu terlihat serius membaca lembaran pertama dari tiga lembaran yang diberikan untuknya.
“Ini lumayan lho, Bay. Semester dua nanti lo udah sekolah di sana... itu artinya tinggal dua bulan lagi.” Sara berpaling, sedikit terkejut ketika tahu Bayu sedang memperhatikannya, tidak lagi menutup mata. “Gue kira lo molor.”
“Gue nggak pernah tidur kalau ada lo.” Bayu menarik kertas miliknya. “Kenapa juga gue harus ambil? Gue masih tetap pintar kalo tamatnya di sini.”
Sara tertegun mendengar suara lembut Bayu, tidak kasar seperti biasanya. Ia tahu cowok itu pasti sedang memikirkan semuanya. Kendatipun terlihat cuek, Sara tahu otak Bayu tidak pernah berhenti bekerja. “Lo tahu, kan, kalau banyak mikir itu buat orang nggak bahagia,” ujar Sara. “Banyu udah tahu ini?”
Bayu menggeleng. “Buat apa cerita. Gue juga belum tentu mau ngambil ini.”
“Ini kesempatan besar banget Bayu. Hanya orang-orang terpilih yang dapat, gue aja pengin banget.”
“Kalo gitu lo aja yang pergi.” Suara Bayu kambali terdengar sinis.
Sara terdiam. Tubuhnya bersandar pada dinding, sambil menatap rak-rak buku di depannya. Ia tidak tahu sejak kapan tempat ini menjadi salah satu favoritnya. “Gue nggak pernah tahu kalau jadi orang pintar tuh anugrah banget. Banyak hal hebat yang bisa gue dapat. Salah satunya beasiswa itu tanpa lo harus usaha kiri kanan, orang yang nawarin hal hebat itu untuk lo. Teman-teman gue aja sampai mati-matian buat ikutan kelas privat buat ngedapatin kertas-kertas itu.”
“Nggak selamanya kecerdasan buat lo bahagia.” Bayu terdiam sesaat, lalu mengembuskan napas. “Gue pintar tapi nggak bisa buat orang tua gue bangga.”
Normalnya. Bayu akan pulang membawa kertas itu dengan bangga saat menunjukan ke orang tuanya. Menerima pelukan hangat, bahkan ibunya akan menangis tersedu-sedu karena akan segera berpisah dengan si buah hati ke tempat yang jauh dengan waktu yang cukup lama. Tapi bagi Bayu semua itu hanya drama keluarga yang dibuat oleh otak bodohnya.
“Di sana lo nggak bakal ketemu sama mereka. Nggak ada yang buat lo benci sama diri lo. Dan....” Sara melirik lengan Bayu yang kini sudah tampak jelas tanpa kain jaket. “Dunia kesehatan di sana luar biasa, kan? Lo bisa nyembuhin luka-luka lo itu... ya you know what I mean.”
“Lo ngapain sih ke sini?”
Sara menatap Bayu bodoh, tak menyangka kalimat penyemangat itu hanya dibalas dengan gertakan seperti biasa. “Gue udah sering ke sini. Ya, anggap aja lo sial udah ketemu gue.”
“Jangan pernah buang-buang waktu lo buat ngerecokin hidup gue, nggak ada manfaatnya buat lo.” Bayu bangkit dari duduk nyamannya dan berlalu.
Sara tersenyum sendu, bersamaan dengan irisnya yang menatap punggung Bayu yang semakin menjauh. “Gue nggak tahu rasa nyaman saat bareng lo itu manfaat atau bukan, Bay,”
☼☼☼
Bayu menghela napas ketika tatapannya tertuju pada wanita yang menatapnya di depan pintu. Setelah beberapa hari, akhirnya ia bisa kembali menginjakkan kakinya di salah satu tempat untuk menyembunyikan luka. Cowok itu mendekat, hingga bisa melihat jelas air mata Bu Noni. Pelukan erat menyambutnya hangat, tanpa ragu Bayu membalas, mencoba mencari sandaran nyaman dari sosok ibu lain.
“Mama senang kamu nggak apa-apa,” kata Bu Noni sembari menghapus air matanya.
“Bayu baik-baik aja, Ma. Sekarang nggak ada yang perlu ditutup-tutupin, toh mereka udah tahu kalau Bayu kayak gini.”
Bu Noni melepas pelukan mereka. Ia memindai tubuh cowok itu, mengusap kedua lengan Bayu yang sudah tak tertutupi jaket. “Kamu-”
Bayu mengangguk. “Bayu udah mulai terbuka.”
Wanita itu menarik Bayu ke dalam rumah, kemudian masuk ke dalam ruangan— tempat yang biasa digunakan untuk ‘mengobati’. “Jadi, gimana perasaan kamu sekarang?” tanya Bu Noni ketika mereka sudah duduk bersebelahan di sofa.
“Bayu belum tahu pasti, Ma. Tapi, Bayu penginnya nggak ngiris lagi.” Bayu tersenyum miris nan tipis.
“Kamu udah punya keinginan seperti itu udah bagus banget. Apalagi sampai buka jaket kamu dan buat orang tahu diri kamu yang sebenarnya, itu udah kemajuan pesat. Kamu jangan lagi buat diri kamu sedih sendirian. Mama tahu, ada orang-orang hebat di sekeliling kamu, sampai-sampai kamu berani buat keputusan sebesar ini.”
“Bayu lupa kalau punya hal lain selain orang tua.” Seketika senyum semua orang yang memberi dukungan, terpatri dalam ingatannya. Satu per satu seperti slide show dalam layar otaknya, mengingatkan akan hidup yang istimewa, yang diterima setelah kejadian mengerikan itu terjadi.
“Mereka... luar biasa.” Bayu tersenyum lebar dengan gigi rapinya yang memikat, suatu hal yang amat sulit dilakukan hampir seluruh hidupnya dan kali ini terasa lebih ringan.
Bu Noni menggenggam tangan pemuda itu erat, beban hatinya terkikis sedikit demi sedikit. Ia tahu bagaimana Bayu membawa hati dan pikirannya selama ini, tentang luka-luka gores dan wajah datar tanpa riak selama proses pengobatan yang panjang. “Jangan lakukan lagi, Bay. Kamu harus benar-benar bisa lepas, kamu tahu kan Mama pasti bantu kamu.”