Suara tangisan Deva membuyarkan pikiran Adrian yang masih berdiri kaku di depan pintu kamar kala salah satu putranya pergi dengan kalimat yang mampu menghentikan kerja otaknya. Pria itu melangkah masuk sembari menutup pintu. Ia duduk di tepi tempat tidur, lalu menarik Deva ke dalam pelukannya.
“Dia nggak seharusnya bunuh Ega, saat aku udah mulai terima Ega, Mas. Aku belum sempat nunjukin kasih sayang aku sama Ega, tapi anak itu malah dorong Ega dari tangga.” Deva berujar dalam tangis pilunya.
Adrian mengusap punggung istrinya yang bergetar. “Aku panggilin dokter, ya.”
“Tapi....” Deva melepas pelukan mereka dan menatap Adrian. “Anak itu akan segera pergi, kan? Tadi dia bilang kayak gitu, kan, Mas?”
“Aku panggilin dokter.” Adrian berjalan menjauh menuju jendela kamar. Tangannya mencengkram ujung jendela keras, wajah terluka sang putra mendominasi pikirannya sekarang, bukan lagi wajah meraung-raung sang istri.
Sudah sangat lama Adrian memposisikan Bayu sebagai bayang tak kasat mata dalam keluarga. Tidak berusaha mencari tahu bagaimana selama ini putra keduanya hidup dalam kegelapan yang mereka ciptakan. Ia terlalu fokus akan kestabilan hidup Deva dan berharap putranya bisa bertahan karena Bayu anak laki-laki yang kuat.
Namun, salah besar. Putranya memiliki hati, bukan robot yang bisa mereka kendalikan begitu saja. Putranya juga bisa tersakiti, kesepian, terluka, dan terempas dalam gua gelap kehancuran dan tertimbun di sana. Untuk pertama kali dalam hidupnya Adrian merasa bersalah telah menghancurkan kebahagian putranya hanya karena alasan Deva harus disembuhkan lebih dulu.
“Mas...,” panggil Deva ketika sadar suaminya melamun dan tidak melakukan panggilan sama sekali. “Mas, nggak apa-apa?”
Adrian berdehem. “I-ya...” Ia mengambil ponsel di saku celana lalu melakukan panggilan tersebut.
Deva menatap alat kompres di meja nakas. “Bocah itu terlalu banyak gaya. Toh, dia juga bakal pergi setelah ini.” Fokusnya kembali ke Adrian ketika pria itu baru-baru saja mengakhiri panggilan teleponnya. “Mas, kalau nanti Bayu pergi dia nggak bakal balik-balik lagi, kan?”
Adrian masih berdiri kaku, tak tahu harus menjawab apa. Karena hatinya baru saja sadar tidak menginginkan hal ini terjadi.
“Kalau dia udah jauh dari kita apa bakal melukai diri dia lagi? Bahaya, kan, kalau begitu. Nanti-“
“Deva....” Adrian kembali mendekat. “Kita udah kehilangan Ega. Apa kamu rela untuk kehilangan lagi?” tanyanya hati-hati
Deva memandang Adrian bingung. “Maksud Mas, kehilangan Bayu? Bukannya ini yang kita tunggu-tunggu?”
“Kamu yakin nggak bakal nyesal seperti Ega dulu?”
“Nggak. Bayu yang buat kesempatan aku sama Ega, hilang. Jadi, dia yang harus membayar semuanya.”
“Nggak, Deva. Nggak!!!” teriak Adrian, membuat tubuh Deva terkesiap. “Anak kita nggak mungkin ngelakuin itu.”
Mata Deva membulat mendengar penuturan suaminya. “Dia tetap pembunuh!” teriak Deva, napasnya tak karuan. Mata basahnya menatap tajam wajah Adrian yang terlihat lelah dan terluka. “Selama kepergian Ega aku nggak bisa hidup tenang, Mas. Ega selalu datang ke mimpi aku dan bilang dia kesepian. Dia nangis dan bilang aku nggak sayang sama dia. Itu karena aku belum sempat, dia udah harus pergi... dan itu karena Bayu!!!”
Adrian sudah mendengar kalimat itu berkali-kali. Beratus-ratus kali dalam hidupnya dan menyesal karena selama ini tidak berbuat apa-apa. Ia gagal menyelamatkan keluarganya yang cacat. Pria itu mengusap wajahnya kasar. “Kita harusnya menyesal. Kepergian Ega harus bisa buat kita sadar, kembar anak-anak kita juga.”
Suaminya mulai gila, itu yang ada dipikiran Deva. Sejak awal mereka sudah merencanakan kepergian Bayu dari hidup mereka. Namun, apa yang dikatakan suaminya saat ini sangat tidak masuk akal.
☼☼☼
Zelo mengetuk kaca mobil Bayu. Beberapa detik yang lalu cowok itu menerima pesan mengatakan bahwa Bayu ada di depan rumahnya saat ini. Hal yang langkah, bahkan tidak pernah sama sekali, membuat Zelo bergegas untuk menemui cowok itu.
Zelo harus mencoba beberapa kali, hingga pintu mobil itu benar-benar terbuka. Bayu tersenyum, tapi ia tahu kalau itu hanya kepura-puraan semata. Sebab sorot mata cowok itu terlihat layu dengan wajah pucat... masalah kembali merongrongnya. Zelo tersentak, membuka pintu Bayu semakin lebar, memindai tubuh Bayu dan juga keadaan mobil. Ia bersyukur tak ada darah yang terlihat.
“Something wrong?” tanya Zelo.
Bayu mengangkat bahunya ringan.
“Lo butuh udara segar. Biar gue yang nyetir.”
Bayu memindahkan tubuhnya ke kursi sebelah. Membiarkan Zelo mengambil ahli kemudinya. Perkataan sang ibu masih saja terulang-ulang di kepalanya. Ia tak ingin sendiri di saat-saat seperti ini, yang akan membuatnya kembali nekat mengiris-ngiris lengannya dan sekali lagi membuat orang-orang yang peduli padanya khawatir.
“Lo mau ke suatu tempat?” tanya Zelo sembari mengetik teks di ponselnya. Ia mengabari Ruly dan Aska tentang keadaan Bayu dan meminta mereka untuk segera menyusul.
“Terserah lo.” Bayu menyandarkan kepalanya pada sandaran jok, lalu menutup mata. Mungkin tidur sebentar bisa membuat otaknya diam dan tak bekerja.
Zelo menatap Bayu sesaat, lalu tersenyum masam, merasa kasihan tentu saja. Tapi, ia tak ingin menunjukan perasaan itu pada sahabatnya. Bayu tak butuh itu. Bayu lebih butuh dukungan.
Cowok itu kembali mengetik di atas layar ponsel, memberi info kepada yang lain perihal tempat. Ia meletakkan ponselnya pada dasbor, mulai menjalankan mobil.
Zelo memutuskan untuk membawa Bayu ke salah satu villanya di puncak. Perjalanan jauh mungkin bisa sedikit membantu Bayu untuk beristirahat dan membuang penat. Berada jauh dari rumah yang selalu membuat cowok itu tertekan. Atau memang seharusnya sejak dulu Bayu pergi saja dari keluarga itu dan mencari hidup yang lebih baik. Namun, dirinya bukan Bayu, ia tak pernah tahu apa yang dipikirkan Bayu. Cowok itu pasti punya alasan untuk bertahan.
Tiga jam lebih Zelo baru benar-benar bisa memarkirkan mobil Bayu di depan halaman villa. Kemacetan dan berhenti mengistirahatkan tubuhnya dua kali menjadi kendala. Untungnya Bayu tidur seperti orang pingsan, sejak tadi cowok itu belum membuka matanya barang sekali.
Zelo turun dari mobil dan masih enggan untuk mengganggu tidur Bayu. Ia berjalan menuju bangku taman yang tak jauh dari posisi taman, merenggangkan otot tubuhnya kemudian duduk. Menyulut rokok dan mengambil ponselnya dari dalam saku.
07:35 PM terlihat pada jam ponsel. Zelo lalu mendial panggilan keluarnya, nama Ruly langsung terlihat. “Hoam… “Zelo beberapa kali menguap menunggu teleponnya dijawab.
“Assalamu Alaikum, Mas.”
Zelo sontak tertawa mendengar respon Aska. “Kalian udah di mana?”
“Dijawab dulu atuh akang. Salam itu kudu dibalas.”
“Waalaikum salam, Mas Aska. Posisi?”
“Udah mau nyampe kok. Tiga puluh menitan lah. Bayu gimana?”
Zelo melirik ke mobil, pose Bayu masih tetap sama. “Lagi tidur.”
“Kita bawa Sara. Ini ide Ruly. Kalau lo mau marah, marahya sama Ruly jangan gue.” Zelo tersenyum. Membawa Sara sebenarnya ide yang cukup bagus. “Oh iya… kayaknya Banyu juga bakal nyusul, soalnya waktu di jalan dia sempat nelpon Sara nanyain Bayu.”
“Banyu pasti khawatir sama saudaranya. Ya udah… eh kok gue nggak dengar suara Sara.”
“Biasa lah cewek. Molor di belakang.”
“Ya udah… hati-hati. Kalian bawa anak orang.” Zelo memutuskan pembicaraan mereka. Bersamaan dengan pintu penumpang Bayu yang terbuka, cowok itu baru saja bangun. “Good morning.” sapa Zelo cengengesan
“Kenapa nggak bangunin gue?”
“Gue tahu lo sedang lelah.”
Bayu bersandar pada pintu mobil, mengamati sekelilingnya masih dengan mata setengah mengantuk, rambutnya teracak oleh angin malam. Ia mendengkus saat mengetahui sesuatu. “Ini nggak terlalu jauh?”
Zelo tertawa lalu bangkit dari duduknya, berjalan mendekat. “Ini masih Jakarta juga kali. Yuk masuk.” Cowok itu melewati Bayu dan terus berjalan menuju Villa. Tak lupa mengunci pintu Mobil Bayu dari jarak itu.
Bayu kembali mendengus, mengangkat kakinya mengikuti Zelo. Meskipun rasa sakit masih menyelimuti hatinya, setidaknya malam ini ia berhasil untuk tidak kembali mengiris tangannya. Pilihan Zelo tepat untuk pelariannya, ia juga butuh waktu untuk memikirkan dirinya sendiri dalam ketenangan. Terlepas dari rasa bersalah dan sesak, meski hanya sesaat.
☼☼☼
Tatapan tajam Bayu tak henti-hentinya merajam sisi kiri wajah Zelo. Sejak tadi, sejak sejam yang lalu. Ketenangan apa? Perusuh datang setelah beberapa menit cowok itu memikirkan tentang itu. Alih-alih ingin memikirkan dirinya sendiri, sekarang ia malah ikut bergabung di depan TV layar besar hanya untuk sebuah drama korea.
Belum lagi tukang ikut campur hadir juga bersama mereka. Lengkap dengan camilan, minuman, buah-buahan, dan juga beberapa kaset DVD, salah satunya drama yang sedang mereka nikmati saat ini.
“Kok telinga gue panas ya?” keluh Zelo sembari mengusap-usap telinganya. Ia mengepal tangannya, meniup lubang antara jempol dan jari telunjuk, meniup, lalu meletakkan di telinga.
“Ada yang lagi omongin lo. Atau tainya banyak kali. Mungkin udah jadi fosil,” balas Aska.