The Scar

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #23

The Scar | 22

Bayu keluar dari mobil dan membanting pintunya keras. Seketika orang-orang di sana langsung menatapnya bingung. Bukan berjalan mendekat untuk bergabung, ia malah menyandarkan tubuhnya di depan mobil dengan tatapan datar seperti biasa.

“Kirain lo nggak bakal gabung sama misi balas dendam kita hari ini,” sapa Aska, cowok itu berjalan mendekat, ikut menyandarkan tubuhnya dan menawarkan rokok, tetapi tak digubris. “Ini bakal keren banget.” 

Bayu mendengar suara Aska, tetapi fokusnya tidak benar-benar bekerja dengan benar. Tatapan mata sayunya lurus menatap teman-teman dan saudaranya yang sedang sibuk memberikan penjelasan. Bahkan kehadirannya seperti tidak penting sama sekali karena misi keren yang dikatakan Zelo, tapi terdengar sialan menurutnya.

Bukannya tidak ingin bergabung, tapi Bayu tidak setuju dengan rencana yang mereka buat selama berminggu-minggu untuk menghabisi Reno dan Gema. Kalau boleh memilih, ia bisa masuk ke dalam Cafe yang berada di seberang jalan tempatnya berdiri saat ini untuk menghabisi Reno dan menyeretnya ke tempat Gema berada.

“Kayaknya lo udah setuju dengan rencana kita.” Banyu tersenyum lebar. Tapi Bayu malah menatapnya dengan tatapan tajam. “Kayaknya belum,” ujarnya lagi.

“Ini dress gue nggak kepanjangan kan?”

Aska bersiul. Ketika Sara tiba-tiba keluar dari mobil dengan dress hitam tanpa lengan dan panjang di atas lutut, sangat jelas memperlihatkan kulit putih mulusnya. Rambut berponinya terurai seperti biasa dengan polesan make up tipis.

Saat yang lainnya seperti menikmati apa yang mereka lihat. Bayu terlihat marah dengan rahang yang mengeras.

“Gue bawa baju cadangan kalau ini kepanjangan,” lanjut Sara, ketika tak satu pun merespon pertanyaannya. “Bay, lo di sini? Gue pikir lo nggak bakal gabung.” Sara baru saja sadar dengan wajah Banyu yang sudah menjadi dua.

“Lo hanya masuk ke Cafe. Kenapa bajunya harus kayak gitu?” Suara Bayu terdengar tajam seperti tatapannya.

“Oke. Gue nggak ikutan.” Ruly mengangkat kedua tangannya dan menjauh dari radar tatapan tajam Bayu.

“Nggak ada yang salah sama pakaian gue. Ini udah pas banget buat godain cowok,” jelas Sara dengan senyum yang terlihat sangat antusias. “Malahan ini kepanjangan.”

Cewek bodoh. Bayu menghela napas keras, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sampai sekarang ia belum benar-benar mengerti kenapa dadanya manjadi sesak kalau berhubungan dengan ini.

Banyu dan lain bukannya tidak tahu satu-satunya alasan yang membuat Bayu menolak mentah-mentah misi mereka tanpa berpikir terlebih dahulu, hanya saja mereka pura-pura tidak peduli. Padahal rencana mereka kali ini hanya berada di kategori biasa-biasa saja. Lucunya, orang yang katanya tidak setuju tersebut, sering datang berkumpul ketika mereka menyusunnya dengan matang, tidak mengajukan protes terang-terang, hanya wajahnya yang semakin menekuk.

Sara menghela napas dan membuangnya perlahan, mencoba menghalau rasa gugup yang tiba-tiba datang, tetapi rasa antusias itu terlalu besar. “Jadi, gue cuma masuk nyari muka Reno. Terus duduk di dekat kursi dia dan pura-pura ngegoda dia. Setelah itu kunci mobil hilang... gue diantar pulang.” Ia kembali mengecek, apa urutan di dalam kepalanya sudah benar.

Banyu mengangguk dan Zelo mengangkat kedua jempolnya, membenarkan. “Kalau ada apa-apa lo tinggal pencet angka satu di ponsel lo,” sambung Zelo lagi.

“Sip... jadi kapan gue masuk karena Reno udah masuk lima belas menit yang lalu.”

“Kita boleh mulai sekarang.” Banyu membuka pintu mobil untuk Sara. Membiarkan cewek itu membawa mobilnya sendiri ke tempat parkiran dan membuang kunci cadangan ke sembarang tempat. Agar terkesan kunci tersebut benar-benar hilang.

Gerakan Banyu membuat Bayu kembali memalingkan wajah, memperhatikan Sara yang tanpa ragu masuk ke dalam mobil. Entah apa yang ada dipikiran cewek itu, sama sekali tidak memikirkan bahaya apa yang akan ditemui di dalam. Di sana ada Reno dan juga teman-temannya, bukan tidak mungkin mereka akan mengganggu Sara yang datang sendirian. Belum lagi... menggoda katanya? Hal yang membuat Bayu mendengkus kesal dan keras.

Belum sempat berkata, mobil Sara menjauh dan menghilang pada belokan depan jalan. Yang Bayu lakukan hanya melepas kepergian Sara dengan tatapan mata tajam dan rahang yang kembali mengeras.

“Hati-hati entar rahang lo patah, Bro,” canda Banyu, memandang adiknya dengan gerakan mata jahil.

“Gue baru mau bilang itu,” timpal Aska menepuk kedua tangannya keras.

“Sampai sekarang gue nggak ngerti, kenapa lo nggak setuju dan lo ada di sini. Itu nggak lo banget, Bay,” sambung Banyu. Ia berjalan mendekat ke hadapan saudaranya yang masih bersedekap.

“Gue udah bilang jangan libatin cewek karena ini urusan kita.”

“Lo tahu, kan. Kalau lo masuk terus main mukul aja, masalah bakalan tambah runyam. Bisa jadi kita dilaporin ke polisi. Lo juga tahu, jejak Reno baru kita temuin baru-baru ini, dia kunci. Kalau lo buat kacau di dalam, yang ada Gema dan preman-premanya bakal tahu kalau kita nyariin dan lari lagi. Sebelum polisi nemuin mereka, kita harus bergerak lebih dulu,” jelas Banyu.

“Atauu....” Banyu memiringkan kepalanya sedikit. “Karena cewek itu Sara?” pertanyaan dan pernyataan terang-terangan Banyu itu membuat Ruly, Aska dan Zelo, menyemburkan tawa tertahan. Mereka jelas tahu bagaimana watak Bayu selama ini.

Bayu bergeming, membenarkan dalam hati kalau ini murni masalah tidak ingin melibatkan cewek ke rencana-rencana mereka. Bukan karena Sara. Bukan karena Sara yang memakai dress hitam pendek tanpa lengan. Bukan karena Sara yang mengurai rambutnya. Bukan karena Sara dengan make up tipisnya. Dan bukan karena Sara yang akan menggoda Reno!

Shit. Umpatnya dalam hati.

“Gue yakin, Sara nggak bakal rela digrepe-grepe sama Reno. Lo kayak nggak tahu Sara gimana,” tambah Zelo. Bahkan diamnya Bayu pun, bisa sangat menjelaskan semua kegusaran hati cowok itu dan itu terlihat lucu.

“Jadi, ponsel kita nggak ada yang boleh mati, kan? Jaga-jaga entar kalo Sara butuh pertolongan,” ujar Aska sambil mengeluarkan ponsel dari saku jins-nya dan mengecek keadaan ponselnya. 

Banyu merangkul bahu Bayu, meskipun sedikit menerima penolakan, tapi tidak membuat rangkulan itu terlepas. “Ponsel lo paling penting di sini.”

“Kenapa?” tanya Bayu dengan tatapan sinis. “Ini bukan urusan gue.”

Banyu berdecak. “Dia Bayu adik gue nggak, sih? Makanya lo jangan kebanyakan nunduk baca buku, otak lo melorot terus numpuk di satu sisi doang. Jadi, nggak bisa di pake mikir yang lain.”

“Itu nggak ada hubungannya goblok,” protes Bayu seraya melepaskan rangkulan saudaranya.

Lihat selengkapnya