“Dev... Deva!!” panggil Adrian ketika tidak menemukan istrinya di kamar. Salah satu karyawan memberitahu bahwa berkas-berkas yang perlu dibawa ke lampung akan segera dikirim ke rumah. Tapi, baru beberapa menit pergi, pria itu tak menemukan istrinya di kamar, bahkan di ruang tamu. Anak-anaknya pun belum kembali pulang. Takut terjadi sesuatu, ia memutuskan mencari Deva ke penjuru rumah. Sampai akhirnya menemukan pintu kaca kolam terbuka.
“Dev, di sini dingin. Kamu bis-” Mata Adrian terbuka lebar, jantungnya memompa cepat. Menemukan salah satu tubuh hampir mengapung pada kolam renang mereka. “Bayu!” pekiknya, tanpa sadar mendorong Deva hingga terduduk sebab menghalangi jalan.
Adrian masuk ke kolam, menarik tubuh lemas Bayu, dan membaringkannya di pinggir kolam. Dadanya sesak ketika wajah pucat dan bibir membiru anak itu yang harus menyapanya hari ini.
Pria itu linglung, tidak mampu berpikir jelas. Diusapnya wajah putranya dengan mulut setengah terbuka. Melihat wajah Bayu seperti mayat membuat jantungnya berdetak cepat tanpa irama.
Ketakutannya semakin besar ketika sadar kalau dada putarnya tidak melakukan pergerakan apapun, tidak ada napas yang terdengar dari mulutnya yang terbuka. “Nggak boleh, Nak. Jangan nyerah.” Adrian mulai menekan dada Bayu berkali-kali dengan cepat, sesekali memberi napas buatan. “Bernapas, Bay. Bernapas. Tolong....”
Air mata Adrian jatuh ketika merasa usahanya sia-sia. Bayu tak memberi respon, tubuh putranya masih terbujur kaku. “Ayah bilang bernapas,” suaranya bergetar. “Kamu belum boleh ninggalin Ayah, Nak. Bayu, dengar Ayah. Ayah ada di sini. Ayah pengin kamu hidup. Jadi tolong....” Tangan Adrian masih terus menekan dada Bayu, air matanya pun tak terbendung. Tubuhnya gemetar.
“Jangan hukum Ayah kayak gini. Ayah belum siap” ujar Adrian lirih. Tekanan tangannya mulai berkurang.
Tiba-tiba tubuh Bayu terangkat sedikit dan memuntahkan semua air. Adrian mengusap punggung sang putra yang terbatuk-batuk, perasaannya lega. Namun, hanya sesaat Bayu kembali menutup mata dan terkulai lemas di lengan Adrian.
“Bay... Bayu bangun.” Adrian mengguncang tubuh Bayu, sekali lagi tak ada respon. Ketakutan kembali memukulnya. Tanpa pikir panjang ia mengangkat tubuh lemah Bayu dan membawanya ke rumah sakit.
Meninggalkan Deva tanpa arti....
☼☼☼
Penyesalan jelas menggerogoti hati Banyu. Kalau saja ia menahan Bayu tetap pulang bersamanya, semua ini tidak akan terjadi. Cowok itu baru saja beranjak pulang, ketika sang ayah menghubunginya sambil menangis mengatakan saudaranya sedang di rumah sakit karena tenggelam atau malah membunuh dirinya sediri. Dengan kesetanan Banyu membawa kendaraanya menuju tempat tersebut. Ingin cepat-cepat memastikan bahwa Bayu masih bernapas.
Kelegaan mengisi hatinya saat tahu saudaranya baik-baik saja. Hanya perlu penanganan ringan. Banyu meremas tangan Bayu yang masih tertidur pulas sejak ditangani dokter.
“Mbak harus balik ke rumah sakit.” Ane mengusap bahu Banyu. “Dia bakal tidur sampai pagi, jadi kamu bisa tidur di sofa dulu, sejam atau dua jam.”
“Maafin Banyu, Mbak. Kalo aja waktu itu Banyu nggak setuju Bayu pulang ke rumah. Dia pasti nggak bakal kayak gini,” ujar Banyu lirih. Kepalanya tertunduk dalam. “Kalau ayah datang terlambat. Bayu pasti....” Banyu tak mampu melanjutkan kata-katanya. Tangannya yang bebas menutup kedua matanya yang mulai basa.
Ane memeluk tubuh Banyu. Membiarkan bocah itu menangis. Air matanya pun ikut jatuh, bahkan sejak tadi saat Adrian mengabarkan tentang kabar mengerikan ini. Sekali lagi ia ingin mengamuk, menyalahkan siapa saja yang tinggal di rumah itu.
Namun, berdoa untuk Bayu adalah yang terpenting. Ia sadar saat ini bukan hanya dirinya saja yang terguncang, tapi ada Banyu, dan Adrian. Setidaknya dalam kesedihan yang melelahkan ini, ia bisa kembali melihat sosok kakaknya yang dulu. Adrian menangis, ketakutan yang terpancar di matanya membuat Ane yakin bahwa kakaknya sudah kembali pulang.
“Ini pasti gara-gara Bunda,” gumam Banyu.
Meskipun Ane sangat ingin mengiyakan, tetapi bukan jalan itu yang ingin diambilnya sekarang. Ia ingin lebih fokus ke penyembuhan psikis Bayu. Keponakannya harus benar-benar sembuh kalau ingin hal-hal menakutkan seperti ini tidak terjadi lagi. Bukan datang menentang Deva, yang akan membuat masalah semakin runyam. “Mbak pengin banget bilang iya... tapi Mbak udah capek buat marah, Nyu. Bantu Mbak buat nyembuhin Bayu aja.”
“Banyu udah gagal Mbak.”
Ane melepas pelukan mereka, lalu mengusap kedua bahu Banyu. “Kali ini kita bakal lebih serius lagi. Ngerti?” tanyanya sembari tersenyum hangat. Banyu mengangguk patuh. “Mbak balik dulu ya. Kalo kamu perlu sesuatu telepon Mbak.” Ane mengusap kepala Banyu sebelum beranjak dari ruangan itu.
Banyu menyandarkan kepalanya di kasur, tidak ingin tidur di sofa, takut Bayu merasa sendirian saat terbangun. Ia berharap setelah ini, semua akan baik-baik saja, apalagi ayahnya sudah kembali memberikan hatinya pada Bayu. Tinggal menunggu waktu untuk menyembuhkan sakit hati sang ibu.
Kepala Banyu terangkat saat tangan Bayu bergerak pelan. Ternyata tangannya yang lain sudah terangkat untuk menyingkirkan selang oksigen kecil yang bertengger di hidungnya. “Jangan dilepas dulu.” Banyu dengan cepat menahan tangan Bayu.