Bayu mengerjap beberapa kali, mencoba beradaptasi dengan cahaya yang masuk ke kelopak matanya. Tubuhnya terasa kaku, begitu juga dengan punggung tangan kanan yang terasa ngilu. Ia masih hidup, air kolam belum mampu memisahkan tubuh dan ruhnya.
“Bayu.” Suara itu membikin matanya terbuka lebar. Ia melihat senyuman pedih sang ayah. Mungkin saat ini dirinya sudah berada di surga, atau mengalami koma, atau bisa saja masih bermimpi dalam tidurnya. Karena ini tidak seperti hidupnya, ini hanya khalayan.
Bayu kembali menutup mata, setelah ini mungkin ibunya juga akan hadir dan memeluk tubuhnya yang kaku. “Ada yang sakit?” Suara itu kembali terdengar bersamaan usapan lembut di kepalanya. Lagi-lagi matanya membuka sesaat sang ayah bergerak menjauh. Dengan cepat Bayu menarik tangan itu, takut ditinggalkan lagi. Ia terkejut... bayangan ayahnya tak menghilang.
“Ayah mau manggil dokter, mastiin kamu nggak apa-apa.” Alih-Alih melepaskan, tangan Bayu semakin mengerat, putranya menatap tangan mereka dengan nyalang.
“Ba-Bayu... nggak mimpi?” gumamnya lirih. “Ini beneran Ayah?” Bayu masih menatap kaitan tangan mereka.
Hati Adrian mencelos melihat kondisi putranya. Ia tahu ini hanya secuil kepedihan yang dirasakan Bayu, luka yang ditorehkan pasti masih beribu-ribu kali dari ini. Rasa bersalah itu kemudian hadir. “Iya....” Suaranya bergetar hebat. “Ini Ayah. Kamu nggak mimpi. Ini Ayah kamu yang bodoh.”
Adrian memeluk tubuh Bayu erat, merasakan kehangatan tubuh yang kini sudah berubah menjadi lebih besar. “Maafin Ayah. Ayah udah hancurin hidup kamu.” Pria itu menangis.
Bayu belum bisa mengendalikan otaknya untuk merangkai kata. Semuanya terjadi begitu saja. Seperti mimpi yang selalu hadir pada bilik-bilik otaknya. Sang ayah memeluknya sangat erat, ingin mengatakan sesuatu, tetapi tangisnya sudah mengambil alih.
Adrian melepaskan pelukan mereka, duduk di tepian ranjang dan tertunduk dalam. “Sekarang kamu bisa pukul Ayah sepuasnya. Ayah udah buat hidup kamu kayak gini.” Air matanya kembali jatuh, bahu layunya bergetar. “Ini salah Ayah,” racaunya lagi.
Selama delapan tahun rasa perih bercokol dengan setia di hati Bayu. Ia membawa semua luka hampir sepanjang hidupnya. Sayatan-sayatan di lengan menjadi saksi akan kesakitannya selama ini. Ia terbuang, terabaikan, tak terlihat, hingga hampir mati, semua karena orang tuanya. Bayu harus membenci, bukan?
Tidak. Hari ini yang selalu dinantikan semasa hidupnya. Hal ini yang selalu dimimpikan setiap tidurnya. Bahkan berteriak marah pun tak mampu. Bayu hanya ingin dipeluk ayahnya seperti tadi. Kerinduan membuatnya lupa akan luka-luka di hatinya, sebab kabahagian nyata sudah datang menyambutnya kembali.
Bayu mengusap air matanya, lalu bahu sang ayah. “Bayu nggak mau menghabiskan waktu buat menyalahkan siapa-siapa, Yah. Selama ini Bayu udah kehilangan waktu-waktu Bayu sama Ayah. Dan Bayu nggak mau karena marah, Bayu harus kehilangan waktu lagi.”
Kepala Adrian terangkat, menatap putranya nanar. Membuat hatinya kembali merontah perih karena kalimat sederhana barusan. Ia termaafkan begitu saja. Putranya masih menatapnya dengan mata sayu lembut. Seperti dulu, sebelum keluarga mereka hancur berantakan.
“Ayah cengeng, ah,” kata Bayu bersaaman senyum tipis terbentuk di wajahnya. Ia ikhlas. Bahkan sejak dulu selalu menata hatinya untuk tetap menyayangi orang tuanya, meskipun hanya sakit yang diterima. Bayu hanyalah seorang anak dari orang tua yang khilaf.
Adrian memberenggut lalu mendengkus. Tangannya mengusap rambut hitam Bayu. Tindakan putranya benar. Mereka sudah banyak kehilangan waktu bersama, saatnya saling memperbaiki dan mengisi kembali, bukan saling menuntut dan dituntut.
Sebab mereka adalah keluarga.
☼☼☼
Deva bersandar pada kaki tempat tidur. Terpekur memandangi foto-foto yang berserakan di lantai tak jauh darinya. Adrian kembali pergi, lebih memilih putranya yang pembunuh, dari pada menemaninya menyembuhkan rasa sakit hati. Air matanya kembali jatuh, menambah aliran yang belum kering. Ia sendirian, kesepian, dan semua perasaan itu membuatnya sesak.
Kamu yang paling tahu gimana Ega bisa jatuh waktu itu.
Deva menggeleng, menolak kalimat itu. Semua salah Bayu, bukan salahnya! Dengan geram ia mengambil foto tersebut dan merobek-robeknya. Merasa muak melihat wajahnya terlihat bahagia bersama Bayu. “Dia bukan anakku. Bukan,” racau Deva melempar semua robekan-robekan itu kembali ke lantai.
Kamu nggak perlu foto-foto ini buat tahu kalau Bayu juga anak kamu.
Deva terisak keras. Meskipun foto-foto itu tak utuh lagi, ia masih bisa melihat senyum manisnya pada bagian-bagian kecil. Semakin banyak senyum yang terlihat, semakin banyak momen yang menyambar ingatannya. Gambar-gambar itu seperti mengoloknya. Memberi tahu bagaimana hacurnya hidupnya saat ini, bahkan sejak lama.
Satu lembar foto membuatnya terpaku. Kedua anak kembarnya sedang berpose di pinggir kolam hotel. Banyu tersenyum lebar seperti biasanya, tangannya merangkul Bayu yang seperti enggan tersenyum barang sedikit. Di belakang mereka ada Adrian yang sedang menikmati sarapan. Sedangkan dirinya yang mengabadikan momen itu.
Bunda tahu nggak, kalau itu ternyata kerjaan Banyu. Si anak nakalnya Ayah. Banyu narik kaki Bayu waktu itu.
Bayu pengin diselamatin lagi sama Bunda
Deva menjatuhkan foto itu tanpa merobeknya. Menatapnya nanar.
“Lho... Bayu. Bubur kamu mana?” Yang ditanya memberenggut kesal. Deva menghela napas berat, ia tahu Banyu pasti kembali merebut milik adiknya. “Bunda, beliin lagi ya.”
“Ayam.”