Deva terbangun saat merasakan pergerakan suaminya di kamar. “Mas, kapan pulang?”
“Sejam yang lalu. Kamu istirahat aja,” balasnya dengan senyuman tenang. Ia tahu kalau istrinya sedang kacau, obat penenang kembali terletak di nakas.
Deva bangkit dari tempat tidur lalu mendekat. “Mas mau pergi lagi?”
Adrian menggeleng. Menatap Deva intens sembari memikirkan cara untuk menyembuhkan istrinya. Tangan Adrian mengusap wajah Deva. “Aku cuma mau nyuruh Pak Andi buat bawa baju-baju Bayu.”
“Mas udah maafin dia?”
Adrian menghela napas berat. “Deva, selama ini kita yang salah. Kita yang harusnya meminta maaf.”
“Mas....” suara Deva bergetar tapi tak terdengar amarah di dalamnya.
“Aku tahu ini sangat berat, Dev. Tapi, apa salah Bayu? Putra kita hanya korban dari keegoisan dan penyesalan kamu.”
Deva menggelang keras. Air matanya jatuh.
“Kematian Ega hanya kecelakaan. Nggak ada yang salah. Itu udah jadi jalan hidup putri kita, Dev. Kamu harus ikhlas. Biar hati kamu tenang, biar kamu nggak terus-terusan merasa bersalah. Dan menyalahkan anak kita yang lain.”
“Aku nggak bisa.” Deva tertunduk dalam dan tergugu. “Ini udah bertahun-tahun dan aku nggak bisa.”
Adrian meremas kedua bahu Deva pelan. “Kamu belum coba Deva. Nggak ada orang yang merugi ketika mereka ikhlas. Malahan kamu bakal mendapatkan ketenangan hidup tanpa harus minum obat-obat kamu itu.” Deva mengangkat kepalanya memandang mata sendu Adrian. “Aku bakal bantu kamu pelan-pelan.”
“Tapi, aku nggak bisa-”
“Sayang....” Adrian menelen ludahnya, memberi jeda. “Bayu nggak tinggal di sini lagi. Dia udah pergi ke tempat Ane. Dia juga tetap ngambil Beasiswa itu. Itu semua karena kamu, dia mau ngasih waktu buat kamu sembuh dan terima dia kembali. Lihat Deva....” suara Adrian bergetar. “Sudah berapa banyak pengorbanan anak kita. Dia rela pergi jauh dan sendiri... hanya untuk lihat kita bahagia.
“Bayu baru enam belas tahun. Nggak seharusnya dia jauh dari pengawasan kita. Dia baru beranjak dewasa. Ada banyak hal yang mau aku ajarin ke dia. Ada banyak hal yang mau aku tunjukin ke dia. Tapi, aku udah kehilangan kesempatan itu bertahun-tahun lamanya. Dan itu bakal tetap berlanjut.”
Satu bulir air mata Adrian jatuh, membuat Deva tertegun. “Anak kita bakal pergi jauh. Membayangkan dia sendiri buat aku sedih dan khawatir. Buat aku sesak, Dev. Di satu sisi aku mau nahan anak aku buat pergi, tapi di sisi lain aku tetap mikirin keadaan kamu. Tolong bantu aku, Dev. Kamu harus ikhlas. Supaya anak kita bisa kembali ke rumah.”
Deva berdiri kaku ketika kepala Adrian bersandar pada bahunya dan menangis. Pria itu tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Adrian selalu terlihat tegar, sejak dulu. Mungkin suaminya sudah benar-benar lelah. Namun, hingga saat ini, hatinya masih belum bisa membuka. Hatinya masih memilih untuk membenci.
Maaf Adrian....
☼☼☼
“Mbak baru mau bangunin kamu, lho.”
Bayu baru saja keluar dari kamar dan mendekat ke meja makan lengkap dengan seragam sekolah, mengernyit ketika matanya tertuju pada jam dinding. 06:25. “Kalo ceritanya kayak gitu. Bayu bakal dapat jatah satu WC sekolah.” Ia menarik kursi yang terdekat lalu duduk.
Ane mengangkat bahu ringan.“Tidur kamu nyenyak?”
Bayu mengangguk lalu menggigit roti. Ia harus merasa nyaman di mana pun. Sebentar lagi cowok itu akan pergi jauh dari keluarganya. Menemui orang-orang baru dan hidup yang baru.
“Mbak sebenarnya suka kamu jauh dari rumah itu. Tapi, pas tahu kamu mau ke luar negeri. Mbak kok jadi sedih ya?” kata Ane muram.
“No drama, please.”
“Kamu kayak gitu di luar negeri bakal dimusuhin sama orang-orang.” Ane kesal dengan respon keponakannya.
“Di sana nggak ada kayak Mbak.”
“Maksud kamu?” Ane semakin kesal, tangannnya dijulurkan untuk mengacak rambut Bayu yang memang selalu berantakan. Seketika wanita itu tersadar dengan penampilan keponakannya yang selalu terlihat biasa-biasa saja. Rambut berponinya dibiarkan jatuh. tanpa embel-embel minyak rambut atau pomade yang sekarang lagi buming-bumingnya. Sangat berbeda dengan Banyu, rambutnya selalu tersisir rapi ke samping.
Ane menghela napas lalu menuangkan susu untuk Bayu. “Kamu ke sekolah nggak nyisir, ya?” Bayu melirik bingung, terlihat sinis. “Yaa... kan anak-anak sekarang suka rambut klimis-klimis gitu. Kayak Banyu.” Ane terkekeh.
“Enggak ada waktu.”
“Puahh... kayak orang sibuk aja nggak ada waktu. Maqi aja masih punya waktu buat ngerapiin rambut. Jadi, orang-orang pasti bisa ngebedain kalian banget kan, ya. Bayu si kurang rapi dan Banyu si tampan,” tawa Ane terdengar. Membayangkan dua keponakannya berdiri bersamaan.
Bayu mendengkus, memaklumi keanehan yang lagi-lagi muncul di otak tantenya. Tahu-tahu kata ‘aneh’ mengingatkannya pada seseorang. Shit. Bayu meletakkan sisa roti di tangannya ke piring. Itu menjengkelkan. “Apa semua orang aneh kayak Mbak, suka sama model Banyu juga?”
Ane menatap Bayu bingung. ”Wait... kamu bilang Mbak aneh?!”
“Rumah rame padahal yang ngomong cuma Ane doang.” Maqi tiba-tiba bergabung dengan mereka. Meskipun terlihat letih dan acak-acakan, senyum cerah masih jadi titik indah di wajahnya.
“Kamu kok masuk nggak ada suaranya?” tanya Ane, langsung melupakan urusannya dengan Bayu. Ia menuangkan susu untuk Maqi, lanjut mengoleskan roti. “Sarapan dulu.”
Maqi duduk tepat di depan Bayu, mengusap wajah agar terlihat segar.
Bayu memandang Maqi sesaat, kemudian berdehem. “Mbak lebih suka lihat Abang yang kayak gini atau yang rapi?” Ia berdecak kemudian, menyesal sudah bertanya.
Maqi menatap anak muda itu bingung, bahkan otaknya mulai berpikir kalau orang di hadapannya ini Banyu. Seketika perhatiaannya teralihkan karena tawa keras Ane.
“Maksud kamu apa sih, Hm?” tanya Ane.
“Mbak kalau orang nanya tuh dijawab.”
“Ngaca dong. Quote itu lebih cocok buat kamu. Mbak suka semuanya lah, orangnya tetap sama. Kenapa emangnya?” Bayu memberenggut menatap tantenya. “Tuh, kan. Kamu ditanya diam aja.”
“Biarin dia abisin sarapannya dulu. Kamu jangan suka gangguin dia terus.” Maqi berusaha untuk mendamaikan. “Kamu udah nyari psikiater buat Bayu?”
“Aku udah bicara sa-”
“Bayu udah punya psikiater sendiri.”
Ane lagi-lagi menatap Bayu dengan tatapan Kesal, tidak suka, bingung, gemes. ”Tahu apa kamu? Entar yang-”
“Bayu tahu kok. Bayu ini jenius, Mbak.”
“Udah.” Maqi menahan Ane agar pertikaian tidak terjadi. “Abang boleh minta data-data psikiater yang kamu maksud?”
Bayu mengangguk. “Ntar pulang sekolah.” Ia mendorong kursinya lalu berdiri untuk berangkat ke sekolah.
“Awas kalau nggak kompeten. Mbak enggak mau kamu ceroboh.”
“Mbak berisik, Ah. Mending cepat ikat tuh Bang Maqi. Keburu Abangnya takut sama Mbak yang bawel, terus lari.”
“Bayu!!!” Kesal Ane berubah geram. Namun, si pelaku sudah melenggang pergi tak peduli.
Maqi tertawa, lelahnya hilang begitu saja. “Jangan marahin dia terus. Entar kalo udah jauh, kamu malah nangis-nangis.”