“Bay, bangun. Bay!” Sudah lima menit Ane menguncang tubuh Bayu yang terlelap. Namun, hasilnya nihil, Bayu hanya mengubah posisi lalu kembali tidur. “Bangunnn!!!” Kesal, Ane memukul bokong Bayu keras.
Mata Bayu langsung membuka. “Ini masih jam lima, Mbak. Bukan Bayu yang pegang kunci sekolah.”
Ane menggaruk keningnya. Menarik selimut agar cowok itu tidak kembali terlelap. “Ini hari minggu, Jenius. Ayah kamu sama Banyu udah nunggu di bawah. Hari ini kalian mau ke Bandung buat jengukin makam Papa.”
Bayu langsung terduduk, mengacak rambutnya, membuat rambut berantakan itu semakin mencuat-cuat. Dengan masih setengah sadar ia turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Melakukan apa yang bisa dan tidak memakan waktu banyak: Buang air kecil, cuci muka dan sikat gigi.
Alis Ane berkerut ketika melihat keponakannya sudah keluar dari kamar mandi masih dengan baju yang sama. Bayu berjalan menuju lemari, lalu mengambil baju kaus dan memasukkanya ke tas. “Kamu nggak mandi?”
“Udah,” jawab Bayu malas.
“Udah apanya. Muka kamu masih kayak bantal gitu. Mana rambut kamu acak-acakkan. Mandi dulu sana, entar Mbak telepon ayah kamu suruh nunggu lagi.”
“Udah kemarin sore. Ini belum jam mandi pagi.”
Ane menganga. Keponakannya masih belum sadar dan berdebat dengan Bayu di situasi seperti ini bukan pilihan yang tepat. “Terserah kamu. Tapi, itu celana kamu nggak mau diganti? Yakin mau make boxer aja?” Ane tertawa.
Bayu berdecak. Dibukanya kembali lemari dan masuk ke kamar mandi untuk menganti celana. “Padahal waktu itu bilangnya jam 7,” gerutunya saat keluar.
Ane memperhatikan Bayu, wajahnya masih terlihat begitu saja bahkan ketika sudah mencuci muka. Mata sayu keponakannya semakin berat karena dibangunkan paksa. Hari ini Bayu memakai jaket, setelah beberapa waktu menanggalkannya. “Kamu nggak ngiris lagi, kan?”
Bayu menatap tantenya kesal. Menarik lengan jaketnya, memberi bukti pada wanita itu bahwa tidak melakukannya lagi. “Ini masih shubuh, Mbak. Dingin.”
Ane cengengesan meminta maaf. “Ayo turun.”
Setelah keluar dari pintu lobi apartemen, Bayu langsung berjalan menuju mobil sang ayah yang terparkir beberapa langkah di depannya. Ia berdecak kasar ketika membuka pintu dan ternyata terkunci. Cowok itu bersandar pada pintu, sembari mencari keberadaan ayahnya dan Banyu.
“Hei, Ayah kamu di sana tuh. Lagi sarapan.” Ane menunjuk gerobak bubur ayam yang sering mangkal di depan apertemennya.
Bayu mengikuti arah telunjuk tantenya. Dan benar, keduanya sedang duduk di beton pembatas taman dengan mangkuk di tangan masing-masing dan teh hangat di samping mereka. “Ayah!” teriak Bayu. Ia terlalu malas untuk mendekat.
Ane terharu, sudah terlalu lama tak melihat adegan itu.
“Kamu nggak sarapan dulu?” tanya Adrian. Ia memberikan mangkuk sisa buburnya ke Mas bubur lalu berdiri. “Kakak kamu juga masih makan,” lanjutnya sambil melirik Banyu yang masih menikmati sarapan.
Bayu menggeleng. “Bukain.” Di pikirannya hanya tidur bukan makan.
Adrian meng-unlock mobil. Membiarkan Bayu masuk ke kursi penumpang belakang.
“Eh, Banyu yang di belakang.” Banyu berdiri masih dengan mangkok bubur di tangannya. “Suruh Bayu duduk di samping Ayah. Tuh, anak pasti molor lagi”
“Habisin sarapan kamu. Depan belakang sama aja, yang nyetir Ayah. Bukan kalian,” protes Adrian membuat Banyu cengengesan. Adrian berjalan ke mobil setelah membayar sarapan mereka. “Kamu yakin nggak mau ikut?” tanyanya pada Ane yang masih berdiri di samping mobil.
Ane menunjuk jas dokter yang disampirkan pada lengan kirinya. “Harus kerja, Mas. Lagian siang nanti kalian udah balik lagi ke Jakarta. Aku titip salam buat Papa.”
Adrian tersenyum lalu mengangguk. “Hati-hati nyetirnya kamu.” Ia memeluk tubuh adiknya singkat.
“Makanya nikah Bu dokter. Biar ada yang antar jemput,” timpal Banyu yang sudah bergabung dengan mereka. “Si bos kenapa lagi tadi?”
“Masih mimpi kayaknya. Jadi rada-rada bad mood,” ungkap Ane walaupun sebenarnya itu udah menjadi sifat Bayu setiap harinya. “Berangkat sana. Nanti macet.”
Adrian masuk ke dalam mobil. Putranya sudah meringkuk di kursi belakang. Ia tersenyum, merasa benar-benar bahagia. Kendatipun sudah sangat terlambat, tapi bersyukur karena masih bisa merasakan kembali momen seperti ini. Saat ini Deva mungkin belum bisa ikut, tetapi semoga diperjalanan berikutnya wanita itu sudah bergabung bersama mereka.
Pintu penumpang di samping kemudi terbuka. Banyu masuk setelah mengantar Ane ke parkiran mobil. “Banyu bilang juga apa,” ocehnya ketika melihat Bayu tidur di belakang.
“Nggak usah diganggu. Kamu tidur juga kalau mau.” Adrian menjalankan mobil.
“Parfum lo nyengat banget, Nyu.” Suara serak dari belakang terdengar. Meski matanya tertutup rapat. “Pasti nggak mandi.”
Banyu tertawa. “Kayak lo mandi aja. Iler lo tuh, masih nempel. Gue nggak mandi tapi cuci muka, sikat gigi, terus nyisir.”
Bayu akhirnya membuka mata. Entah Banyu memang ingin mengatakannya atau ingin mengejek. Dari sudut penglihatannya rambut Banyu memang tetap rapi seperti biasa. “Rambut lo kok rapi? Kan, nggak mandi,” gerutunya.
“Emang kenapa?” Banyu berbalik, tersenyum miring. “Gue emang udah dilahirin jadi gini. Nggak kayak lo, Brother. Makanya sekali-kali lo baca majalah remaja atau fashion. Jangan buku-buku yang buat otak lo kelilit.”
Sekonyong-konyong jawaban Sara terlintas di pikirannya. Membuat Bayu memberenggut samar. “Menarik apanya,” gumamnya kesal.
“Gue emang menarik, Bay,” balas Banyu yang ternyata masih mendengar suara kecil saudaranya.
Bayu terdiam. Bukan merasa kalah, tapi memang tidak ingin berdebat. Ia tidak peduli dengan apa yang saudaranya katakan, tentang majalah atau fashion apalah itu. Buku-buku yang dibacanya tidak salah. Ia menikmatinya dengan sangat. “Ayah.” panggil Bayu pelan.
“Hm.”
“Lo mau ngaduh sama Ayah?” ejek Banyu.
“Bayu ngerokok,” akunya. Matanya mantap langit-langit mobil menunggu reaksi sang ayah.
“Ayah tahu. Anak cowok kan kadang suka coba-coba. Tapi kalian harus tahu kapan waktunya berhenti. But, no drugs please. Ayah benci banget yang kayak gitu. Bukannya Ayah senang kamu cutting, tapi seenggaknya kemarin kamu nggak make. Ayah bersyukur banget.” Suara Adrian terdengar sendu.
“Bunda bakal ikut pengobatan lagi?” tanya Banyu. Pandangannya mengarah ke luar jendela. “Bunda nggak bakal sembuh kalo dibiarin kayak gitu.”
Adrian sudah memikirkan itu, hanya belum tahu bagaimana menyampaikannya pada Deva. “Bunda harus ikut pengobatan lagi. Lebih cepat lebih baik.”
Bayu menghela napas. “Kasihan Bunda.” Apapun bentuk dari pengobatan itu, sangat tidak mudah. Mereka harus menggali semua luka, lalu mengobatinya perlahan. Ketika berbaikan dengan sang ayah, luka-lukanya mengering dengan sendirinya. Namun, luka ibunya lebih banyak, sembuh pun akan butuh waktu lama.
“Mulai sekarang kita harus hidup baik-baik. Ayah janji bakal buat Bunda ikut ke perjalanan kita selanjutnya.” Adrian tersenyum, meski pikirannya masih ragu.
“Gue udah nggak sabar jalan-jalan ke Amerika bareng Bunda,” kata Banyu tersenyum semringah. Membayangkan keluarga mereka kembali utuh. Seutuh-utuhnya.
“Lo nggak usah jengukin gue.”
“Bokis lo, ah. Lo pasti bakal kangen sama gue, Bay. Itu udah jadi harga mati. Dan selama lo pergi, gue janji bakalan jagain Sara buat lo.”
Kalau saja tidak ada sang ayah, Bayu bisa saja menendang kepala Banyu dengan kaki panjangnya. Apalagi posisinya sangat bisa untuk melakukan itu.
“Kok Sara nggak pernah lagi main ke rumah?” timpal Adrian. Tidak peduli dengan reaksi putranya di belakang. Wajah selalu datar itu memberenggut keras.