The Scar

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #28

The Scar | 27

Selang beberapa menit kegaduhan kembali terdengar ketika orang-orang mulai berlarian ke tempat kejadian. Melihat berapa korban yang dijemput malaikat maut kali ini atau hanya sekadar luka berdarah.

Sara masih duduk terpaku di trotoar. Rasa takut mengerumuni tubuhnya membuat kakinya sulit digerakkan. Tangis diamnya menjadi isakan keras ketika melihat truk yang hampir terguling di jalanan. Dan entah di mana cowok itu terkapar bersimbah darah.

Sara menarik tubuhnya untuk berdiri. Ia harus segera melihat kondisi Bayu sekarang. “Pak, teman saya gimana?” tanyanya pada orang yang berlalu lalang. Namun, tak satu pun yang menggubris. Sekonyong-konyong tubuhnya ditarik menjauh. “Pak, saya mau tolong teman saya,” ujarnya lirih pada Bapak yang menarik tangannya.

“Jangan! Takut truknya meledak. Serahin aja sama orang-orang di situ.”

Mata Sara terbelalak. “Pak, lepasin. Saya harus nolong teman saya.” Sara mencoba melepaskan tangannya. “LEPASIN SAYA!!!” Tanpa sadar Sara menggigit tangan si bapak. Membuat tubuhnya terpelanting di lantai pinggir jalan. Bapak itu melepaskan tangannya dengan kasar.

“Apa-apaan kamu!” teriak Bapak. “Saya itu mau nolong kamu supaya nggak jadi korban!”

Sara tertunduk dalam mendengar semua teriakan itu. Tidak peduli. Saat ini ia harus bangkit dan melihat kondisi Bayu dengan mata kepalanya sendiri.

“Siapa lagi yang meninggal? Kakeru?”

Sara mengangkat muka, terperanjat. Di hadapannya ada Bayu atau roh Bayu—sedang berdiri menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan wajah datarnya seperti biasa. Tubuh itu terlihat bersih dari hal-hal menakutkan apapun.

Mungkin ini hanya halusinasi Sara. Ia mengucek mata. Membiarkan buram itu berhenti menghalangi dan sosok Bayu di hadapannya menghilang. Ia harus tetap sadar sampai tubuh Bayu terselamatkan.

“Lo kenal sama bocah itu sampai nangis jelek kayak gini?”

Merasa ada yang aneh, Sara mencengkram ujung celana jeans Bayu keras. Sosok itu tak menghilang. Malah sekarang memandangnya tidak suka. “Lo... nggak... mati?” tanyanya terbata-bata oleh tangis.

“Lo mau gue mati?” Bayu memandang Sara bingung. Apalagi cengkraman tangan cewek itu di celananya semakin mengerat. Sara menangis seperti anak kecil dengan bahu yang mulai tersentak-sentak. “Jangan malu-maluin. Berdiri.”

Cengkraman Sara terlepas. Kepalanya kembali tertunduk. Rasa takutnya berubah menjadi kesal. Cowok di hadapannya saat ini benar-benar Bayu. Bayu yang manatapnya datar. Bayu yang berbicara sadis. Bayu yang HIDUP.

Tanpa aba-aba. Sara menangis sekeras-kerasnya. Rasa takut yang sejak tadi membuatnya lumpuh tergantikan oleh rasa bahagia dan lega. 

Bayu melirik kiri kanan, berharap tidak jadi tontonan. “Lo kenapa, sih?”

Kenapa? Tiba-tiba Sara menghentikan tangisnya. Menatap Bayu geram. “Kenapa lo bilang?” Ia hampir saja pingsan karena rasa takut dan dingin yang merongrong tubuhnya. Dan cowok itu hanya bilang KENAPA?

Sara berdiri. Kembali menatap Bayu marah tepat di kedua manik cowok itu. Meskipun air matanya kembali jatuh. “Lo brengsek!” Ia berbalik dan pergi.

Bayu terdiam menatap kepergian Sara. Bingung dengan apa yang terjadi. Ia hanya berlari ke tepi jalan dan saat kembali Sara sudah menangis seperti itu. See, sesuatu tentang Sara selalu membuatnya tolol seperti itu. Pertanyaan yang selalu tak memiliki jawaban.

“Aduhh....” Bayu mengusap kepalanya dan sadar kalau Sara kembali berdiri di depannya.

“Mungkin pukulan itu bisa buat lo sadar, Bego!” teriak Sara.

“Lo kenapa, sih?!”

Sara menghirup udara, lalu mengembus kasar. “Saat anak itu lari ke tengah jalan lo juga lari ke sana. Gue udah manggil-manggil lo. Lo tetap lari ke sana. Terus kecelakan itu terjadi. Dan gue dengar bunyi keras. Itu mengerikan!

“Gue lihat bola itu menggelinding. Gue lihat darah itu berceceran di aspal. Orang-orang lari buat nolong kalian. Kaki gue gemetar, tangan gue dingin. Gue mau nolongin lo, tapi gue ditahan sama bapak-bapak, katanya....” Sara menghirup udara. “... katanya bahaya karena truknya bisa aja meledak. Tapi gue tetap pengin nyelematin lo. Sampai gue gigit tangan si Bapak. Dia ngebanting gue.”

Air mata Sara kembali menjadi aliran di kedua pipinya. “Gue hampir pingsan di sini. Karena gue pikir... lo ketabrak. GUE PIKIR GUE BAKAL KEHILANGAN LO, TAPI DENGAN BRENGSEKNYA LO TANYA KENAPA?!!!” Sara menutup wajahnya yang terisak. Ia sudah mengeluarkan semuanya, terserah Bayu mengerti atau tidak.

Bayu tertegun. Akhirnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ini memang salahnya. Dan lebih salah dan sialnya, ia tidak sadar tentang itu sejak tadi.

 Melihat Sara menangis karena mencemaskannya setengah mati, entah mengapa menyentil hatinya dan kenyamanan itu benar-banar hadir. Rasa baru yang mengisi relung hatinya kembali melengkapi kebahagian yang ia kumpul satu per satu di hidupnya. 

Namun, Bayu tetap saja tak tahu harus berbuat apa agar tangisan cewek itu berhenti. “Maaf.” Hanya satu kata itu yang ada dipikirannya.

Sara menghapus air matanya, lalu mendengus. Bayu tetaplah Bayu, orang yang paling tak ia mengerti jalan pikirannya hingga saat ini. Tapi, itu tidaklah penting. Setidaknya cowok itu baik-baik saja dan hidup. “Gue pulang.” Sara tersenyum masam, lalu berbalik.

Dengan cepat Bayu menggapai tangan Sara, lalu menariknya hingga cewek itu menubruk dadanya keras. Kedua tangannya melingkari Sara dengan erat. Tubuh itu menegang, sejurus kemudian isakan kembali terdengar bersamaan tubuh Sara yang melemah dan dua cengkraman pada jaket belakangnya.

Tanpa sadar Bayu membuat lengkungan indah di bibirnya. “Gue minta maaf.”

“Lo tetap brengsek.”

“Gue bukan superhero yang sok tahu mau nolongin orang kayak gitu. Anaknya juga pintar langsung lari ke pinggir lagi. Kenapa lo mikir gue lari ke tengah?”

Sara tidak tahu. Pikirannya sangat kacau. Yang ia ingat hanya ban truk yang berdecit keras dan suara tubrukan. Omong-omong kenapa ia merasa nyaman berada di dalam sini?

“Gue baru tahu ternyata pikiran lo selebay ini.”

“Gue lihat darah, Bego.”

Bayu mendengus. “Itu cat yang tumpah, Bego. Lo nggak lihat itu truk apa? Sekali-kali pakai otak lo. Malahan hari ini lo nggak tahu kalo dikerjain sama yang lain.”

“Tapi, kenapa nggak ada warna cat lain yang tumpah?”

“Ada... lo aja yang super duper aneh.”

“Lepasin gue!!!” teriak Sara.

Cihh... lo minta gue lepas sedangkan tangan lo masih asyik narik jaket gue.”

Refleks Sara melepas cengkramannya dan mendorong Bayu. Tiba-tiba suara itu terdengar. Sara mengangkat muka... terpanah. Bayu tertawa lepas. Tawa yang tak lagi samar.

Shit. Dia ganteng, sangat. “Gue pulang,” tukasnya sekali lagi. Ia harus cepat-cepat kembali ke rumah untuk menjernihkan pikirannya. Begitu juga dengan detak jantung yang tak karuan.

Bayu mendengkus, sadar kalau baru saja tertawa. Bahkan ia lupa kapan terakhir melakukan itu di hadapan orang lain. Sara jelas sudah menjadi orang khusus di hidupnya sekarang. Tapi, ia tidak melakukan apa-apa ketika Sara kembali beranjak, hanya berdiri kaku memandangi punggung itu menjauh. Sebab setelah beberapa minggu ke depan, Sara hanya akan menjadi rindu yang menyiksa pikirannya. Jadi, biarkan seperti itu. Ironis.

Bayu menghela napas lalu berbalik.

Plakk....

Rasa panas menyerang pipi kirinya tiba-tiba. Begitu juga hatinya yang kembali berdenyut sakit ketika tahu siapa pelakunya. “Bu-Bunda.” Bayu tidak mengerti apa lagi salahnya kali ini. Bertanya sudah pasti menjadi hal yang sia-sia.

Lihat selengkapnya