Minggu kedua di bulan Desember. Ulangan semester ganjil baru saja berakhir.
“Penderitaan gue akhirnya selesai.” Aska mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi lalu merenggangkannya.
Ruly mendengus. “Yang ada Bayu yang menderita gegara lo. Nyontek mulu.” Ia melirik Bayu yang seperti biasa tak peduli. Cowok itu sedang asyik menyeruput susu kotak rasa cokelat, menyandarkan tubuhnya pada tiang atap bangku di halaman sekolah.
“Kata pepatah. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dan gue lihat kesempatan sangat besar di sekitar gue.” Aska menunjuk Bayu.”Lo juga gitu.”
“Tapi nggak sedoyan lo.”
“Bayu bentar lagi ke Amerika. Bakal mampus kalian,” timpal Zelo.
“Eitss, jangan salah.” Aska mengangkat tangannya, berlagak seperti orang cerdas. “Waktu Amerika sama Indonesia, kan, kebalik. Nah, kalo ujian pagi. Artinya di Amerika udah malam. Bayu nggak sekolah. Jadi, gue fotoin soalnya. Terus kirim ke Bayu.” Aska menjentikkan jari, merasa idenya sangat briliant. “Masalah terselesaikan.”
Sudut bibir Bayu berkedut. Mulutnya melepas sedotan, lalu menaruh kotak susunya di meja. “Cerdas,” komennya datar.
“Kenapa lo ikut-ikutan ngedukung dia?” Zelo protes.
“Gue cuma menghargai ide dia. Dan gue nggak bakal balas.”
Sontak Ruly dan Zelo terbahak. Membuat siswa-siswi yang berlalu lalang menatap mereka sesaat.
“Bayu lo nggak kasihan sama gue. Selama ini lo harapan gue.” Aska memelas.
“Nggak. Lo harus belajar buat belajar. Minta Zelo buat bantuin.”
“Lo kayak nggak tahu otak Zelo kayak gimana Bay. Mana bisa gue ngeharapin dia.” Aska masih terus berusaha.
“Setidaknya otak dia masih lima level di atas otak lo.”
“Aduh....” Aska pura-pura menyentuh dadanya, kesakitan. “Nusuk banget itu Bay. Lo kalo ngomong suka bener.”
“Bego,” ujar ketiganya bersamaan.
“Hallo Genks,” sapa Banyu yang baru saja datang dari arah timur. “Pada pintar, selesainya cepat banget.” Ia langsung bergabung di bangku panjang, menggeser posisi Aska agar bisa duduk di samping saudaranya.
Meski sering melihat keduanya berdekatan, tetap saja ada momen yang membuat mereka menatap keduanya takjub. Seperti saat duduk berdekatan seperti itu.
“Setidaknya kalo Bayu nanti udah nggak di sini, gue bisa lihat muka Banyu kalo kangen,” ungkap Aska serius. Tapi, membuat yang lainnya risih.
“Tetap aja gue beda sama dia.” Banyu menatap Bayu dan memainkan alis. “Gue rapi dan fashionable.”
Bayu menghela napas. Kenapa harus mengangkat topik itu lagi, padahal ia sudah cukup lupa dengan itu.
“Iya, sih. Orang mah kalo lihat aura Bayu pasti takut. Lo sekali-kali senyum lebar bisa nggak sih, Bay.” Aska memajukkan kepalanya ke depan agar ia bisa melihat Bayu. Lagi-lagi wajah tak peduli itu yang terlihat. Ia mendesah pasrah. “Padahal lo bisa jadi playboy kalo lo mau.”
“Guys, gue baru ingat pesan Beny, anak SMA Rajawali.” Zelo menatap yang lainnya. Ruly dan Aska mengangguk mantap, Banyu antusias, Bayu... entalah. “Sekolahnya mau ultah, jadi mereka kayak buat lomba-lomba gitu buat ngeramein. Beny nantang kita bentar malam buat three on three, mau pake duit tapi disumbangin gitu.”
“Lah, bukannya kita udah nggak terima tantangan?” tanya Aska sewot.
“Ini kan beda. Keren juga tuh. Bisa kita sumbangin lagi. Apalagi yayasan mau adain acara pengumpulan amal.” ujar Ruly. Zelo mengangguk setuju.
“Wait... kalian ngomong apa sih?” tanya Banyu yag sejak tadi didera kebingungan.
Ketiganya terdiam. Seperti baru saja tertangkap basah. Walaupun sering bergabung, tapi Banyu belum tahu tentang tantangan adu cotos mereka. Seperti sudah diatur, ketiganya memutar kepala menatap Bayu. Merasa bersalah sudah keceplosan sekaligus meminta pertolongan.
“Jelasin aja. Kalian bisa ngajak dia kalo mau. Banyu jago basket,” ujar Bayu tak acuh.
Banyu menggaruk kepalanya. Masih bingung. “So?”
“Dulu kami suka nantang orang. Makanya gue sering pulang bonyok. Itu gue buat sebagai pengalihan, karena gue nggak mau ngiris. Uang dari situ kita sumbangin.”
Senyap. Mereka menunggu penjelasan lebih tapi tidak terjadi apa-apa. “Segitu aja? Nggak ada penjelasan lebih?” tanya Banyu tambah penasaran.
“Lo punya otak, pake. Kalo lo masih nggak ngerti itu masalah lo.”
“Entar gue jelasin, Nyu.” Zelo menengahi. Bisa runyam kalau dua saudara itu bertengkar hanya karena masalah otak. “Entar malam Beny nantang kita buat three on three. Yang menang dapet duit. Kayak biasanya.”
“Terima aja. Main basket doang. Lo ikut kan, Bay?” Banyu terdengar antusias.
“Gue pikir-pikir dulu,” balas Bayu malas. Dari intonasi bicaranya, yang lain sudah tahu kalau itu sama halnya dengan tidak.
Ruly menepuk tangan keras, seperti mendapat ide besar. “Biar Banyu gantiin Bayu aja nanti. Mereka, kan, mirip.” Zelo dan Aska langsung setuju.
“Jadi, siapa yang... Sara kenapa, tuh?” Banyu tidak jadi meneruskan kalimatnya, saat Sara dan salah satu anak laki-laki berdiri di lapangan. Salah satu guru BK di depan keduanya.
“Jangan-jangan Sara buat masalah,” gumam Zelo.
Bayu yang sejak tadi tidak terlalu antusias dengan pembicaraan saudara dan teman-temannya, meluruskan punggung. Dari apa yang dilihatnya, cewek bar-bar itu kembali terlibat masalah. Lagi-lagi dengan seorang cowok. Tanpa sadar Bayu mengembuskan napas panjang. Membuatnya kembali menjadi fokus yang lain.
“Lo nggak bakal nantang cowok itu lagi karena udah gangguin Sara, kan?” tanya Aska polos saat Zelo dan Ruly memilih untuk pura-pura lupa.
“Owhh....” Banyu mengerling jahil. “Jadi, Rony nggak gangguin Sara lagi karena lo bonyokin?” Ia mangut-manggut. Bayu yang memilih tak acuh, hanya membuat Banyu terbahak.
Sara yang mulai berlari mengitari lapangan membuat pembicaraan mereka terhenti. Pandangan mereka hanya tertuju pada Sara yang berlari seceria biasanya. “Hai kalian!” sapanya ketika melintas di hadapan mereka. Lalu terus berlari.
Bayu ingat dengan hari-harinya yang terusik karena Sara yang kasar dan cerewet. Namun, dibalik itu semua, ia benar-benar suka Sara yang tertawa. Cowok itu kembali menyandarkan punggungnya ketika Sara berlari mendekat.
“Bagi minum.” Sara langung menarik botol mineral dari tangan Zelo, tanpa sadar kalau air itu sudah diminum. Gadis itu meneguk airnya hingga tandas. “Thanks,” katanya. Lalu mengembalikan botol kosong ke tangan Zelo.
Banyu terkikik saat matanya tidak sengaja menangkap bibir Bayu yang mengerucut. Tapi, bukan Bayu namanya kalau tidak bisa mengontrol emosinya kembali seperti semula. Banyu berdiri dan membiarkan Sara menempati tempat duduknya. ”Duduk, Sar.”
“Thanks.” Sara duduk. Tatapannya langsung tertuju pada Bayu yang memalingkan wajah ke depan. “Hari ini lo kurang tidur lagi ya? Muka lo ketekuk gitu.”