Maqi masih memperhatikan Bayu sejak tiga puluh menit yang lalu, di mana bocah tersebut sedang asyik memutar-mutar rubik berbentuk aneh. “Bay, lama-lama kamu jadi gila karena mainin itu,” tegur Maqi pelan. Otaknya panas, padahal hanya jadi penonton. “Main yang lain aja.”
“Selera orang beda-beda,” balas Bayu lurus. Tak perlu capek-capek untuk mengangkat wajah.
Maqi menyandarkan tubuh. Mau membantah pun pasti akan mendapat balasan yang lebih pedas. “Berangkat ke Amerika tanggal berapa?”
“Seminggu lagi.”
“Hmm... Abang sempat heran gimana kamu bisa kenal sama Dokter Noni. Ternyata kakek kamu dengan beliau teman dekat. Pengobatan kamu gimana?”
“Lancar.”
“Kayaknya Abang ganggu konsentrasi kamu, deh,” ujar Maqi.
“Syukur Abang sadar, tapi udah telat.” Baru kali ini Bayu mengangkat kepalanya. Ia menyerah, mungkin akan menyelesaikannya di lain hari.
Maqi nyengir merasa bersalah. Menunggu Ane yang kelamaan dandan membuatnya bosan. “Tante kamu sih, kelamaan.”
“Tinggalin aja.” Bayu merenggangkan lehernya ke kiri dan ke kanan. Terlalu lama menunduk membuat lehernya pegal. “Kenapa Abang suka sama Mbak Ane?”
“Suatu hari kamu juga bakal ngalamin dan ngerti sendiri. Kalau mencintai itu bukan tentang alasan, tapi rasa. “Maqi tersenyum sambil menaikan alisnya sekali.
Tatapan Bayu terpaku pada wajah Maqi sesaat. Alisnya kembali berkerut, menandakan ia sedang berpikir keras, kemudian berujar. “Jijik ya dengarnya.”
Sontak Maqi terbahak. “Kamu kok imut banget sih, Bay.” Kalimat itu langsung dibalas tatapan laser dari Bayu.
“Maqi kok kamu nyander lagi. Entar jasnya kusut,” tegur Ane yang baru-baru saja keluar dari kamarnya. Dandanan satu jamnya selesai, berpaduan mini dress merah muda pastel berlengan panjang. “Kamu mau ke mana?” tanyanya ketika melihat Bayu mengambil kunci mobil dan jaketnya.
“Main.”
“Jangan pulang larut malam. Eh, Sayang gimana penampilan aku. Oke?”
Maqi mengangguk dan mengangkat jempolnya.”Lagian nggak usah cantik banget, Sayang. Bukan kamu yang nikah. Nanti kamu saingan sama pengantinnya.”
Bayu berdecak keras. “Dasar anak muda jaman sekarang,” ocehnya. Lalu beranjak menuju pintu.
Ane tertohok. “Dia itu nggak ada imut-imutnya sama sekali.”
Tawa Maqi kembali terdengar. “Dia itu imut, Sayang.”
☼☼☼
“Kok telat? Yang lain udah pada di Ballroom. Mama pikir kamu nggak bakal bantu hari ini,” sapa Bu Noni yang terlihat sibuk mengurusi para koki di dapur, lalu mendekat ke Bayu yang bersandar pada daun pintu.
“Lagi mager aja tadi.” Bayu mengacak rambutnya, kemudian mengikuti Bu Noni.
Wanita tua itu tersenyum hangat. “Omong-omong, besok jadi, kan, bantu Mama buat speech? Nggak usah panjang, yang penting bisa mengingatkan para tamu.”
Bayu menghela napas. “Kalo Bayu bilang nggak mau, Mama tetap maksa juga, kan?”
Bu Noni nyengir penuh kemenangan. “Anak pinter.” Ia menepuk-nepuk pipi Bayu merasa bangga. “Sana gabung sama yang lain.”
Bayu berbalik meneruskan langkahnya ke pintu belakang, ke arah utara lapangan rumput hijau, tempat Ballroom berada. Anak-anak yayasan masih terlihat sibuk berlarian di lapangan. Di bawah empat lampu sorot yang menerangi mereka dan cerahnya langit malam.
Bayu memaknai setiap langkah di atas rumput-rumput hijau akan kenangannya saat berada di tempat ini. Langkah pertama, saat masih menjadi orang linglung tak tahu harus apa dengan keadaannya yang suram. Langkah berikutnya saat menemukan suatu perlindungan, di mana di tempat ini bisa sedikit melupakan kepahitan.
Menyusul langkah-langkah berikutnya, membawanya ke sebuah pintu kebahagiaan dan membuang semua kesuraman hatinya dengan ikhlas. Di tempat ini ia menemukan keluarganya yang lain. Orang-orang yang tak sengaja mengingatkannya bahwa bahagia bukan hanya dengan membentuknya. Namun, dengan menerimanya dari siapa pun yang ingin memberi dengan tulus.
Karena bahagia itu rasa, bukan apa sesuatu yang ia pikirkan. Selama ini Bayu pikir dengan hidup bersama kedua orang tuanya, secara tidak langsung akan memberinya kebahagian. Begitu juga dengan mengiris lengannya. Apa yang ia dapatkan? Kesedihan teramat dalam.
Hingga suatu hari Bayu tersadar. Mungkin saat ini ia belum bisa membentuk kebahagian itu sendiri. Tapi, bisa menerimanya dari orang-orang yang langsung membuat hatinya merasakan dan percaya bahwa kebahagian itu ada, bukan hanya dalam pikirannya semata.
Bayu membuang napas kasar, hatinya berdenyut perih ketika sadar bahwa akan meninggalkan tempat dan orang-orang tersebut beberapa hari lagi. Dan butuh bertahun-tahun untuk bisa berkumpul kembali.
“Kak Bayu!!!” pekikan ceria itu pertama kali menyambutnya saat tubuhnya melewati pintu masuk. “Kok baru datang?” tanya Ega.
“Kakak tidur dulu,” balasnya. Lalu Bayu menarik tangan Ega agar bergabung dengan yang lain.
Zelo dan Ruly bertugas memasang spanduk dan beberapa hiasan bunga di ujung atas dinding, beberapa perkerja lainnya sedang melakuakn pengecetan ulang. Sara dan Aska duduk di lantai karpet dekat panggung merangkai bunga, sebagai hiasan panggung.
“Halo, Bos!” Aska mengangkat tangannya. Diikuti Sara yang berbalik.
“Kayak mau nikahan aja,” komentar Bayu datar. Ia menarik salah satu kursi untuk duduk.
“Lo bisa bercanda juga.” Aska tertawa.
“Lo kok datang langsung main duduk aja. Bantuin tuh mereka,” protes Sara. Menunjuk Zelo dan Ruly, serta para pekerja lainnya. “Atau lo mau bantuin di sini?”
“Jangan. Entar bunganya layu karena takut sama muka dia,” larang Aska yang langsung dibuahi tawa oleh Sara.
“Gue, kan, Bos. Aska aja tadi panggil gue Bos.” Pandangan Bayu mengitari seluruh Ballroom, memperhatikan apa saja yang belum selesai. “Gue susun kursi aja.” Ia kembali berdiri, lalu berjalan ke arah kursi yang masih menumpuk.
“Kak Bayu mau ke mana?” Ega kembali berlari mendekat. Diikuti tiga temannya yang memang sedang dalam kondisi mengejarnya tadi. “Kok pulangnya cepat?”
“Kakak mau nyusun kursi,” jelas Bayu. Seraya berjalan kecil ke tujuan sebelumnya, si bocah dan teman-temannya masih tetap mengikuti. “Balik main aja.”
“Udah ah... Ega capek. Besok nggak bisa jadi Tinkerbell. Ega mau bantuin Kakak.”
“Entar capek. Nggak bisa jadi tinkerbell,” tolak Bayu. Kursi yang akan dipakai bukan kursi plastik, tapi kursi yang terbuat dari bahan besi. “Ini berat kali.”
“Kan, Ega bisa angkat bareng Luna, Tiara, Dana.” Ia menunjuk temannya satu per satu. “Dicoba dulu Kak Bayu. Kalo nggak bisa kami juga nggak bakal maksa.”
Bayu mendengus menyadari cikal bakal Sara sudah terlihat jelas dari bocah yang berdiri di hadapannya seperti sedang menantang. Ia mengambil satu sampel kursi, mengetes bocah-bocah tersebut, mampu atau tidak. “Nih.”
Ega dan Luna yang lebih dulu mengangkat kursi itu. “Ini mau taruh di mana?”
“Ingat susunan kursi kalian di sekolah?” tanya Bayu. Menunggu keempatnya mengangguk lalu melanjutkan. “Jadi susunnya kayak gitu. Dari ujung sana ke ujung sana.” Keempatnya langsung mengangguk lagi, merasa benar-benar mengerti. Kemudian kerja sama itu dimulai.