Masih dengan hari yang sama di tempat yang berbeda. Banyu duduk di sofa sudut sambil memandangi aquarium berukuran sedang yang terletak di dekat jendela besar. Hari ini ia menemani ibunya ke klinik hipnoterpi, salah satu tempat pengobatan sang ibu. Ayahnya dan Bayu punya acara penting, entah acara seperti apa hingga tak melibatkan dirinya. Dan yang muncul dipikiran Banyu hanya acara bedah buku. Nggak keren sama sekali....
Karena ini menjadi yang pertama kali untuknya, ia tidak tahu harus melakukan apa. Ibunya sendiri sudah mulai berbaring di sofa bed yang sudah disediakan, berbincang dengan dokter yang menanganinya dan tentang apa Banyu juga tidak tahu.
“Nyu, kalo kamu bosan keluar aja dulu,” ujar Deva. Kebosanan terlihat jelas di wajah putranya. Tipikal Banyu yang tidak bisa duduk diam terlalu lama.
Sebenarnya Banyu ingin, tapi ayahnya sudah meminta untuk tetap menemani ibunya apapun yang terjadi. Apalagi ini bukan pemeriksaan biasa, tapi ibunya sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. Meskipun tidak pernah mengalami keadaan seperti itu, tapi melihat apa yang Bayu lakukan pada dirinya sendiri, sedikitnya tahu bagaimana menderitanya berada dikondisi tersebut. Dan ia tak ingin ibunya menderita sendirian.“Nggak apa-apa, Bun. Nggak lama juga.”
“Jangan berisik tapi. Ponsel kamu harus disenyapkan.”
Banyu mengangguk. Akhirnya tidak ada pilihan lain selain menatap aquarium di hadapannya sampai terapi ibunya selesai.
“Seperti biasa Deva... rileks.” Dokter Arin memulai terapinya.
Deva menutup kedua matanya, menghirup udara lalu mengembusnya perlahan, dan mengulangnya beberapa kali. Seraya mendengarkan sugesti Dokter Arin seperti biasanya, hingga lambat laun ia tersedot dalam ruang gelap, sayup-sayup ia mendengar kalimat sugesti yang lain. Yang membuatnya seperti tertarik ke dalam dimensi pikirannya sendiri.
“Kali ini kamu harus berani masuk lebih dalam lagi ke kehidupan kamu yang dulu, Dev. Kamu harus lawan. Lihat semua kenangan yang berharga di hidup kamu. Dan jadikan itu sebagai penyesalan karena kamu udah kehilangan semuanya di hari ini. Itu semua karena ketakutan kamu dan rasa bersalah kamu. Lawan Deva. Dengan begitu kamu lebih bisa menerima hidup.”
Layaknya mengganti chanel TV, semua ingatan itu terlihat berganti-ganti, tupang tindih. Semuanya meminta untuk diingat dan ditanyangkan kembali. Membuat Deva ingin berlari saja ke sudut terang yang memiliki cahaya. Terlalu takut untuk melawan, ia tidak perlu mengingat semuanya dan menyakiti dirinya sendiri.
“Lawan Deva, Lawan. Masuk lebih dalam. Di sana kebahagian itu sedang menunggu kamu.” Dokter Arin kembali memberi sugesti, saat tahu Deva mulai mengernyit dan yakin wanita itu akan segera menghentikan terapi mereka tanpa hasil seperti yang sudah-sudah.
Tayangan ingatan Deva berhenti pada satu titik. Ketika ia berdiri di atas podium besar dengan senyum lebar, sebagai balasan dari tepuk tangan riuh dari orang-orang yang menatapnya kagum hari itu.
Selamat Ibu Deva anda berhasil memenangkan The Superwoman Awards tahun ini.
Di tempat yang lain, salah satu petinggi perusahaan makanan cepat saji terbesar sedang menjabat tangannya erat, mereka baru saja menandatangani kontrak kerja sama baru. “Congratulation for your new company in singapore.”
“Mas, apa aku terlalu sibuk?” tanya Deva, di suatu hari ketika Adrian datang menjemputnya di kantor.
“Kenapa memangnya?”
“Aku ngerasa anak-anak ngejauh dari aku. Aku pulang mereka udah tidur, berangkat kerja mereka belum bangun.” Wajah Deva direndung kesedihan. Bahkan ia sudah lama tidak membacakan dongeng untuk anak-anaknya, begitu juga dengan mengantar mereka ke sekolah.”Aku nggak tahu perkembangan mereka gimana. Semua dikerjain sama Bibik.”
Adrian tersenyum, meremas tangan Deva yang sejak tadi digenggamnya. “Mereka anak-anak yang pintar. Pasti ngerti. Hari minggu kan kamu selalu ada di rumah buat mereka.”
Deva berlari memasuki halaman PAUD setelah memarkir mobilnya asal. Salah satu guru menghubunginya bahwa Banyu memukul teman kelasnya hingga berdarah. Untung saja ia belum mematikan ponselnya hari ini karena rapat belum dimulai. Adrian jelas tidak bisa datang, karena suaminya sedang berada di luar negeri.
“Anak saya mana, Bu?” tanyanya tersengal-sengal ketika baru saja masuk ke ruang kantor.
“Mari Bu saya antar.” Salah satu guru berhijab meminta agar Deva mengikutinya. Mereka keluar dari ruang kantor dan menyusuri koridor ke arah kiri. Hingga mereka tiba di ruangan kecil bertuliskan UKS.
Mata Deva membulat, jantungnya seperti copot dari tempatnya. Tanpa tunggu dipersilakan Deva kembali berlari masuk, ingin memastikan pikirannya salah besar. Bahu tegangnya merenggang ketika melihat Banyu berdiri di samping lemari kaca menunduk dalam, terdengar bersitan hidung beberapa kali. “Banyu nggak apa-apa?”
Banyu mengangkat wajahnya, mata bulat itu memerah dan basa. Garis bibirnya terlihat sangat sedih. “Bunda maafin Banyu.”Bocah itu kembali menangis ketika Deva menarik tubuh mungilnya ke dalam pelukan. “Banyu nggak bisa jadi kakak yang baik,” gumamnya tersungut-sungut.
Deva melepas kaitan mereka, tiba-tiba rasa takut kembali hadir di dadanya. “Bayu mana? Ade kamu mana?” tanyanya gusar. Banyu kembali tertunduk dalam.
“Bayu tadi jatuh dari ayunan, Bu, “jawab sang Guru.
“Anak saya mana?!!” tanyanya lagi sedikit membentak.
“Di dalam lagi di-”
Deva tidak perlu menunggu penjelasan lebih. Ia hanya ingin melihat langsung kondisi putranya. “Bayu!” pekiknya ketika melihat sudut atas dahi putarnya diberi perban. Begitu juga dengan beberapa luka gores di sekitar mata dan pipinya.
“Bunda,” rengek Bayu dengan wajah polosnya menahan tangis.
Deva berlutut, menggantikan salah satu guru yang mengoleskan obat merah di telapak tangan Bayu yang terluka. Ia meringis. “Mana yang sakit, Nak?”
“Semuanya, Bun. Bayu nggak bisa nangis, kalo nangis kena lukanya. Perih.”
“Anak Bunda kuat, kok. Anak Bunda nggak cengeng.” Deva meniup luka-luka pada wajah putranya. “Bentar lagi sembuh.” Ia mengusap luka di dahi Bayu. “Ini kenapa bisa kayak gini?”
Salah satu guru mendekat. “Saat istirahat Bayu main ayunan, Bu. Salah satu temannya minta untuk gantian. Tapi, Bayu belum mau ngasih. Karena kesal, temannya itu dorong ayunan Bayu keras, nggak berhenti-henti. Bayu takut terus lompat makanya kayak gini. Banyu yang kesal adiknya digituin, datang mukul temannya pake mainan balok.”
“Anak yang dipukul Banyu mana, Bu?” Deva mencari di sekitar ruangan dan memang hanya Bayu yang terlihat.
“Sudah dibawa pulang sama orang tuanya. Mereka bakal nemuin Ibu untuk minta maaf. Mereka ngerti kalo anak mereka yang salah.”
Deva menghela napas. “Ya sudah kalo gitu. Saya bawa Bayu ke rumah sakit buat ngecek kalo anak saya baik-baik saja.” Ia berdiri lalu mengangkat tubuh Bayu dalam gendongan. Bocah empat tahun itu langsung menyandarkan kepala lesunya di bahu sang ibu. “Lain kali tolong lebih hati-hati, Bu. Saya nggak mau anak saya kenapa-napa.”Para guru itu mengangguk dan meminta maaf.
“Bayu nggak apa-apa?” tanya Banyu saat ibunya datang mendekat dengan Bayu digendongannya. Saudaranya sudah terlihat menutup mata.
“Anak Bunda, kan, kuat semua.” Deva tersenyum, ingin sekali mengusap rambut Banyu, tapi menggendong Bayu dengan satu tangan sangat mustahil saat ini. “Ayo pulang.”
Banyu segera mengambil tasnya dan tas saudaranya yang terletak di dekat kaki. Ia sampirkan tas-tas itu di bahu kiri-kanannya, lalu mengikuti langkah kaki sang ibu.
“Makasih ya Banyu.”
“Buat apa, Bun? Hari ini Banyu salah.”
Deva tersenyum manis. “Udah mau belain Bayu. Walaupun cara kamu salah, Nak.”
“Terus Banyu harus gimana?”
“Nanti Bunda ajarin kalo sampai di rumah. Sekarang bantuin Bunda dulu buat bukain pintu mobil.” Wanita itu mengarahkan kantong jasnya pada Bayu untuk mengambil kunci, putranya langsung mengerti dan berlari mendekati mobil. Hari ini ia menyadari sesuatu, bahwa hari minggu saja tidak cukup untuk membimbing anak-anaknya. Ia harus mengurangi kesibukannya.
“Ingat kenangan yang paling berkesan di hidup kamu Deva.”
Bisikan itu seperti membawanya ke tempat lain, di mana tayangan-tayangan semu itu kembali berubah-ubah, menampakkan gambar satu per satu dengan cepat. Ketika ia bisa melihat senyum dan tawanya sendiri. Sejak ia kecil hingga hari di mana Adrian melamarnya dan juga kedua bayi mungilnya lahir ke dunia.
“Padahal aku mintanya satu lho. Alhamdulillah dikasih dua,” ucap syukur Adrian ketika bayi yang baru saja diberi nama Banyu di pelukannya. Sedangkan yang satu lagi—Bayu, terlelap nyaman di pelukan sang Ibu.
Deva menatap kedua bayinya bergatian. Baru umur sehari saja ia sudah sangat tahu kalau putra-putranya akan lebih mirip dengan Adrian. “Banyu... Bayu,” gumamnya. “Kalian bakal jadi jagon-jagoan Bunda.”
Lalu para jagoan bertumbuh setiap waktunya. Banyu berubah menjadi bocah periang dan aktif luar biasa. Sedangkan Bayu lebih memilih tidak banyak bicara dan pasif luar biasa pula. Tapi, mereka tumbuh menjadi anak-anak yang hebat.
Perayaan ulang tahun setiap tahun menjadi tayangan yang sangat menyenangkan. Seperti album usang yang berusaha ia buka kembali, memahami dan menghayati setiap cerita yang sudah lama tertimbun.
“Bunda ngapain?” tanya Banyu yang berusaha untuk memanjat kursi tinggi di samping ibunya. Rambutnya basah oleh keringat karena baru saja pulang bermain bola bersama anak-anak kompleks.