The Scar

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #32

The Scar | 31

Im falling in this grate divide. The earth, it splits, and my feet on both sides. And all my faith is shaking, I” Alunan suara indah Ane terdengar mengikuti lagu yang sedang diputar di radio mobil Bayu yang sedang bergerak. Kaca di sebelahnya terbuka lebar membuat wajah dan rambut panjangnya tertiup angin. Ia seperti sedang syuting video clipnya sendiri. “I got to keep on hoping--"

Bayu yang sejak tadi merasa risih, menutup kaca dari tombol pintunya. Tantenya pasti akan menjadi tontonan ketika mobil semua orang berhenti di lampu merah. “Mbak malu-maluin.”

“Apa salahnya nyanyi. Suara Mbak juga nggak jelek. Sekaligus menghibur para pengemudi yang sedang bete-betenya nunggu lampu ijo,” sewot Ane.

“Ya udah Mbak turun. Sekalian ngamen,” ujar Bayu. Ia menopang kepalanya pada pintu. Jari telunjuk kirinya mengetuk-ngetuk bulatan kemudi mengikuti musik yang masih menyuara.

Ane ikut menopang kepala, memandang keponakannya yang menatap lampu merah dengan serius. “Bayu lo kalo ngomong mikir nggak sih?” Bayu menatap Ane dengan kerutan di kedua alisnya. “Apa ini nyakitin orang apa nggak gitu?”

“Kalo mereka nggak suka paling ngejauh,” jawab Bayu enteng. Dari dulu tidak peduli berapa teman yang ia punya. Ia juga tidak harus berubah menjadi apa yang disukai oleh orang-orang. Ini hidupnya, ia ingin mengaturnya sendiri.

“Pantes teman kamu itu-itu aja.”

“Mereka udah lebih dari cukup,” ungkap Bayu. Kakinya kembali menekan gas dan berlalu pergi.

Ane manggut-manggut mahfum. Setelah semua kejadian panjang yang datang silih berganti. Ia sangat mengerti bagaimana ikatan yang Bayu punya dengan teman-temannya. Bayu memang tidak butuh teman banyak, keponakannya itu hanya butuh teman yang mampu menyokong kebahagian hidupnya.

Namun, hal itu yang membuat Ane sedikit cemas, di Amerika Bayu akan hidup sendiri. Tanpa keluarga, tanpa teman-temannya. “Kamu jangan macam-macam di sana.”

Bayu mendengus. “Mbak udah bilang ini berkali-kali. Bayu aman, Oke.”

“Kamu, kan, baru kali ini pisah jauh sama Mbak.” Memikirkan bocah di sampingnya itu akan berangkat besok, tiba-tiba membuatnya sedih.”Maunya malam ini kamu tinggal di tempat Mbak. Nggak usah pulang ke rumah. Nanti ketemu Bunda kamu lagi.”

Pulang ke rumah sudah jelas akan membuat Bayu berhadapan dengan kondisi itu lagi, bisa saja teriakan ibunya sudah menunggunya di sana. Tapi, ia tetap ingin berkumpul dengan keluarganya secara utuh. “Kenapa Mbak nggak ikut nginap? Gampang, kan?”

“Iya juga sih. Tapi Mbak malas ketemu Bunda kamu.”

Bayu mengendikkan bahu. “Itu masalah Mbak.”

Di tempat lain Adrian sedang bersiap untuk menyambut kedatangan Bayu. Ia sudah memberitahu Deva tentang keberangkatan Bayu, tapi seperti biasa tak ada respon.

Sebenarnya setelah hipnoterapi terakhir Deva terlihat berbeda. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar dan melamun. Semuanya ia tutupi dengan membaca novel di kursi kesayangan di samping jendela besar kamar tidur mereka. Adrian sudah beberapa kali bertanya tentang itu, bahkan memaksanya, tapi Deva masih saja beralasan kalau dia baik-baik saja dan tak terjadi apa-apa.

Yang Adrian tahu dari Banyu. Ibunya bangun dengan kondisi menangis parah lalu mengucapkan kata maaf berkali-kali sambil memeluk tubuh Banyu erat. Ia berharap ini bisa menjadi awal baik untuk kondisi Deva.

“Kamu mau bermalas-malasan seharian?” tanya Adrian ketika ia memergoki istrinya yang masih membungkus tubuhnya dengan selimut. Jam duduk digital sudah menunjukan 08:48 AM dan matahari sudah mulai terik. Masih belum menerima respon, Adrian menarik ujung kaki istrinya sambari terkekeh.

Deva langsung menarik kakinya dan meringkuk seperti janin. Hanya ingin menghabiskan waktunya di kamar seperti hari-hari sebelumnya. Pikiran dan hatinya tidak sehat. Terlalu banyak kegusaran.

“Dev...,” panggil Adrian dengan lembut. “Mandi, gih.”

“Aku lagi malas, Mas. Aku mau tidur seharian.” Deva menarik ujung selimut untuk menutupi wajahnya.

Adrian mengembuskan napas. Matanya menatap gundukan selimut dari hasil cetakan tubuh istrinya. “Kamu nggak mau ketemu Bayu?” tanyanya perlahan.

Pertanyaan itu sontak membuat Deva kembali teringat tentang adegan Bayu kecil dan Deva lain yang sedang tertawa terbahak-bahak di hadapannya. Gelak tawa mereka seperti mengejeknya sekarang. Mengejek dirinya yang lagi-lagi hanya bersembunyi di bawah selimut tebal. Terjebak dalam kebingungan hati dan otaknya sendiri. Bahkan sekarang kedua organ itu mulai tak berpihak padanya. Malang sekali kamu Deva....

“Kamu masih belum bisa ngeikhlasin semuanya? Putra kita udah berkorban sebanyak ini, tapi kamu belum bisa buat Bayu termaafkan sama rasa bersalah kamu sendiri?”

“Jangan paksa aku, Mas,” jawab Deva lirih. “Jangan sampai hari kalian hancur karena aku,” sambungnya kemudian. Sekarang ia merasa menjadi pihak yang terkucilkan dari keluarga. Menjadi satu-satunya orang yang tidak bahagia.

“Kami tetap mau kamu ada bersama kami, Dev. Apapun itu.”

Deva menghela napas lalu memejamkan mata. Satu tetes air mata jatuh membasahi bantal. Kalimat pendek itu sudah sangat menjelaskan bagaimana Adrian berharap mereka bisa kembali seperti dulu lagi.

“Kami bakal nunggu kamu di luar. Kali aja kamu berubah pikiran.”

"Terdengar suara langkah menjauh dan suara pintu tertutup. Deva membuka selimutnya, menatap ruang kamarnya yang sepi. Sendirian. Akhir-akhir ini ia memang merasa kesepian, sebab Adrian dan Banyu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Bayu.

Sekarang ia harus memikirkan semuanya baik-baik. Bergabung bersama mereka atau hidup bermuram durja selamanya.

☼☼☼

Setelah mengunci pintu mobilnya yang terparkir di carpot belakang rumah, Bayu meneruskan langkah menuju pintu belakang. Bik Dina sudah menyambutnya di depan pintu. “Bunda?” tanyanya langsung.

“Bunda kamu akhir-akhir ini sering ngadem di kamar,” jawab Bik Dina.

“Hm....” Bayu kembali melanjutkan langkah. Apa yang ia harapkan hari ini? Ibunya akan menyambut kedatangannya seperti orang lain? Ia sudah mempersiapkan hal itu dengan matang, tapi tetap saja ada rasa nyeri di hatinya. Bayu mengesah napas kasar, hanya perlu ikhlas seperti biasa. Mungkin kedatangannya lain waktu akan membuahkan hasil sempurna.

“Kamu udah lama?” tanya Adrian yang baru saja menutup pintu kamarnya. Ia berjalan mendekat ke arah putranya yang baru saja terlihat di ruang keluarga. “Barang-barang kamu mana?”

“Di mobil. Nggak usah diturunin. Biar besok langsung dibawa ke bandara. Repot mau turun terus naikin lagi,” ujar Bayu.

Adrian mengusap rambut putranya yang acak-acakan, tak berselang lama karena langsung ditepis dengan lembut. Ia mendengkus, kedua putranya sudah mulai tidak suka diperlakukan seperti anak kecil. “Mau main basket bareng Ayah, nggak? Mumpung masih pagi.”

Bayu menatap ayahnya sepersekian detik lalu mengangguk. Walaupun dalam kepalanya sudah merencanakan untuk kembali tidur saat masih berada di apartamen Ane.

“Taruh tas kamu dulu di atas. Sekalian bangunin kakak kamu.”

Lihat selengkapnya