“Habis ini kalian ada acara?” tanya Adrian pada putra kembarnya yang duduk berderet di samping kanannya. “Atau Bayu ada kencan?”
“Maksudnya?” Ane yang tadinya sibuk membuka kulit jeruk untuk Maqi, terhenti. Ia memusatkan perhatiannya dari jeruk ke wajah keponakannya yang baru saja menghabiskan suapan terakhir. “Sara?” Ia sangat yakin dengan tebakannya.
Adrian terkekeh, disusul Banyu yang menjentikkan jarinya keras. “Benar banget, Mbak. Seharusnya hari ini dia nembak? Besok, kan, udah pisah.” Banyu menyenggol lengan Bayu dengan sikunya. “Jangan sampe lo keduluan sama gue,” candanya.
Bayu tak peduli, lebih menyibukkankan diri dengan gelas air putih yang berusaha ia habiskan. Toh, ia sudah melakukan itu beberapa hari yang lalu. Saat ini yang memenuhi kepalanya hanya sang ibu. Memikirkan cara untuk berpamitan dengan ibunya secara baik-baik, tanpa harus membuat wanita itu berteriak padanya.
“Bay...,” panggil Adrian ketika sadar putranya hanya menatap piring kosong sejak tadi dan ujung gelas yang masih menempel di bibirnya. Pria itu menghela napas samar, putranya jelas memikirkan sesuatu. Adrian memutar kepalanya pada kursi Deva yang kosong.
Bayu meletakkan gelasnya. Ia membalas tatapan orang-orang yang sejak tadi menatapnya jahil. “Itu bukan urusan kalian,” ujarnya datar. Membuat gelak tawa mengisi ruang makan.
“Hati-hati entar Sara lari atau nanti diambil sama saudara kamu.” Maqi ikut memberi komentar, walaupun ia tidak tahu sosok yang keluarga itu bicarakan.
“Kayak Sara mau aja,” balas Bayu enteng.
Banyu memutar kepalanya cepat. Senyumnya melebar seperti menyadari sesuatu. “Ada yang lo sembunyiin di sini?
Bayu membalas tatapan Banyu tajam. Kemudian menggeleng. Membuat Banyu mendesah frustrasi.
Ane ikut mencebik. “Bayu nggak asyik, Ah.”
“Adrian, ini makan malam buat Deva.” Bik Dina menginterupsi kejahilan mereka terhadap Bayu. Ia meletakkan nampan besar yang berisi piring makanan dan segelas air putih. “Paksa dia buat makan. Seharian ini makannya sedikit.”
Susana ruang makan yang riang, tiba-tiba hening. Sebenarnya mereka tahu kalau Deva pasti tidak akan bergabung. Namun, baru kali ini mereka benar-benar sadar kalau perempuan itu tidak menampakkan wajahnya sekali pun, apalagi untuk kembali berteriak marah.
Adrian berdehem. Retinanya ia tujukan pada Bayu yang kebetulan sedang menatapnya. “Kamu mau bawain ini buat Bunda?”
“Mas....”
“Ayah....”
Protes dari Ane dan Banyu terdengar bersamaan. Ada satu hal yang mereka sangat ingat dan memutuskan bahwa ide Adrian sangat tidak masuk akal. Membawa Bayu bertemu dengan Deva dalam keadaan yang menghangat seperti ini bukan ide yang bagus.
Kamu mau?” tanya Adrian lagi. Ketika Bayu hanya menatap tanpa melakukan pergerakan atau mengeluarkan ucapan apapun.
“Mas, Deva nggak bakal suka. Bisa nggak sih malam ini kita baik-baik aja? Nggak ada keributan. Biar Bayu besok berangkatnya dengan hati yang enakan juga.”
Adrian tersenyum lembut. Tidak mengindahkan protes Ane. “Bawa ini. Sekalian pamitan sama Bunda kamu.”
“Tapi, kan, Bayu perginya besok shubuh, Yah,” timpal Banyu.
“Ayah benar. Takutnya besok Bunda belum bangun pas Bayu pergi.” Bayu berdiri dari kursinya dan berjalan untuk mengambil nampan tersebut.
“Kita harus memberi mereka kesempatan,” jelas Adrian pada orang-orang yang masih memandangnya dengan alis berkerut. “Ayo, sini. Ayah antar kamu.”
Adrian ikut berdiri, lalu berjalan mendahului Bayu yang masih tidak yakin. Namun, kakinya terus mengikuti sosok sang ayah yang memandunya di depan. “Kamu masuk. Ayah tunggu di sini.” Adrian mengusap bahu putranya sebelum memutar grendel pintu.
Keraguan, ketidakyakinan, dan ketakutan itu hilang, saat pintu kamar di hadapannya terbuka dan memperlihatkan tubuh ibunya yang tertutup selimut membelakanginya. Memikirkan ibunya menghabiskan waktunya seharian hanya berbaring membuatnya sedih.
Bayu mulai mengangkat tungkai panjangnya ke dalam kamar. Sang ayah kembali menutup pintu. Kini hanya ia dan tubuh bergeming ibunya, yang entah saat ini tertidur pulas atau malah sedang memikirkan strategi untuk menyakitinya lagi. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin berpamitan lalu keluar. Kalau ibunya mendengarkan artinya ia beruntung. Kalau tidak, mungkin akan ada hari beruntung yang lain.
Bayu berjalan menuju meja kecil di dekat jendela. Lalu meletakkan nampan itu di sana. Tubuhnya berjengkit kaget, saat tubuh berbaring ibunya sudah terduduk di bibir tempat tidur, masih membelakanginya.
“Bun....” Bayu berdehem, menjernihkan suaranya yang serak dan bergetar. “Bunda, Bay-” ucapan Bayu terhenti ketika Deva memilih berdiri dan masuk ke dalam kamar mandi. Ia yakin ibunya sedang melakukan aksi penghindaran, mungkin ibunya sudah lelah untuk berteriak. Bayu tak ingin mundur saat ini. Ia berjalan mendekati pintu kamar mandi. Berdiri di sana
“Bunda... Bayu pamit. Besok pagi takutnya Bunda belum bangun pas Bayu berangkat ke bandara.” Bayu menatap pintu cokelat di hadapannya, berharap ia memiliki kekuatan mata menembus benda agar bisa melihat ibunya di dalam.
“Bunda baik-baik, Hm. Jaga kesehatan.” Bayu menggigit bibirnya. Hatinya mulai melemah, perih itu jelas kembali terasa. Hingga membuat pendangannya buram. Ia membuang napas dari mulut, menahan agar air matanya tak jatuh. “Bayu harap kalau suatu hari Bayu pulang ke rumah. Sudah ada Bunda yang jemput Bayu di bandara. Atau kalo Ayah sama Banyu datang buat jengukin Bayu, Bunda juga ikut sama mereka.”
Bayu berjalan lebih dekat ketika dengan jelas ia mendengar isakan dari dalam sana. Ia menjulurkan tangan kanannya ke dasar pintu, lalu mengusapnya pelan. “Bunda harus sembuh. Nggak apa-apa lama, yang penting Bunda sembuh.” Air matanya sudah meloloskan diri. Saat ini ia sangat ingin memeluk tubuh ibunya.
Bayu menyadarkan dahinya di pintu. Masih mengusap pintu dengan tangan kanannya, air matanya ia biarkan jatuh. Hatinya sudah penuh untuk menahan semuanya. Ia ingin semua beban terambil dan menghilang, kendantipun itu sangat mustahil.
“Bayu sayang sama Bunda. Sayang banget... sejak dulu nggak berubah. Meskipun kenyataan keadaan kita udah kayak gini, Bun. Bayu masih sayang... Maafin Bayu, Bun. Bayu kangen sama Bunda.” Bayu memukul-mukul pintu dengan pelan. Berharap ibunya segera keluar dan memeluknya. “Maafin Bayu, Bun.”
Namun kenyataanya, Deva lebih memilih duduk di lantai, bersardar pada pintu dan mencoba menyembunyikan isaknya dengan kedua telapak tangan.
☼☼☼
Banyu masih memandang saudaranya intens, bahkan ketika mereka sudah berkumpul dengan teman-temannya di salah satu Cafe langganan tidak jauh dari sekolah mereka.
Sejak keluar dari kamar orang tuanya, Bayu langsung naik ke atas kamar. Tak ada yang ingin menganggu. Mereka percaya Bayu tidak akan melakukan hal buruk itu lagi. Selang beberapa menit saudaranya turun dari lantai tiga dengan wajah segar meski matanya masih terlihat sedikit sembap. Kemudian mereka ada di sini, bergabung dengan lainnya.