“Jadi sejak kapan, Hm?” Banyu melirik saudaranya bersamaan dengan senyum jahil yang dibentuk oleh bibir tebalnya. Selama ini dipikirannya seorang Bayu hanya bisa kencan dengan buku-buku di kamar atau perpustakaan. “Lo belajar di mana?” Cowok itu menunjuk pipi kirinya, menaikan alisnya sekali.
Bayu membuka tutup botol air mineral meneguknya separuh, lalu menutupnya kembali. Memilih diam, menatap genangan air di pinggiran trotoar jalan lorong. Sejak tadi Banyu terus menyerangnya dengan pertanyaan tentang Sara. Ia sedang malas menjelaskan, bahkan tak ada niat sedikit pun untuk itu.
Banyu menyenggol lengan Bayu dengan siku, berdecak lalu berujar. “Nggak asik lo ah. Lo nggak mau berbagi sama gue.”
“Nih.” Bayu menyodorkan botol mineral ke tangan Banyu. Banyu menatap botol itu dengan dahi berkedut. “Lo mau gue berbagi, kan? Tuh, gue bagi.”
“Haduhh....” keluh Banyu bersamaan dengan napas kerasnya yang keluar. Ia mengacak rambut rapinya, walaupun masih tetap saja rapi. “Susah ya ngomong sama orang kayak lo.”
Bayu terkikik melihat wajah frustrasi saudaranya. “Makanya jangan banyak tanya.” Tangannya kemudian membuka bungkus rokok yang dibeli bersamaan dengan air di kios pinggir jalan. “Nih, gue bagi lagi.”
Banyu menarik satu batang. Tidak seperti Bayu yang sudah membakarnya, ia hanya menatap benda itu dan memainkan dengan jari-jarinya. “Sara tahu lo ngerokok?”
Bayu mengangguk. “Gue yang ngiris aja masih bisa ditolaransi sama dia. Apalagi yang kayak gini.” Cowok itu menghela napas panjang, menyadarkan punggungnya pada sandaran kursi kayu di depan kios. “Tapi ini yang terakhir.” Ia menatap rokok yang terselip di jemarinya.
“Lo ngomong apa aja sama Bunda? Lempeng aja tadi.”
“Gue pamit.” Bayu melirik saudaranya, lalu tersenyum. “Gue dengar Bunda nangis. Gue nggak mau terlalu berharap, tapi semoga Bunda bisa baik-baik aja.”
“Serahin semuanya ke kakak lo ini.” Banyu menepuk-nepuk dadanya, angkuh. Dan pada akhirnya cowok itu tak menyalakan rokoknya. “Lo jangan banyak pikiran di sana. Belajar yang bener. Biar Bunda jadi urusan gue dan Ayah.” Bayu mengangguk pelan. “Gue senang kalo lo jadi ade patuh kayak gini.”
“Nyu.” Terjadi jedah sesaat. ”Tolong jagain Sara. Dia kadang terlalu berani untuk ukuran cewek.” Kalimat itu meluncur bebas dari mulut Bayu. Ia menunggu untuk ditertawakan oleh saudaranya, tapi itu tidak terjadi. Bayu memutar kepalanya, cowok itu menatapnya senang lalu mengangguk. “Ternyata di otak lo ada model kayak gininya.”
Alis Banyu berkerut. “Model apanya?”
“Nggak rese.”
Banyu tertawa. Sebenarnya sangat ingin menggoda. Namun, malam ini Bayu sedang dalam mood baik. “Gue hanya ikut sama mood lo yang jarang banget baik. Orang-orang di sekeliling lo tuh jadi rese, itu karena lo sendiri. Sadar nggak?”
“Nggak,” jawab Bayu datar.
“Sudahlah. Gue nggak mau ada perang mulut lagi.” Banyu menyerah untuk berdebat. Lagi pula ia mulai mengantuk. “Kita pulang. Lo yang bayar. Gue duluan ke mobil.” Ia berdiri lebih dulu dan siap menuju mobil yang mereka parkir di seberang jalan.
“Nyu.”
“Apa?”
“Makasih.”
Banyu menatap bingung. “Untuk?”
Bayu mengedik bahu. “Gue ke toilet dulu.”
“Perasaan tadi lo juga bilang gitu.” Banyu memutar kepalanya ke segala arah, mencari sesuatu. “Lo nggak janjian ketemu sama Sara lagi, kan?”
Terdengar desisan keras. “Lo balik ke mobil aja, Bawel.”
“Anak itu.” Banyu geleng-geleng kepala. Ia berbalik dan beranjak menuju mobil. “Ehh... kunc—” teriakannya terpotong saat melihat Bayu berjalan menuju kios lain yang berjejer. Mungkin saudaranya sedang kesulitan mencari toilet. “Padahal dia bisa pipis di mana aja.” Cowok itu bersandar pada badan mobil sembari menunggu.
Bunyi klakson keras di depannya membuat pandangan Banyu teralihkan. Kaca mobil dari pintu kemudi terbuka perlahan. Sosok di dalam mobil tersenyum sinis. Wajah tersebut tak asing, ia mencoba mengingat-ngingat. Belum mendapatkan apa-apa, mobil tersebut melaju.
Tiba-tiba tubuh Banyu menegang. “Jefri,” gumamnya. Ia memutar kepala cepat pada adiknya yang hendak menyeberang jalan. Matanya terbuka lebar, begitu juga dengan jantungnya yang berdetak kaget, sadar mobil itu melaju cepat ke arah Bayu. “Bay... Bayu!!” kakinya baru saja melangkah saat bunyi keras itu terdengar.
BRAKK...
Seperti gerakan lambat Banyu melihat tubuh Bayu tertabrak besi bergerak itu. Tubuhnya berguling naik ke atas atap mobil lalu terhempas keras ke dasar kelamnya aspal. “Nggak!!!” teriaknya keras.
Banyu segera berlari ke tubuh adiknya yang terkapar. Begitu juga para penghuni kios yang langsung mengerumuni tubuh berdarah Bayu. Banyu berdiri terdiam, tubuhnya terkunci, bahkan lupa cara bernapas. Ketakutan menggerogoti tubuhnya. Ia jatuh terduduk, merangkak mendekat ke arah tubuh kaku saudaranya.
“Bayu.” Tangan gemetarnya perlahan menyentuh Bayu. Mengusap darah yang menodai wajah adiknya. Bayu tak bergerak, matanya masih terbuka, tapi tak lagi memiliki fokus. Pun napasnya tersengal hebat. “Bayu... lo harus bertahan. Gue bawa lo ke rumah sakit,” mohonnya lirih, bersamaan dengan air mata yang jatuh.
“Biar Bapak bantu ke rumah sakit. Kalau mau nunggu ambulans kelamaan.” Salah satu orang menawarkan, saat orang-orang panik dan tidak tahu harus berbuat apa. “Dek, kamu naik lebih dulu biar orang-orang ini angkat saudara kamu.”
Banyu menggeleng, tidak ingin pergi dari sisi Bayu sedetik pun. “Nggak.”
“Kita harus segera ke Rumah sakit. Kita harus cepat kalo kamu masih mau saudara kamu selamat.”
Mendegar itu membuat Banyu sadar dan membiarkan orang-orang membantu mereka. Ia naik lebih dulu ke kursi penumpang belakang. Lalu orang-orang dengan sangat hati-hati memindahkan tubuh Bayu ke atas pengkuannya.
“Lo harus bertahan. Kita udah ke Rumah sakit.” Banyu menatap bola mata Bayu dalam, berharap bisa tahu apa yang saudaranya rasakan saat ini. Bayu terbatuk, darah dalam jumlah banyak keluar dari dalam mulutnya, menodai jaket denim yang ia pakai. Banyu membelalak, ketakutan memukul jantungnya telak. “Bay....” lirihnya. Ia buru-buru membersihkan darah yang keluar dengan telapak tangannya. Walaupun cairan merah gelap itu masih tetap mengotori wajah adiknya.
“Mana yang sakit?” Banyu memindai tubuh adiknya sembari mengusap dada Bayu yang memberat. Kembali terisak keras saat tahu tak bisa berbuat apa-apa. Ia menggenggam kedua tangan Bayu yang bertumpuh pada perut, bermaksud untuk memberi kekuatan pada tubuh lemas itu. “Jangan pergi, Hm. Gue nggak bakal ngebiarin lo pergi kayak gini. Nggak. Tolong bantu gue buat bertahan. Bay, Tolong.”
Banyu menatap iris hitam Bayu. Hatinya teremas kuat saat mata itu juga menatapnya, mata sayu itu tergambar lembut tak ada lagi tatapan sinis yang selalu ditunjukan. Nampaknya kedua kelopak mata itu mulai memberat. Banyu mengangkat tangannya untuk mengusap pipi Bayu. “Jangan tidur,” bisik Banyu dengan napas tercekat.
Cairan bening jatuh dari ujung mata Bayu, mengalir turun bercampur dengan darah di wajahnya. “Kenapa lo nangis?” tanya Banyu dengan suara tak jelas karena tangis. “Arghh....” teriaknya tertahan frustasi. Tubuhnya mendingin saat suara aneh terdengar dari kerongkongan Bayu. Napas putus-putusnya semakin memelan. “Cepat, Pak! Ade saya sekarat!”
Sekali lagi Bayu terbatuk darah, kali ini lebih banyak. Jantung Banyu berhenti berdetak sepersekian detik, manakala sinar dari kedua bola mata Bayu meredup perlahan. “Jangan!”
☼☼☼
Banyu terduduk di lantai, memandang lurus pintu yang menelan adiknya beberapa menit yang lalu. Kakinya bahkan tak mampu menyangga bobot tubuhnya yang ketakutan. Air mata pun masih membanjiri wajah pucatnya hingga saat ini.
Ketakutan itu membunuh semua saraf dan kekuatan tubuhnya. Bayangan Bayu melayang dan terhempas kembali ke bumi masih mendominasi di kepalanya. Begitu juga suara napas satu-satu adiknya yang masih saja menggema di kedua telinganya. Banyu memeluk tubuhnya, ketakutan itu benar-benar membuatnya ingin menghancurkan dirinya sendiri.
“Bayu kenapa?”
Suara kecemasan itu membuat Banyu menengadah. Ane sudah terlihat di matanya begitu juga Maqi. Banyu bergeming, lidahnya kelu, bahkan untuk bernapas normal pun sulit. Hanya suara tangisan yang mampu keluar dari mulutnya.
“Bayu kenapa?!!” tanya Ane lagi yang sudah ikut menangis.
Banyu memeluk tantenya.“Banyu takut, Mbak.”
Tiba-tiba pintu operasi terbuka. Ketiganya segera memutar kepala menatap dokter yang baru saja keluar. Banyu memaksa dirinya untuk berdiri
“Kenapa operasinya belum di mulai?” Maqi mengambil alih. Rasa dingin menyeruak di seluruh tubuhnya. Seketika sadar, sesuatu yang mereka sangat tidak harapkan telah terjadi di dalam sana. Ia menatap Ane sendu, ditariknya tubuh wanita itu mendekat.
“Apa dokter butuh donor darah?” tanya Banyu. Ia ingat Bayu banyak mengeluarkan darah. Mungkin mereka sedang mempersiapkan stok dan ia bersedia untuk itu. Bahkan sangat rela jika para dokter itu menyedot darahnya hingga habis untuk menyelamatkan saudaranya.
Dokter menghela napas panjang. Guratan kepedihan, kekecewaan dan rasa bersalah semakin terlihat jelas dari wajah berumurnya. “Maaf.”
Satu kata itu langsung membuat pertahanan Ane runtuh. Ia berpegangan erat pada Maqi, tubuhya gemetar hebat. Hampir saja jatuh menghantam ubin kalau saja Maqi tidak mendekapnya kuat. Beberapa detik kemudian tangisan lirih Ane terdengar menggema di lorong sunyi yang mencekam.
“Kenapa?” tanya Banyu. Menoleh ke arah Ane dan berharap mendapat penjelasan. Dan tangisan peremas hati itu memberitahunya dengan jelas. Banyu mengeluarkan napas dari mulutnya. Mencoba menghilangkan pikiran buruk yang tiba-tiba hadir di kepalanya.
Sang Dokter berdehem, kesulitan untuk mengutarakan kebenarannya. Tapi ia harus segera mengatakannya. “Waktu kemati—”
“Stop!!!” teriak Banyu. “Ade gue nggak mungkin pergi semudah ini.” Ia mendorong tubuh dokter dan menerobos masuk ke dalam ruangan. Dan yang ia dapati lebih menghancurkannya, salah satu dokter baru saja akan menutup wajah Bayu dengan selimut putih.
“Jangan.” Suara Banyu tercekak. Terseok-seok mendekat ke brangkar tempat Bayu berbaring kaku. “Jangan ditutupin. Nanti dia sesak.” Cowok itu mengusap wajah Bayu yang sudah bersih dari darah. Kulitnya masih terasa hangat, bahkan bibir cowok itu masih terlihat memerah. Tapi, kedua kelopak matanya terkunci rapat.
Tangisan keras Ane mengisi ruangan. Hatinya hancur melihat tubuh keponakannya benar-benar terbaring kaku, tanpa denyutan nadi, dan tanpa napas. Ia mengeram keras, menahan teriakan yang sangat ingin dikeluarkan dari mulutnya. Hatinya sakit, teramat sakit, bahkan untuk mengatakan sakit tidaklah cukup. Hatinya seperti terbakar habis.
Maqi memeluk Ane semakin erat. Membisikkan kata di telinga perempuan itu agar ikhlas. Mencoba memberi kekuatan dari cobaan yang baru saja mereka terima. Baru beberapa jam yang lalu ia melihat bocah itu tersenyum lembut, memintanya untuk segara menikahi tantenya dan menjaga Ane dengan baik. Namun, sekarang Bayu tak lagi bisa tersenyum. Air mata Maqi jatuh, membayangkan tak ada lagi sosok yang bermain rubik di setiap sudut apartemen Ane.
“Jangan nangis. Dia hanya tidur, Mbak. Dia nggak mungkin mati secepat ini.” Banyu menggeleng, membawa tubuhnya duduk di bibir brangkar. Kembali menatap wajah saudaranya dalam. “Bangun, Bay. Kita harus pulang buat istirahat. Lo jangan tidur di sini.”
“Bayu.” Ia menggoyang tubuh Bayu pelan. “Bangun.” Menggoyangnya semakin keras. Bayu bergeming, satu tetes air mata Banyu jatuh. Dadanya sesak. Tangannya terjulur mengusap wajah Bayu perlahan, luka-luka yang terjahit terlihat jelas di kulit memucatnya. “Habis ini kita bakal nyari Jefri dan ngehabisin dia. Dia udah buat muka lo luka-luka kayak gini.”