The Scar

Arianti Pratiwi Mustar
Chapter #35

The Scar | 34

Lima belas hari setelah kepergian Bayu.

Banyu tertegun memandang pantulan wajahnya di cermin. Baru hari ini ia benar-benar kuat melihat pantulan dirinya sendiri. Dulu, menatap wajahnya hanya akan menambah pedih dan kerinduan yang tak memiliki ujung. Wajahnya terus-terus mengingatkan pada saudara kembarnya yang telah menghilang dari hidupnya.

Beberapa hari ini pun dihabiskannya di dalam kamar. Mendekap dalam gelap dan kesunyian. Banyu merasakan kehancuran yang sangat. Ia lupa cara hidup dengan baik bahkan hanya sekadar makan atau membersihkan tubuh. Tubuhnya terlalu lemas, hatinya selalu teremas perih membuat pikirannya semakin rusak. Yang ia lakukan hanya menangis, berharap Bayu akan segera kembali dan berteriak mengejek padanya. Bahwa ia cengeng, bahwa ia payah, bahwa ia lemah. Atau hanya sekadar menyungging senyum meremehkan seperti biasa.

Sampai tubuhnya tumbang pun, Bayu tidak pernah datang untuk melakukan itu.

Hingga suatu waktu, seisi rumah panik dengan keadaan ibunya yang tak sadarkan diri. Ibunya harus dilarikan ke rumah sakit untuk penanganan khusus, beliau meminum obat tidur dalam dosis besar. Setelah Bayu pergi, mereka bahkan tidak bisa berkomunikasi baik dengan ibunya. Sang ibu menangis sepanjang hari, lalu tertidur, terbangun beberapa jam kemudian dengan keadaan kaget dan lagi-lagi menangis. Isakan memilukan itu terus terdengar sepanjang hari tak henti-henti.

Sangat jelas ibunya sedang menghukum dirinya akan kepergian Bayu yang tiba-tiba tanpa mendengar kata maaf dari mulutnya. Tangisan penyesalan ibunya menjadi suara kepedihan dalam rumah mereka.

Malam hari setelah kejadian ibunya. Banyu tak sengaja melihat ayahnya sedang duduk terdiam di ujung tempat tidur Bayu, sambil menganggam erat mainan rubik yang tergeletak di atas tempat tidur. Mungkin benda itu benda terakhir yang ia mainkan sebelum pergi.

Selang beberapa menit kemudian, bahu ayahnya bergunjang hebat dan isakan tertahan itu terdengar. Mengisi ruang sunyi yang baru saja ditinggal selamanya oleh sang penghuni. Yang Banyu tahu, ayahnya adalah orang yang paling kuat di antara mereka. Ketika ia terpuruk dalam, ayahnya yang selalu menariknya bangkit, menemaninya menangis, dan memeluknya erat ketika rasa sakit teramat sangat menyerang hatinya bertubi-tubi.

Bukan hanya untuknya. Tapi, ayahnya juga melakukan hal yang sama pada ibunya. Ayahnya tak pernah terlihat lelah atau mengeluh sama sekali. Punggungnya selalu terlihat tegak dengan lengan-lengan kokoh untuk merangkul mereka. Mengusir sedikit rasa sakit yang sudah ditinggalkan Bayu.

Dan malam itu Banyu tahu. Selama ini ayahnya melakukan itu untuk mereka, hidup seolah-olah telah ikhlas dengan apa yang menimpa. Kenyataanya, tidak. Tak ada satu pun yang mampu secepat itu. Ayahnya jelas menangis dalam gelap sendirian, tak terlihat dan tak terangkul. Kemudian pura-pura menjadi kuat setelah itu.

“Kenapa?” tanya Banyu. Ia melihat senyum sendu ayahnya di bawah lampu temeram yang membuat wajahnya semakin suram.

“Harus ada yang tetap kuat atau setidaknya pura-pura kuat supaya kita tetap selamat. Kita nggak boleh terpuruk sama-sama. Ayah udah ngelakuin hal yang salah sama Ega waktu itu. Dan ayah nggak mau melakukan hal yang sama ke Bayu. Ayah harus ikhlas. Ayah harus belajar keras untuk itu. Kamu sama Bunda butuh kekuatan Ayah. Jadi, Ayah nggak boleh kelihatan lemah.”

Sejak saat itu Banyu sadar. Ayahnya juga butuh sedikit dukungan bahkan pelukan hangat yang selalu beliau berikan untuknya. Bukan hanya mereka yang terpuruk kerena kejadian ini, tetapi ayahnya pun merasakan yang sama. Banyu harus belajar kuat dan ikhlas untuk membantu ayahnya. Lagi pula ia sudah berjanji pada Bayu akan menjaga ibu mereka dengan baik bersama sang ayah.

Meskipun sangat sulit. Banyu hanya harus pura-pura bisa seperti yang ayahnya lakukan. Sebab, pada akhirnya mereka harus ikhlas dan benar-benar melepaskan.

Banyu tersenyum pada pantulan dirinya. Di hatinya sesak itu masih bersarang, tapi ia sudah berjanji dan mengingatkan dirinya untuk belajar melepaskan saudaranya dengan benar. Lambat laun waktu pasti akan mengobatinya. “Suatu hari gue pasti bakal ikhlasin lo sepenuhnya,” ungkapnya.

Jari-jarinya kemudian mengaitkan satu kancing kemejanya yang tersisa. Lalu merapikan rambut acak-acakannya yang lembab. Hari ini ayahnya mengajaknya dan sang ibu ke suatu tempat dan akan menjadi kali pertama untuknya keluar rumah setelah Bayu pergi.

Banyu keluar dari kamarnya saat merasa siap untuk bergabung dengan yang lainnya di lantai bawah. Langkahnya terhenti sesaat, memutar kepala ke arah lantai tiga tepat ke pintu cokelat milik Bayu. Di atas sana barang-barang Bayu masih mereka biarkan. Mungkin akan dibiarkan tetap begitu. Setidaknya dengan keberadaan barang-barang tersebut kehadiran Bayu masih bisa mereka rasakan sedikit lebih lama. Bahkan koper-koper yang rencana akan cowok itu bawa ke Amerika masih tergeletak diam di bagasi mobilnya. Butuh waktu untuk membereskan itu nanti tanpa air mata.

Tungkai panjang Banyu kembali bergerak menuruni tangga. Di sofa ruang keluarga, ia menemukan ibunya sedang duduk melamun. Keadaannya sangat memprihatinkan, entah berapa kilo daging yang terbuang dari tubuhnya. Wajahnya tampak sangat tirus dengan warna gelap di sekitar matanya yang sembab. Ibunya baru saja selesai menangis, itu sudah jelas.

“Bunda ikut juga?” tanya Banyu ketika sudah berhadapan dengan sang ibu. Pakaian ibunya terlihat rapi. Sebenarnya hari ini ia tak yakin ibunya akan ikut dengan mereka, melihat kondisi sang ibu yang lebih memilih berbaring di dalam kamar beberapa hari ini.

Deva mengusap air matanya yang lagi-lagi akan jauh ketika memandang wajah putranya. Wajah itu jelas membuat hatinya kembali berdenyut sakit. Ia mengulurkan tangannya untuk menarik Banyu lebih dekat. Lantas bersandar pada tubuh Banyu, mendekap putranya lekat. Berharap yang berada di pelukannya saat ini adalah Bayu. Sesuatu yang mustahil. “Ayah bilang hari ini mau ngasih hadiah dari Bayu. Bunda juga mau lihat.” Deva membuang napas. “Maafin Bunda, Nyu.”

Banyu mengusap kepala ibunya kala isakan kembali terdengar. Ibunya memang selalu meminta maaf entah untuk apa. Sebab tak sekalipun ia menyalahkan ibunya karena kepergian Bayu. “Bunda harus kuat.”

“Kalian udah siap?” Adrian datang dengan senyum menyejukkan miliknya.

Banyu tak tahu lagi, itu senyum yang sesungguhnya atau hanya akting ayahnya saja. Namun, cowok itu ingin percaya kalau ia juga bisa melakukan hal yang sama.

“Jangan lupa kadonya.” Bik Dina juga bergabung bersama mereka. Ia mendekap bungkusan besar yang hampir manyaingi tingginya yang tak seberapa. Banyu dan Deva jelas kebingungan dengan itu, mereka memutar kepala ke wajah Adrian bersamaan.

“Kita mau ke pesta ulang tahun. Jadi, harus bawa kado, kan?” jelas Adrian. “Bibik nggak mau ikut?”

“Bibik harus nyiapin semuanya di sini. Kalian aja yang pergi,” jawab Bik Dina seraya menyerahkan kado itu pada Banyu.

“Isinya apa Bik?” tanya Banyu penasaran. Ia tertawa kecil ketika Bik Dina melakukan gerakan mengunci mulut. Wanita paruh baya itu terlihat lucu. Bik Dina juga banyak membantu mereka untuk bangkit. Meski terpuruk dalam kesedihan, beliau masih berusaha melayani kebutuhan mereka dengan sangat baik.

“Ayo berangkat.” Adrian menarik Deva untuk segera bangkit. Lalu memapah wanita itu berjalan keluar.

Banyu menghirup udara dalam, lalu mengembuskan perlahan. Mungkin sudah waktunya untuk membuang sedikit sesak yang lama tertampung di hatinya. Ia melangkah maju, menyusul orang tuanya yang berlalu lebih dulu.

☼☼☼

Sara tersenyum melihat Ega berteriak riang, setelah berhasil mengambil kado ulang tahunnya dari dalam tanah. Kado yang katanya sudah disediakan Bayu untuknya jauh-jauh hari. Dengan bimbingan selembar peta, yang sebenarnya sia-sia saja, karena Ega masih jelas mengingatnya.

Hati Sara belum sepenuhnya sembuh, entah butuh berapa lama hatinya melakukan perbaikan ulang, yang jelasnya Sara hanya mencoba tegar dan ikhlas sebagaimana mestinya. Saat ini ia harus terus berbohong pada Ega, bahwa Bayu pergi ke negara lain untuk belajar. Meskipun awalnya Ega sedih akan hal itu, tetapi pada akhirnya ia mengerti, dan mengatakan akan menunggu Bayu pulang, lalu menghukumnya.

Suatu hari mereka pasti akan menceritakan yang sebenarnya pada bocah itu. Tidak saat ini. Tidak di saat mereka baru belajar untuk melepaskan Bayu sepenuhnya.

Sara menghapus air matanya cepat, saat sadar cairan bening itu sudah mengalir di pipinya. Ia harus menghilangkan jejak, agar tak diketahui Ega yang saat ini bahagia karena kadonya.

“Kadonya bisa dibuka sekarang?” tanya Ega polos. Memeluk kotak tersebut erat. Sara tersenyum lalu mengangguk. “Yes!” pekik bocah itu. Ia duduk bersila di atas rumput, kemudian membuka bungkusannya dengan tidak sabar. Wajah kebingungan terlihat saat kotaknya sudah terbuka.

Yang ditemukan hanya sebuah foto keluarga berbingkai—Suami istri dan anak kembar mereka. Sara yang pertama kali sadar mengambil benda itu dari tangan Ega. Ia memperhatikan dengan saksama, jelas dua kembar itu adalah Banyu dan Bayu. Ia tidak mengerti apa tujuan Bayu memberikan kado itu untuk Ega.

Selain foto tersebut, terdapat amplop biru yang bertulisakan namanya, bukan nama Ega. Sara menyelipkan surat itu cepat ke kantong celana, akan membacanya nanti.

“Kadonya kok gitu, sih?” Ega terlihat tidak suka. “Kak Bayu ngerjain Ega.” Ia bersedekap dengan mulut mengerucut.

Lihat selengkapnya