The Scrivener Bones

Mizan Publishing
Chapter #2

Bab Satu

Nah, di sanalah aku, memerosot di kursiku, menunggu di terminal bandara yang menjemukan, asyik mengunyah sekantong keripik kentang melempem.

Bukan permulaan yang kau sangka-sangka, ya, kan? Mung-kin kau mengira aku akan memulai buku ini dengan adegan seru. Adegan yang melibatkan Pustakawan Durjana, barangkali—sesuatu yang ada hubungannya dengan altar, Benda Hidup, atau setidaknya sejumlah senapan mesin.

Maaf sudah mengecewakanmu. Bukan sekali ini saja aku akan melakukannya. Biar bagaimanapun, ini demi kebaikanmu sendiri. Begini, aku telah memutuskan untuk memperbaiki diri. Bukuku yang sebelumnya sungguh tidak berimbang—aku memulainya dengan adegan aksi menegangkan dan penuh ancaman. Kemudian aku mendadak menghentikannya dan membuat para pembaca merasa digantung, bertanya-tanya, frustrasi.

Aku janji, tulisanku selanjutnya tak akan lagi dipenuhi muslihat. Aku tak akan membuat akhir yang menggantung atau trik-trik lain untuk memaksamu terus membaca. Aku akan menuturkannya dengan tenang, khidmat, dan tanpa tedeng alingaling.

Oh, ngomong-ngomong. Apakah aku sudah bilang bahwa saat menunggu di bandara itu aku mungkin saja berada dalam situasi paling berbahaya seumur hidupku?

Aku memakan satu keping lagi keripik kentang melempem.

Kalau kau lewat dan melihatku duduk di sana, kau akan berpikir bahwa aku terlihat seperti bocah Amerika biasa. Usiaku tiga belas, dengan rambut cokelat tua. Aku mengenakan celana jins longgar, jaket hijau, dan sepatu kets putih. Badanku mulai tumbuh pesat selama beberapa bulan terakhir, tetapi tinggiku termasuk rata-rata untuk ukuran anak seusiaku.

Sebenarnya, satu-satunya hal yang tampak abnormal pada diriku adalah kacamata berlensa biru yang kukenakan. Itu bukan kacamata gelap sungguhan, lebih mirip kacamata baca orang lanjut usia, hanya warnanya biru muda.

(Aku masih memandang aspek dalam kehidupanku yang ini sungguh tak adil. Karena satu dan lain hal, semakin hebat daya Lensa Oculator, semakin jelek pula bentuknya. Aku sedang mengembangkan sebuah teori tentang itu—namanya Hukum Disproporsi Kepayahan.)

Aku mengunyah sekeping keripik lagi. Ayolah..., pikirku. Di mana kau?

Kakekku telat, seperti biasa. Yah, dia tidak bisa sepenuhnya disalahkan untuk itu. Leavenworth Smedry, bagaimanapun, seorang Smedry. (Semua orang juga sudah bisa menebak fakta itu dari nama belakangnya.) Seperti semua Smedry lain, dia memiliki Bakat sihir. Bakat kakekku adalah kemampuan untuk secara ajaib datang telat ke janji-janji pertemuan.

Sementara mayoritas orang akan menganggap ini sangat merepotkan, sudah menjadi kebiasaan para Smedry untuk mendapat keuntungan dari Bakat. Kakek Smedry, misalnya, cenderung telat ditembak dan telat mengalami bencana. Bakatnya telah berkali-kali menyelamatkan hidupnya pada berbagai peristiwa.

Sayangnya, dia juga cenderung telat untuk hal-hal lainnya. Kurasa dia menggunakan Bakat itu sebagai dalih bahkan ketika itu tidak dapat dipersalahkan; sudah beberapa kali aku mencoba menantangnya mengenai hal ini, meski selalu gagal. Dia akan telat datang hanya untuk menghindari dampratan, jadi ekspresi kemarahan itu tak akan pernah menjangkaunya. (Lagi pula, bagi Kakek Smedry, dampratan adalah bencana.)

Aku merosot lebih rendah lagi di kursi, berusaha tidak tampak mencolok. Masalahnya adalah, siapa pun yang mengetahui apa yang harus dicari bisa melihatku mengenakan Lensa Daya. Dalam hal ini, kacamata biru terangku adalah Lensa Kurir, tipe Lensa biasa yang memungkinkan dua Oculator berkomunikasi jarak pendek. Aku dan kakekku memanfaatkan Lensa-Lensa ini dengan baik selama beberapa bulan terakhir, ketika berlari dan bersembunyi dari agen-agen Pustakawan.

Hanya segelintir penduduk Negeri Sunyi yang paham kekuatan Lensa Daya. Sebagian besar orang yang lalu-lalang di bandara tidak tahu-menahu tentang hal-hal semacam Oculator, teknologi silimatic, dan sekte Pustakawan Durjana yang diamdiam menguasai dunia.

Ya. Kau tidak salah dengar. Pustakawan jahat mengendalikan dunia. Mereka memastikan semua orang berada dalam ketidaktahuan, mengajarkan kepalsuan sebagai pengganti sejarah, geografi, dan politik. Memangnya menurutmu apa alasan para Pustakawan menyebut diri mereka sendiri seperti itu?

Pustakawan. DUSTA-kawan.

Sekarang jadi lebih jelas, kan? Kalau kau ingin menoyor kepalamu sendiri dan mengumpat keras-keras, silakan. Aku bisa menunggu.

Aku makan keripik lagi. Kakek Smedry seharusnya mengontakku lewat Lensa Kurir sekitar dua jam lalu. Sekarang sudah sangat terlambat, bahkan untuk ukurannya. Aku celingukan, berusaha menemukan apakah ada agen Pustakawan di keramaian bandara.

Aku tak melihat satu pun, tetapi itu tidak menjamin apaapa. Aku cukup bijak untuk menyadari bahwa kau tak selalu bisa mengenali seorang Pustakawan hanya dari penampilannya. Meskipun ada yang berpakaian seperti lazimnya pustakawan— yang perempuan mengenakan kacamata berbingkai tanduk, yang lelaki dasi kupu-kupu dan rompi—yang lainnya terlihat sangat normal, membaur dengan penduduk Negeri Sunyi biasa. Berbahaya, tetapi tak terlihat. (Seperti tipe pembuat onar yang suka membaca novel-novel fantasi.)

Aku harus mengambil keputusan sulit. Aku bisa terus menggunakan Lensa Kurir, yang akan membocorkan identitasku sebagai Oculator pada agen-agen Pustakawan. Atau aku bisa melepasnya, dan bisa-bisa melewatkan pesan Kakek Smedry begitu dia berada cukup dekat untuk mengontakku.

Kalau dia berada cukup dekat untuk mengontakku.

Sekelompok orang mendekati tempatku duduk, menggantung barang-barang mereka pada barisan kursi dan membahas penundaan karena kabut. Aku menegang, bertanya-tanya apakah mereka agen Pustakawan. Tiga bulan dalam pelarian membuatku gampang gugup.

Namun pelarian itu sudah berakhir. Tak lama lagi aku akan lolos dari Negeri Sunyi dan akhirnya bisa mengunjungi kampung halamanku. Nalhalla, salah satu dari Kerajaan Merdeka.

Tempat yang keberadaannya tidak diketahui penduduk Negeri Sunyi, meskipun itu merupakan benua besar yang terletak di Samudra Pasifik antara Amerika Utara dan Asia.

Aku tak pernah melihatnya, tetapi aku pernah mendengar kisah-kisah tentang tempat itu, dan aku pernah melihat sejumlah teknologi buatan Kerajaan Merdeka. Mobil yang bisa melaju sendiri, jam pasir yang bisa melacak jejak waktu tak peduli ke arah mana kau membalikkannya. Aku ingin sekali pergi ke Nalhalla—meskipun yang lebih kuinginkan saat ini adalah keluar dari negeri-negeri yang dikuasai Pustakawan.

Kakek Smedry tidak menjelaskan bagaimana tepatnya dia berencana mengeluarkanku, atau bahkan mengapa kami bertemu di bandara. Sepertinya mustahil akan ada penerbangan menuju Kerajaan Merdeka. Namun demikian, apa pun metodenya, aku tahu pelarian kami mungkin tak akan mudah.

Syukurlah, ada sejumlah hal yang menguntungkanku. Pertama, aku seorang Oculator, dan aku memiliki akses ke Lensa-Lensa yang lumayan kuat. Kedua, ada kakekku, yang sangat lihai menghindari agen-agen Pustakawan. Ketiga, aku tahu Pustakawan tidak suka menjadi pusat perhatian, bahkan saat mereka diam-diam hampir menguasai seluruh dunia. Barangkali aku tidak perlu khawatir soal polisi atau petugas keamanan bandara—para Pustakawan tidak ingin melibatkan mereka, karena tidak mau mengambil risiko mengungkapkan persekongkolan itu pada orang-orang yang terlalu rendah kedudukannya.

Aku juga punya Bakat. Tetapi ... yah, aku sangsi apakah itu menguntungkan atau tidak. Bakatku—

Aku membeku. Seorang lelaki berdiri di area tunggu gate di sampingku. Dia mengenakan setelan jas dan kacamata gelap. Dan dia sedang menatap lurus ke arahku. Segera setelah aku menyadari kehadirannya, dia memalingkan pandangannya, sikap tak acuhnya tampak terlalu dibuat-buat.

Kacamata gelap itu mungkin Lensa Prajurit—satu-satunya jenis Lensa yang bisa digunakan non-Oculator. Tubuhku menegang; lelaki itu tampak menggumam sendiri.

Atau berbicara pada perangkat penerima radio.

Demi Kaca Pecah! Aku memutar otak, berdiri tegak, dan memanggul ranselku. Aku berjalan meliuk-liuk melalui kerumunan, meninggalkan gate, dan mengangkat tangan ke mata, bermaksud melepas Lensa Kurir.

Tetapi ... bagaimana kalau Kakek Smedry berusaha mengontakku? Mustahil dia bisa menemukanku di bandara yang ramai ini. Aku harus tetap mengenakan Lensa ini.

Aku merasa perlu mengambil jeda sejenak di sini untuk memperingatkanmu bahwa biasanya aku mengambil jeda sejenak untuk menyinggung hal-hal remeh. Itu salah satu kebiasaan burukku yang, selain mengenakan kaus kaki tidak serasi, cenderung membuat orang agak jengkel terhadapku. Tetapi jujur saja itu bukan salahku. Aku menyalahkan masyarakat untuk itu. (Untuk kaus kakinya, maksudku. Tindakan mengambiljeda-sejenak itu sepenuhnya salahku sendiri.)

Aku mempercepat langkah, terus menundukkan kepala dan memakai Lensa. Aku belum berjalan jauh ketika melihat sekelompok lelaki bersetelan jas hitam dan dasi kupu-kupu pink berdiri di travelator tak jauh di depanku. Ada sejumlah penjaga keamanan berseragam bersama mereka.

Aku membeku. Ternyata aku keliru tentang bagian tidak perlu mengkhawatirkan keterlibatan polisi .... Sambil berusaha mengendalikan kepanikan, aku memutar tubuh—setenang mungkin—dan bergegas ke arah sebaliknya.

Seharusnya aku sudah menyadari bahwa aturan-aturannya akan mulai berubah. Para Pustakawan telah menghabiskan tiga bulan memburu Kakek Smedry dan aku. Mereka mungkin membenci gagasan melibatkan penegak hukum setempat, tetapi mereka lebih benci membiarkan kami lolos.

Kelompok agen Pustakawan kedua muncul dari arah sebaliknya. Selusin prajurit mengenakan Lensa, kemungkinan menyandang pedang-pedang kaca dan senjata-senjata canggih lain. Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan.

Aku pun masuk ke kamar mandi.

Ada beberapa orang di dalam sana, melakukan urusan ma-sing-masing. Aku bergegas menuju dinding belakang. Kubiarkan ranselku jatuh ke lantai, kemudian kusentuhkan kedua tangan pada ubin-ubin di dinding.

Beberapa orang di kamar mandi menatapku dengan aneh, tetapi aku sudah terbiasa mendapatkannya. Orang-orang sering menatapku dengan aneh hampir sepanjang hidupku—apa lagi yang akan kau harapkan untuk seorang bocah yang secara rutin merusak barang-barang yang tidak sepenuhnya mudah dirusak? (Dulu, waktu usiaku tujuh tahun, Bakatku memutuskan untuk memecahkan bidang-bidang beton yang kulangkahi. Aku meninggalkan jalur berupa petak-petak trotoar hancur di belakangku, seperti jejak kaki robot pembunuh yang sangat besar—robot yang mengenakan sepatu kets ukuran enam.)

Lihat selengkapnya