The Second Chance We Need

shella
Chapter #2

#1 we used to be stranger

Hokkaido, 12 Februari 2027

Sore itu, aku melangkah sambil merasakan runtuhnya duniaku. Betapa hancurnya seluruh rasa yang pernah lewat sangat nyata hingga desir peredaran darahku terasa sekujur tubuh. Langkah kecilku terus bertambah, menuju eskalator turun ke lantai underground, lalu setengah berlari ke lobby dan keluar karena harus mengejar jadwal subway menuju klinik hewan.

Earphone-ku terus mengalunkan lagu yang fit-in-to his vibes. Mengingatkanku pada segelintir momen-momen kecil yang tak banyak dan tak panjang namun istimewa. Tali penyandangku yang tadinya masih disimpan di dalam tas mulai kukeluarkan dan kupakai di jalan. Benda itu bertuliskan namaku dalam Bahasa Jepang, Shella Anindya (シェッラ アニンディア) , serta posisiku bekerja, yaitu dokter hewan (獣医). Aku melakukan internship sebagai dokter hewan, sekaligus mengenyam pendidikan S2 di Hokkaido, setelah berusaha bangkit dari patah hatiku di tahun 2024.

 

Bogor, 17 Desember 2019

“Kalau kamu, kenapa suka sama silat, Shel?”

“Hmm… seru, Kang. Selain bikin imun tubuh jadi bagus, aku punya pelarian terbaik kalau lagi ngerasa kacau. Aku gak perlu ngancurin barang-barang rumah tapi semua energiku tersalurkan. Kang Raihan sendiri, suka olahraga apa?” tanyaku balik.

Nothing special. Tapi kalau soal olahraga bela diri, sebetulnya aku udah pernah ikut kung fu sama wushu. Kalau pencak silat kayak kamu belum pernah. Kira-kira perbedaannya apa, sih?”

Begitulah percakapan kami berdua melalui video call. Seseorang yang sejak 17 menit lalu berbicara denganku adalah Raihan Agishtama, kakak tingkatku di kampus yang sama, tetapi dari jurusan yang berbeda. Kami bertemu dan saling mengenal karena sebuah event kampus yang menampilkan sebuah drama musikal. Aku dan Kang Raihan sama-sama menjadi figuran, saling sapa, dan berkenalan.

Tahun ini merupakan tahun pertamaku memasuki dunia perkuliahan, ditempa dengan berbagai tugas ospek dan ‘kejutan-kejutan’ baru di bidang akademik. Meski begitu, seperti yang sudah kusebutkan barusan, bahwa aku tetap membutuhkan kegiatan non-akademis yang lebih ‘seni’ dan ‘olahraga’. Kebanyakan mahasiswa baru sepertiku masih berada dalam masa observasi. Dunia perkuliahan dan sekolah cukup berbeda, memiliki fleksibilitas dan jangkauan yang lebih besar ketimbang dulu ketika masih menjadi siswa. Hal ini mempengaruhi berbagai kegiatan seperti drama musikal ini yang pada akhirnya merekrut lebih banyak mahasiswa yang berada di angkatan atasku.

Akan tetapi, beradaptasi dengan cepat bukan suatu kesulitan untukku. Justru, ada banyak sekali topik pembicaraan yang bisa digunakan ketika mengobrol dengan orang baru, terutama kakak tingkat yang ditemui di event-event kampus seperti ini. Apalagi yang berasal dari jurusan atau fakultas lain.

"Eh, Shel, gue mau nanya, deh," panggil Kang Raihan.

"Apa tuh?"

"Bener gak, sih, katanya kalau kucing gak pernah kedengeran suaranya kayak mendengkur gitu artinya dia gak pernah ngerasa bahagia?"

Aku tertawa pelan. Mana ada aku pernah diajari yang seperti ini di kelas?

"Kayaknya mitos, deh, kang. Malah yang pernah aku denger waktu praktikum, kalau ada suara kayak gitu, bisa jadi ciri-ciri kucingnya lagi sakit," jawabku. "Emangnya kenapa?"

Lihat selengkapnya