Kami berdua terdiam setelahnya. Aku tahu siapa Jeisha. Perempuan itu seusiaku, jauh lebih feminin dibandingku, erat kaitannya dengan warna-warni, klub menari atau tim cheerleader, berprestasi dan aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa di kampus, dan aku tidak pernah mengira bahwa melakukan pengkhianatan baginya seperti sesuatu yang mudah seperti yang dikatakan oleh Karim. Otakku berusaha untuk mencerna, apakah hal ini suatu candaan belaka?
“Sebentar, Rim. Gue mau tau, gimana caranya lo tau kalau Jeisha selingkuh?” tanyaku perlahan.
“They were making out. Di ruang ganti lapangan basket kampus.”
What the hell is happening, God?
“And you saw them by yourself?” tanyaku memastikan kembali. Karim hanya menjawabnya dengan anggukan.
“So, are you breaking up with her?”
“Not yet. Gue belum minta klarifikasi dari Jeisha. Gue mau tahu dulu dari cowoknya. Obrolan sesama laki-laki dulu kayaknya lebih mudah untuk dilakukan lebih awal,” ucap Karim. Wajahnya tampak lebih pucat sekarang. Nyawaku terasa seperti menghilang seperempat. Kini, aku yang penasaran dengan siapa laki-laki yang Karim maksud.
“Lo kenal sama cowoknya?”
“Kenal. Dia adik tingkatnya Kang Raihan di SMA, dan Jeisha juga. Cowok itu satu angkatan sama kita,” jawab Karim.
“Jadi, mereka bertiga satu sekolah?”
Aku menggelengkan kepala. Sekali lagi tidak habis pikir dengan isi kepala Jeisha. Meski mengenai lelaki yang menjadi selingkuhan Jeisha, jelas saja aku pasti tidak mengenalnya meski Karim menyebutkan namanya. Karim akhirnya berpamitan setelah selesai bercerita dan menghabiskan es sirupnya. Ketika aku memasuki kamar, perhatianku teralihkan oleh notifikasi yang masuk dari ponselku. Sebuah pesan singkat dari Kang Raihan.
Minggu depan sibuk gak Shel?
Tiba-tiba banget dia nanya? Pikirku.
Kalau senggang, bantu gue cari kado, yuk. Nyokap gue ultah, tapi gue bingung harus kasih apa?
“Pembunuhan berantai kali, ya, hari ini?”
Langsung kubalas pesan itu dengan hati-hati.
Agendaku kosong, kang.
Boleh. H-1 ingetin lagi, ya.
Ketemu di mana?
Aku rasa jawaban ini sudah tepat. Kulempar ponselku ke atas kasur, kupastikan ia mendarat dengan mulus dan aman. Perasaanku mulai tidak karuan. Aku mengakui, bahwa terkadang ketika kita sedang menghadapi berbagai rasa, kita tidak mungkin bisa meng-handle seluruh rasa yang muncul, karena pasti akan selalu ada satu yang paling dominan dan ia tak tergantikan. Sama seperti bayang-bayang Kang Raihan setelah event kecil yang tidak semua orang di kampus tahu, menjadi bayang paling dominan yang hampir meluruhkan banyak isi pikir yang jauh lebih penting dari kehadiran dia.
Notifikasi ponselku kembali berbunyi.
I’ll remind you, Shel
Aku jemput kamu aja. Share your location, Shel
Sepertinya kepalaku ingin meledak. Bukan cuma skripsi yang mampu menekan seluruh isi kepala dan hatiku, tapi juga sebuah notifikasi berisi pesan Kang Raihan juga mampu mengobrak-abrik hal-hal yang sudah bertahun-tahun aku coba tata ulang.