Bandung, 2020
Aku menyalakan lighter dan membakar sebatang rokok di bibirku. Berusaha berpikir tenang dan tidak lagi merasakan perasaan apapun yang datang merasuki relung hati. Biarlah logika matematika dan fisika yang bermain peran saat ini dan membuktikan bahwa waktu dan peristiwa bukanlah hal yang dapat dihindari bahwa mereka memiliki ribuan bahkan jutaan kemungkinan yang membawa semua manusia menuju akhir kisah yang berbeda-beda meski saling berkaitan satu sama lain.
Kembali pada layar laptopku, mengetikkan beberapa kata penutup untuk chapter hari itu dan mematikan seluruh perangkat yang ada di atas meja. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, besok harus berangkat kelas pagi. Semenjak perkuliahan ini dimulai, aku sudah tidak pernah lagi mengatur notifikasi ponselku ke mode getar ataupun sunyi. Ponselku akan terus berbunyi apabila ada pesan baru ataupun telepon masuk. Aku juga sudah mengingkari janjiku pada diri sendiri untuk menghindari rokok. Batang nikotin yang candu itu memang sangat mampu meredam kegilaan dan sebagian rasa sakit yang datang. Bukan suatu hal baik yang patut dicontoh, aku merasa bersalah namun tak dapat berhenti untuk sekarang.
Sayangnya, sebuah pesan masuk melalui ponselku yang belum mati total dan tersambung pada kabel pengisi daya.
Shel, besok kan Jumat, ayo pergi jalan. Udah lama kita gak main☹
Aku tersenyum.
Kuketikkan beberapa kata untuk membalas pesan tersebut. Pesan favorit yang selalu kutunggu setiap hari. Pesan yang selalu membuat hari-hari beratku terasa lebih ringan. Apapun gangguan yang ia timbulkan, akan selalu kusyukuri sebab ia masih ada di hidupku, di sampingku, dan berjanji takkan pernah pergi.
Boleh, kamu pilih tempatnya, ya, Kang. Nanti kukabari lagi kalau tidak ada jadwal kita bisa jalan 😊
Setelah itu, kumatikan rokok yang belum habis setengah. Setiap kali aku teringat dia, aku selalu ingat untuk berusaha berhenti merokok sebab omelannya lebih candu dari nikotin yang kuhisap dari sebatang rokok.
Ia kembali membalas pesanku.
Okay, I’ll call you later, Shel. Aku masih belum kepikiran mau kemana. Don’t sleep too late.
Ok, good night
Good night too.
Aku menghela napas. Entah sampai kapan aku bisa bertahan dengan kehidupan ini.
Aku mematikan lampu kamarku dan segera melompat ke kasur. Menutup setengah tubuhku dengan selimut dan terlelap, berusaha menenggelamkan pikiranku pada cahaya redup yang semakin gelap dan kesadaran yang menurun.
Hingga matahari kembali ricuh menerobos jendela kamarku hingga mendapatiku terbangun dengan kondisi yang lebih baik dari kemarin. Meski isi pikiran tetap kacau tak jauh berbeda dari 3 hari yang lalu. 3 hari yang lalu adalah ramainya kabar di sosial media bahwa Ketua Himpunan Mahasiswa Komunikasi di kampus Karim, adalah terduga pelaku kekerasan seksual. Semua orang berdebat hebat di sosial media sebab dua hal utama. Pertama, kekerasan seksual adalah tindakan paling hina yang pernah dilakukan di bumi. Kedua, terduga pelaku yang dilaporkan adalah seorang perempuan dengan titel ketua himpunan mahasiswa.
Pagi itu aku memutuskan untuk menanyakan kabar Karim setelah 3 hari kasus ini meledak dan menjadi perbincangan sebagian besar mahasiswa di kampusnya. Meski kasus ini hanya melibatkan pelaku dan korban, Karim yang merupakan ‘pacar’ dari terduga pelaku pun ikut terseret namanya dalam perbincangan orang-orang di sekitarnya. Beberapa orang membenci Karim, sebagian menghindari Karim, dan sisanya memilih untuk tidak peduli.
“Gue dibenci banyak orang sekarang, Shel. Padahal gue juga korban. Gue gak pernah tahu kalau ini cuma perselingkuhan. Tapi ternyata si cowoknya laporin ini sebagai kasus KS,” ucap Karim melalui telepon.
Aku menghela napas. Aku juga tidak pernah tahu kalau pada akhirnya, kasus ini akan sangat jauh melebar.
“Laporannya naik bulan apa sih, Rim?”