The Secret of Lily Morgan

Haris Hidayat
Chapter #1

1. Gadis Kecil dengan Sejuta Rahasia

Malam itu, hujan seakan membawa perasaan yang tak bisa diucapkan oleh gadis kecil dengan sejuta rahasia. Bukan dentuman keras badai yang mengamuk, melainkan sesuatu yang lembut, halus, dan berbahaya. Ia berbisik di kaca jendela rumah keluarga Morgan, setiap tetesnya membawa rahasia kecil yang meluncur di permukaan kaca kusam yang sudah berbulan-bulan tak tersentuh kain lap. Talang air yang berkarat dan tersumbat menelan air hujan, lalu memuntahkannya kembali dalam aliran tersendat yang meninggalkan guratan gelap di dinding yang telah lama ditelan sulur-sulur ivy.

Aku menempelkan wajahku pada kaca loteng, menatap aliran air yang menelusuri jalannya seperti air mata yang sudah tak lagi mampu kuteteskan. Kaca itu dingin di dahiku, cukup dingin untuk mematikan denyut nyeri yang telah lama berdiam di balik mataku. Di bawah sana, taman rumah membentang dalam kekacauan yang liar, dikuasai oleh rumput liar yang tumbuh begitu tinggi hingga bisa menyembunyikan seseorang, atau mungkin, sebuah tubuh.

Papan lantai berderit lembut di bawah telapak kakiku yang telanjang saat aku menjauh dari jendela. Gaun tidurku, yang dulu seputih salju segar, kini telah menguning oleh waktu dan terlalu sering dicuci dengan air dingin. Kainnya menggantung longgar di tubuhku yang kian kurus dari hari ke hari, dari setiap makan malam yang tak kusentuh, dari setiap hukuman yang membuatku terkurung di menara tempat segala sesuatu yang dilupakan.

Suara Ibu merambat dari lantai bawah, menembus celah-celah kayu tua seperti racun yang menguap di udara. Ia tidak berbicara kepada siapa pun. Ayah telah lama mengasingkan diri di ruang kerjanya, ditemani sebotol bourbon dan koran kemarin. Ibu sedang berbicara dengan kenangan, dengan bayang-bayang yang hanya bisa ia lihat sendiri.

“Olive pasti menyukai cuaca seperti ini,” bisiknya pelan, suaranya seperti doa yang diulang begitu sering hingga kehilangan maknanya. “Dia selalu berkata, hujan membuat segalanya menjadi bersih kembali. Suci.”

Aku memeluk diriku sendiri, merasakan tulang-tulang yang menonjol di bawah kulit. Tidak ada kehangatan dalam pelukan itu, hanya upaya putus asa untuk menahan diriku agar tidak hancur sepenuhnya. Udara di loteng terasa pengap oleh debu dan kesepian, oleh benda-benda yang terlalu lama dibiarkan dalam kegelapan.

Kunci di pintu kamarku telah dibuka satu jam yang lalu. Hukuman itu secara resmi telah berakhir. Namun di rumah keluarga Morgan, tidak ada hukuman yang benar-benar usai. Mereka hanya berubah bentuk, menyusup ke dinding, melekat di wallpaper, dan berdiam di sudut-sudut rumah seperti sarang laba-laba yang tak pernah dibersihkan.

Semuanya berawal dari gaun itu. Selalu tentang gaun itu.

Aku masih dapat melihat tangan Ibu yang gemetar saat ia mengangkatnya dari tumpukan kertas tisu yang melindunginya selama bertahun-tahun. Kain biru pucatnya menangkap cahaya redup yang menembus tirai berat kamar tidurnya. Deretan kancing mutiara berkilau seperti tengkorak kecil, dan kerah renda di lehernya tampak bergetar seolah bernapas. Ia memeluk gaun itu ke dadanya, berayun perlahan, matanya terpejam seperti ingin memanggil kembali gadis yang seharusnya mengenakannya.

“Lihat dirimu,” desisnya tajam sambil menyorongkan gaun itu kepadaku. “Lihat apa yang telah kau buat. Olive akan membuat gaun ini penuh cahaya dan kehidupan. Kau membuat segalanya redup.”

Aku hanya berdiri diam seperti biasanya, membiarkan kata-katanya melukai bagian-bagian di dalam diriku yang belum sempat sembuh. Apa yang bisa kukatakan? Bahwa aku tidak meminta dilahirkan setelah tragedi? Bahwa aku tak bisa menghidupkan yang telah mati, betapapun kerasnya ia menginginkannya?

Cermin di kamar Ibu memantulkan dua sosok. Satu hidup, satu bayangan. Tetapi kadang aku tak tahu, siapa yang sebenarnya masih hidup.

Di loteng yang kini menjadi penjaraku, aku melangkah menuju pintu kecil yang mengarah ke tangga pelayan. Rumah Morgan penuh dengan lorong rahasia, jalur-jalur tersembunyi yang dulu digunakan para pelayan agar bisa bergerak tanpa terlihat. Aku telah mempelajari semuanya, setiap derit papan, setiap napas di dalam gelap. Seorang gadis yang terbiasa menghilang harus mengenal setiap tempat di mana dirinya bisa bersembunyi.

Tangga itu berputar menurun di tengah rumah seperti tulang punggung kayu yang tua. Aku menuruni anak tangga perlahan, jemariku menyentuh pegangan tangga yang licin oleh waktu. Di bawah sana, jam besar di ruang depan berdetak dengan bunyi berat yang terasa seperti batu yang menghitung waktu menuju sesuatu yang tak terelakkan.

Pintu ruang kerja Ayah tertutup rapat, cahaya kuning menetes keluar dari celah bawahnya seperti racun yang mengalir. Aku mencium asap rokoknya, bercampur dengan aroma tajam dari minuman keras yang menemaninya setiap malam. Kadang aku bertanya-tanya, apakah ia masih ingat bahwa ia memiliki seorang putri. Kadang aku berharap ia tidak.

Dapur terasa seperti gua yang dingin, penuh bayangan dan pantulan logam perak. Cahaya bulan jatuh di atas ubin dan perabot, menciptakan kilau yang tak bernyawa. Aku berhenti sejenak di ambang pintu, mendengarkan apakah Ibu masih berbicara. Namun rumah telah hening. Mungkin ia akhirnya tertidur, dikelilingi foto-foto lama dan kenangan yang terus menggerogotinya seperti binatang lapar.

Aku memutar gagang pintu dan melangkah keluar.

Hujan langsung menyambutku, membasahi seluruh tubuh, menembus kain tipis gaun tidurku dan menempel di kulit kepala hingga rambutku melekat seperti benang kusut. Namun ada kelembutan dalam sentuhan hujan itu, sesuatu yang hampir terasa seperti pengampunan. Dua hal yang telah lama hilang dari rumah ini.

Beranda belakang berderit di bawah kakiku. Papan-papannya lapuk dan bengkok, seolah tak mampu lagi menanggung beban siapa pun. Dulu, tempat itu pernah menjadi ruang bagi sore musim panas, tawa keluarga, dan gelas limun dingin. Kini hanya tersisa puing dari masa lalu yang hancur, serpihan kenangan yang tak lagi punya bentuk.

Lihat selengkapnya