"Syukurlah, kupikir akan terlambat." Helm diletakkan di atas spion usai Jovita mengembuskan kelegaan dari segala suntuk di pagi ini.
Masalah dimulai dari abangnya yang kemarin tertimpa motor vespa, "Kalau abang enggak bebal, dia enggak mungkin jatuh. Itu memang salahnya dia, selalu terburu-buru." Masih mengoceh tanpa tahu bahwa dia keliru memilih area untuk memarkirkan kendaraannya.
Alih-alih mengatur posisi vespa di parkiran motor, Jovita malah merapatkannya pada barisan mobil dan menempatkan skuter miliknya tersebut di tengah-tengah.
"Bodoh! Dia pikir lahan ini milik kakeknya?! Kau pikir bisa mencuri tempat Benji? Awas kau, ya!"
"Ji--Jidan! Biar aku--"
Mereka adalah dua mahasiswa yang barusan tiba di arena parkir. Tampak satunya tidak punya kesabaran. Dia bergegas keluar mobil untuk menghampiri si gadis pengandara vespa, disusul temannya berjalan lambat di belakang dia. Jovita sungguh tidak mengira jika pagi di hari ini bisa menjadi lebih buruk dari kepanikan singkat tadi.
"Hei, kau! Siapa yang mengizinkanmu menaruh vespa butut itu di sini? Ini zona parkir khusus mobil, sesuaikan tempat untuk kendaraanmu!" Langsung menyerukan protesnya ke punggung Jovita. Begitu si gadis berbalik, keduanya serempak terbelalak.
"Kau 'kan--"
"Wah ... kau lagi, kau lagi! Suasana jadi buruk setiap kali bertemu kau dan saudaramu. Heh, cepat geser vespa itu! Kau mengambil tempat Benji, mobilku."
"Kau ini memang tidak tahu santun, ya? Seenaknya memerintah orang."
"Cukup lakukan yang aku bilang. Pinggirkan vespa jelek itu atau aku sendiri yang memindahkannya?!" Jovita memberengut tak senang, menatap berang pada pemuda sok di depan dia.
"Aku tidak peduli siapa kau dan sekaya apa dirimu." Sembari sekejap melirik ke mobil keren di seberangnya, "Kau tetap tidak bisa mengaturku sesuka hatimu." Geram hatinya menular kepada Jidan, tak kalah memandang sengit bercampur kesombongan yang kepalang mendarah daging sejak balita.
"Berani sekali kau, kampungan!" Detik berikutnya Jidan menarik kasar lengan si gadis, menyeretnya paksa agar dia bisa leluasa menggeret vespa kuno pemancing amarahnya. "Aku kasih tahu ya, aku tidak suka mengalah! Seharusnya kau bisa memahami kata-kataku dari awal." Saking dongkolnya, kemarahan itu meningkatkan kekesalan Jovita Prune hingga imbasnya menimpa vespa ketika ternyata dia tidak pandai menegakkan dengan benar motor tua tersebut, lalu kontan terjatuh ke samping.
"Astaga, Lupi!" Dahi Jidan berkerut heran sembari dia tertawa remeh.
"Lupi?! Apa kau juga memberi nama untuk skuter rongsokan begitu? Pantasnya ia dipungut oleh pemikul besi karatan."