"Pipimu merah, mau aku antar ke unit kesehatan? Mungkin di sana ada yang bisa digunakan untuk mengompresnya." Jovita cuma menggeleng-geleng sebelum kembali menduduki permukaan keramik, menyandarkan punggungnya ke tembok. Dia membuka tas selempang yang dibawa, meraih selembar sapu tangan biru guna menutupi memarnya.
"Aku tidak apa-apa," katanya pula, meskipun pernyataan ini merupakan kebohongan. Tamparan itu lumayan kuat, hingga dia dapat merasakan kebas pada kedua sisi rahangnya.
"Tapi, orang-orang akan melihat kondisimu karena bekas tamparan itu dan mempertanyakannya."
"Aku tidak peduli mengenai opini siapapun." Ega mengerang pasrah, mengedarkan pandangnya ke sekitar lantai dua. Semilir angin bertiup lembut, menggiring helai rambut Jovita berayun hingga membelai muka. Adegan dramatis tak ayal menarik si pemuda menjauh dari kesadaran. Dia terpukau di tempat. Pemandangan Jovita dalam kondisi saat ini sungguh memesona di mata. "Pergilah, mereka sudah tidak di sini."
Alih-alih menuruti, dia justru duduk di samping Jovita sambil menekuk satu kakinya sebagai tumpuan lengan. "Aku masih ragu mengenai asumsi ini, tetapi tidak masuk akal kalau mereka menyerang tanpa sebab."
"Tidak perlu mengasihani diriku. Aku juga tidak meminta perhatian apalagi simpati orang. Ini akan tetap menjadi urusanku sendiri." Pemuda di sebelahnya terdiam dan ketika dia melirik yang ditemui adalah ketenangan di paras tampan. Jovita memanfaatkan sedikit lipatan detik untuk mengagumi keindahan itu. Tentu tidak berlangsung lama, berakhir saat netra si empu terbuka lagi, menatap dirinya bak maling kedapatan mencuri.
"Memangnya aku bilang kasihan padamu?!"
Buru-buru Jovita menggulir fokusnya ke depan, bertepatan si pemuda menguak penglihatannya.
"Ada kesimpulan lain? Kau tidak mengenalku, lalu mau merepotkan diri untuk naik ke sini dan menghardik gadis-gadis manja tadi--apa sebutan yang pantas selain rasa iba?!" Sudut-sudut bibir si pemuda tertarik sekadar menyebarkan daya pikatnya.
"Jangan heran begitulah! Aku tahu kau sedang menikmati wajah tampanku ini." Hendaknya merutuki bibir tak senonoh tersebut, namun Jovita kehilangan nyali oleh getaran di rongga dadanya. "Ega Calestino. Dan kau, siapa namamu?"
"Jovita," jawabnya singkat sembari mengerling ke arah lain.
"Jovita--"
"Prune."
"Ehm, namamu bagus juga--kupikir akan sulit mengetahuinya. Ternyata kau orang yang cukup mudah didekati." Jovita yang detik itu beranjak, kalah cepat dari tarikan pemuda ini. "Pemarah sekali. Kau berbeda, tidak seperti saat di tengah jalan tempo hari." Si gadis menoleh dengan dahi mengernyit tajam, risi pun kentara di rautnya jangka dia mengamati genggaman erat melingkar di pergelangannya. "Apa begini caramu memperlakukan orang yang telah menolong dirimu?"
"Apa maumu, katakan?! Hentikan saja jika kau berniat memeras aku dengan uang, hadiah maupun hal-hal berbau material lainnya. Aku tidak bisa memberikan semua itu." Ringkas sekali si pemuda tertawa main-main. Batinnya tergelitik lantaran bait sarkasme dari gadis yang dia yakini telah mencuri perhatiannya justru sejak di pagi hujan waktu itu.