Perdebatan tidak dapat dihindari usai fakta mengenai pekerjaan baru yang ditawarkan jauh dari perkiraan. Bukannya anak-anak, Irene sangat jelas mengatakan bahwa yang akan diasuh Jovita adalah seorang Tuan Muda dengan rentang usia serupa dirinya. Ocehan Samuel pun tak tanggung-tanggung menyerang ketenteraman rungu. Pemuda itu bersikeras agar adiknya menolak pekerjaan tersebut.
Akan tetapi, Jovita enggan membatalkan rencana yang telah diputuskan. Setidaknya dia patut memastikan langsung seperti apa situasi dan kondisi pekerjaan ini. Hingga pada akhirnya dia pun sampai di kediaman calon majikannya yang ternyata merupakan golongan teratas. Hunian di depan matanya sekelas mansion para kaum elit di Ibu Kota. Beruntung dia tidak begitu kuno untuk tahu sebagian dari fasilitas canggih para orang kaya, seperti interkom yang terpasang di sisi kiri gerbang.
"Halo, saya Jovita Prune. Kedatangan saya ke sini atas tawaran pekerjaan sebagai pengasuh Tuan Muda." Sejemang pagar cukup tinggi di depannya merenggang, tidak membuat dia berpikir lama untuk segera masuk. Terasa mudah setelah dia menerima sedikit saran oleh Irene mengenai permulaan yang harus dilakukan. "Pak, bagaimana caranya saya bisa menemui penanggungjawab rumah ini?" katanya begitu berhadapan dengan pria paruh baya berpakaian seragam.
"Mari, saya akan mengantar Anda kepada Ibu Moni."
"Terima kasih." Sampai kelegaan pada embusan napas Jovita kentara terdengar.
Suasana mendadak tegang dan ini kepalang mengejutkan, rautnya kontan berubah jangka melihat sosok wanita tua bermuka ketat duduk berseberangan dengannya. Jovita mendadak kesulitan untuk tenang. Gadis ini betah menunduk sembari mengepalkan kedua telapak tangannya di permukaan paha.
"Jadi, namamu Jovita?"
"I-iya, Nek ..."
"Ibu Moni."
"Maksudku Nenek Moni, ah--Ibu Moni. Maafkan aku, aku benar-benar gugup saat ini." Mengaku lebih baik daripada dia mesti menelan tekanan yang seakan sanggup menginvasi seluruh pasokan udara segar di sekitar.
"Tuan Muda Jiji, sepertinya kau seumuran dengannya. Berarti, ini pertama kalinya dia berurusan dengan pengasuh sebaya. Orang-orang sebelumnya terdiri dari pria dan wanita berusia matang, kualifikasi antara 35-45 tahun dan mereka semua sudah berkeluarga. Rata-rata hanya bertahan hingga di minggu ke tiga. Ada yang nekat berhenti di minggu ke empat supaya bisa memperoleh upah penuhnya."
"Lalu, bagaimana aku akan mengurus Tuan Muda?"
"Kau tidak ingin bertanya?" Nenek Moni menaikkan sebentar kacamatanya. Meski rambut sudah memutih tidak pula menyebabkan ketegasan di parasnya menyusut.
"Aku baru saja bertanya pada, Nenek."
"Alasan apa yang membuat mereka tidak bertahan?!"
"Maaf Nek, aku tidak tertarik dengan urusan orang lain. Itu masalah mereka, aku bisa mencari tahu sendiri apa yang membuatku penasaran."
"Ya sudah, ikuti aku!" Mereka bergeser ke anak tangga menuju lantai dua. Dan di situ Jovita tidak berhenti melongo akan keindahan ukiran relief di sepanjang pegangan tangga. "Kau masih kuliah?"
"Iya, apa?! Eh, maaf, Nek. Aku tidak sengaja. Maksudku dari mana Nenek tahu?"
"Kau pikir aku bodoh? Bocah ingusan sepertimu gampang diterka. Sudah kubilang 'kan kalau yang biasa menjadi pengasuh Tuan Muda berumur lebih tua darimu dan mereka sudah menikah."
"Ah, ma--"
"Tidak usah diteruskan. Aku tahu apa yang mau kau katakan--lantai dua di sisi kanan ini khusus ruangan yang dipakai Tuan Muda, lengkap fasilitas keinginannya. Dia pasti lebih banyak menghabiskan waktu di sini."
"Dia sangat kaya," lirih terucap dan Nenek Moni sendiri juga sekadar menangkap nada suaranya.
"Tuan muda benci privasinya diganggu. Jika--"
"Astaga! Kenapa foto si jelek ini bisa ada di sini? Apa dia artis?!"
"Siapa yang kau sebut artis?"