Jovita tiada menyadari sudah berapa lama dia melongo karena menyaksikan penampilan Jidan yang amat-amat berlainan dengan karakter dia sebagai pemuda menyebalkan. Niat hati hendak mengerjai dengan sengaja mengambil setelan kuning bergambar kepala anak ayam dari lemari. Berpikir mungkin pemuda itu akan menghardiknya lantang, dan gagal saat jelas sekali dia bersikap biasa saja seperti tidak merasa kesal maupun risi. Malahan wajahnya tampak semringah sebelum memutuskan untuk berpindah ke taman yang tersedia di balkon kamarnya.
"Aku terlalu sering mendapatkan perhatian semacam itu. Terserah, asal kau tidak menjatuhkan bola matamu." Kata-katanya sudah jelas mengandung cibiran, tepat pada posisi Jovita yang terang-terangan melongo mengamati dia.
"Piyama itu cocok dipakai olehmu." Dalam hati cekikikan. Jovita hendak sekali melantangkan tawa andai melupakan kedudukannya selaku pengasuh di sini.
"Syukurlah! Penilaianmu benar. Gambar anak ayam ini cocok untukku 'kan?!" Sedikit punggung Jovita bergetar akibat menekan serangan humor dadakan. Dia benar-benar bisa kehilangan kontrol jika si menyebalkan ini masih juga mengucapkan kalimat menggelikan dari mulutnya yang terkenal pedas.
"Seleramu cukup bagus. Biasanya orang sepertimu lebih menyukai hal-hal yang abstrak atau monoton. Ternyata kau berbeda, punya sisi unik juga." 'Maksudku aneh ya, aneh! Kau tidak sebaik itu untuk disebut unik.'
"Aku tidak akan terkesan oleh pujianmu—bawakan aku susu kotak dan biskuit. Sulit berkonsentrasi ke permainan tanpa itu semua."
"Kau menyuruhku membelinya?"
"Apa kau memang sebodoh ini? Kalau belum siap bekerja, maka jangan coba datang kemari! Kau kira aku mau menerima pengasuh yang tidak memahami ketentuan? Atau nenek tua itu tidak mengajarimu caranya?!" Mendadak nada suara Jidan naik satu oktaf dibarengi mukanya yang angkuh. Seakan dia tidak dapat menyingkirkan barang sekejap kesombongannya. Sedangkan, Jovita telanjur mengumpat diam-diam seraya menahan emosi yang nyaris sampai ke puncak kepala. Namun, dia tetap memilih keluar guna menemui nenek Moni dan meminta informasi yang mungkin sempat terlewatkan, dia benar-benar tidak tahu menahu mengenai Jidan menyukai susu kotak dan biskuit.
-----
Jimin merasa pergerakannya terlampau lama. Bermenit-menit mencari keberadaan kepala pengurus rumah ini dan dia baru berhasil menjumpainya di putaran menit ke sepuluh. Kini dia menggerutu sebal seraya mengutip tiga susu kotak dari lemari pendingin, memikirkan pula bagaimana kemarahan si rubah albino kepadanya setelah dia terlambat memenuhi perintah pertama.
"Astaga ... aku pernah mengasuh balita berusia empat hingga anak sembilan tahun. Mereka memang sulit dikendalikan, tapi mereka jauh lebih menghibur daripada si bayi besar Jidan bin aneh." Jovita memuaskan kejengkelan melalui cibiran demikian sebelum tungkai jenjangnya menapaki tergesa-gesa anak tangga ke lantai dua. "Pesananmu--"
"Kukira kau sudah pulang sambil menangis atau kepayahan mencari dapur di mansion ini."
"Aku habis menanyakannya pada Nenek Moni." Mending dijawab seadanya tanpa sedikitpun mengundang perdebatan, Jovita akan belajar mengalah demi kelancaran pekerjaan ini.
"Oh, pantas saja! Si tua bangka itu memang tidak menjelaskan secara rinci rupanya."
"Maaf, salahku karena tidak memahami dulu sedari awal."
"Lucu sekali, kau merasa menyesal sebab sesuatu yang sebetulnya bukan merupakan kesalahanmu sepenuhnya." Lalu, dia menusukkan sedotan ke kotak untuk menyeruput kemudian. Matanya tak lekang dari layar tablet Ipad canggih yang menayangkan games yang sering diakses para pemuda kekinian.