The Secret of the Young Master

Ceena
Chapter #12

Penyesalan yang selalu datang terlambat

"Aku bingung--aku terus memikirkan perkataanku padanya siang tadi." Jovita menimbang-nimbang di dalam nalarnya sendiri, bagaimana bisa dialah yang justru menampung rasa bersalah itu?! Terjadi semenjak tatapan datar dia dapati dari Tuan Mudanya.

"Kamu mau bilang apa? Aku tidak akan mengerti bila kamu cuma menuturkan kesimpulannya, Vit. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini ada hubungannya dengan Jidan?"

"Kakak tahu?! Aku belum bilang apa-apa padahal."

"Dugaan termudah. Kalian sendiri baru saja ketemu 'kan? Dia menyuruh Ibu Moni untuk menjemputmu kemari. Jadi, apa kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu seperti permintaan dia? Separah itukah hingga dia tidak mau melepas kamu barang hari ini saja?"

"Aku gagal, Kak."

"Tugasnya berat, ya?" Irene sampai-sampai perlu merapatkan badannya saking gemas terhadap cara bicara Jovita yang terpotong-potong, "Boleh kau jelaskan langsung tidak? Agar aku bisa memahami permasalahan atau sesuatu yang membuatmu gelisah begini." Irene mengangguk lambat berulang-ulang bermaksud membujuknya.

"Jidan Javier itu sangat aneh, menurutku. Dia pemuda dewasa, tetapi tidak pernah mau melakukan apapun yang diinginkannya sendirian. Pasti butuh seseorang menyiapkan untuknya-- bahkan dia tidak mengerti cara mengeringkan rambut dengan benar."

"Tapi, kamu tahu lebih dulu biografinya dan tidak menolaknya." Tentu Irene masih mengingat sebesar apa antusias Jovita saat membicarakan mengenai upah yang dia terima.

"Mereka memberiku gaji mahal, Kak. Di mana lagi penawaran menggiurkan bisa aku peroleh?" Embusan kasar oleh lawan bicaranya cukup menegaskan nihil tanggapan. "Aku kira segalanya akan berjalan dengan mudah sebelum aku melihat foto Jidan terpajang di dinding rumah itu. Dia bagaikan sosok hantu menakutkan yang mungkin kapanpun siap menggulingkan aku dari pekerjaan ini."

"Belum aku temukan titik terang dalam penjabaran kamu. Lanjutkan saja, aku siap menjadi pendengar yang baik."

"Kami selalu bertengkar, dia pandai memancing amarahku. Tidak pernah ada ketenangan di setiap obrolan, walau itu hanya kalimat basa basi maupun perintahnya. Sikapnya terkadang membuatku hendak membenci dia, lalu aku yang diam-diam mengomel di belakangnya. Dan kemarin, Nenek Moni mendengar sewaktu aku mengumpat. Aku panik karena mengira bakal dipecat detik itu juga, ternyata tidak. Nenek justru tersenyum sebelum dia menjelaskan sesuatu tentang Jidan Javier. Entah kenapa sekarang aku menyesal telah mendengarnya.

"Terus?" Wajah Irene seketika maju beberapa senti, seperti dia amat berminat mendengar curhatan adik tingkatnya itu.

"Aku sempat melihat dia yang diam-diam sedang menangis. Sementara, Kakak tahu sendiri seburuk apa penilaianku untuk kesombongan dia? Dia sangat mencolok dalam hal-hal mengintimidasi, seakan dia itu tidak pernah merasakan yang namanya kekecewaan. Jidan Javier menangis, Kak. Aku harus berbuat apa supaya mempercayai fakta itu?"

"Tapi, apa yang kamu perbuat hingga ikut merasa bersalah begini?"

"Dia duluan yang memulainya. Aku sudah bilang tidak mungkin bekerja dalam kondisi pinggangku yang nyeri ini. Bergerak sedikit saja langsung menusuk rasanya. Bayangkan, dia membongkar pakaian yang sudah aku susun ke dalam tas dan dengan semena-mena memaksaku agar merapikannya lagi sekalian menyelipkan barang-barang yang tertinggal. Dia menyebutku tidak becus, Kak."

"Kamu cuma perlu memasukkannya saja 'kan?"

"Kak, apapun benda yang aku masukkan ke dalam tas adalah atas permintaan Jidan. Dia juga tidak mengatakan satupun benda yang tertinggal itu."

Lihat selengkapnya