Mereka terjebak dalam suasana canggung. Walau Jidan dan Ega memang bukan pemuda ceriwis atau humoris. Namun, keberadaan Jovita di antara mereka saat ini seakan menambah kaku di sana. Mobil van melaju tenang persis pemuda di depan kemudi, si Calestino sekadar ingin supaya perjalanan mereka terasa menyenangkan dan lebih santai. Dia justru mengabaikan seberapa jauh dua bus yang telah melampaui mereka hingga tak lagi tampak dijangkau indra.
"Vit, kamu suka perjalanannya?"
"Ya?" Interupsi tadi disambut bengong oleh si empu, matanya mengerjap lamban seiring tatapan polos dia berikan.
"Aku tanya, apa perjalanan ini menyenangkan buatmu? Atau malah sebaliknya, mungkin saja kamu bosan. Dari tadi aku tidak dengar komentar apa-apa darimu."
"Oh, kamu ingin aku mengasih ulasan sekarang?" Perkataannya menarik perhatian Jidan Javier yang sedang memejamkan mata dalam kondisi bersedekap. Pemuda itu mendengkus jemu, mengalihkan wajahnya menghadap jendela mobil. "Tapi, kita belum menemukan hal menarik untuk dibahas. Kecuali, cara mengemudi kamu yang mirip siput."
"Apa?!" Si Calestino gagal menahan reaksi hebohnya. Kelopak mata melebar, mulut menganga dan dia meneriakkan protes di matanya. "Aku sengaja berjalan pelan begini agar kamu bisa menikmati pemandangan yang kita lewati. Kayaknya aku salah menduga dan berarti usahaku sia-sia."
"Usaha apa, sih maksudnya?"
"Ya usaha untuk membuatmu terkesan."
Detik sekian Jovita hela napasnya perlahan-lahan, menengok ke kiri cuma untuk menciptakan senyum lepas di bibirnya. "Ternyata bagus juga, aku tidak tahu panoramanya seindah ini."
"Itu karena kamu hanya terus menunduk—apa sebenarnya yang sedang kau pikirkan, Jovita?"
"Aku tidak bisa membayangkan keseruan apa-apa mengenai tur ini, sesuatu mengganggu pikiranku sejak tadi."
Jidan Javier sedikit menggerakkan punggungnya, kendati si Calestino yakin bahwa dia terlampau pulas dan tiada mungkin menyimak perbincangan itu. Padahal, dia berpura-pura tidur supaya bisa leluasa menangkap seluruh obrolan yang ada.
"Kamu memikirkan Naura dan teman-temannya?!"
"Begitulah," jawab Jovita singkat usai mendesah berat menandakan betapa penuh isi kepalanya. "Aku sudah menduga semenjak mereka datang mengepungku di kelas. Mereka akan terus mempermainkan diriku entah sampai kapan." Jovita masih memikirkan kejadian tak mengenakkan yang menimpanya di bus semula. "Keinginanku adalah bisa kuliah dengan aman. Aku lelah kalau harus mengulang kebiasaan lama seperti di masa sekolah menengah dulu. Setiap hari Bang Sam datang ke sekolah untuk menemui guru bimbingan konseling. Dan karena keterbatasan kami, teman-temanku hanya diberikan peringatan ringan. Ujung-ujungnya aku yang diminta bersabar dan menjauhi mereka, walau mereka sendiri yang selalu membuntuti aku."
"Ada aku, kamu tidak perlu takut lagi."
"Kamu bukan pengawal. Jurusan kita juga berbeda, mustahil kamu bisa memperhatikan situasi di sekitarku selama aku berada di kampus."