Sepiring ubi bakar berikut satu cerek teh benar-benar tersedia si hadapan mereka. Calestino tertegun sesaat, diam sambil mengamati gumpalan asap mengepul dari umbi kuning yang harumnya bukan main sampai menusuk ke lidah. Liurnya bahkan turun seakan mendesak supaya dia segera mencicipi pati lembut nan manis itu.
"Ji, aku sudah tidak tahan."
"Bicaramu jangan aneh begitu. Ya dimakan saja, siapa yang melarang?"
"Masih panas ..." Air muka Calestino kontan menarik seutuhnya perhatian Jovita. Gadis itu melongo takjub setelah menemukan sisi lain dari pemuda yang dia kira cuma bisa narsis dan berlagak pahlawan ini. Lalu, mendadak bertransformasi tak ubahnya gadis kecil yang sedang manja.
"Tidak usah merengek! Kau tinggal menunggu panasnya berkurang!"
"Tapi, aku sangat lapar."
"Terserah, dasar bodoh!" Justru dia tak melawan setiap kali perkataan Jidan Javier hadir membentaknya. Satu-satunya yang menyebabkan semangatnya turun adalah dia belum dapat melahap ubi menggiurkan itu.
"Aku belum pernah segini nafus terhadap makanan. Sesuatu yang dipaksa pasti ujungnya tidak mengenakkan. Apakah sama seandainya aku nekat melahapmu dalam keadaan panas-panas begitu? Rasamu tetap manis dan legit 'kan?"
"Diam, Calestino! Jika kau bicara lagi, mulutmu aku sumpal pakai ubi bakar itu!" Detik berikutnya tangan si empu yang digertak naik untuk menyentuh mulutnya seiring raut berganti meringis ngeri.
"Kau mau membakar mulutku?!" protes Ega dengan suara ikut meninggi.
Interaksi keduanya membangkitkan suasana humor di sekitar mereka. Diam-diam Jovita cekikikan, amat terhibur oleh adegan dua pemuda yang faktanya masing-masing memiliki bagian aneh sekaligus menyenangkan untuk disimak.
"Bukankah kau sendiri yang tidak sabar untuk menggigit ubi tak berdosa itu?!" Jidan balas dengan nada tak kalah kencang.