Cuaca yang tampak akan mendung mendorong ketiga muda mudi itu segera berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Jovita membantu Calestino mengangkat buah tangan pemberian warga setempat ke mobil. Dia lebih diam dari biasanya, selain membawa pangan-pangan itu dengan hati-hati.
"Vit--"
"Ya."
"Kau ada masalah?" Pertanyaan ini membuat Calestino menerima tatapan heran dari si empu yang di tanya. Sepasang alisnya bertemu tanpa mengucapkan sepatah kata sekalipun.
"Tidak, memangnya kenapa?"
"Agak aneh rasanya bersamamu di keheningan begini, seperti bukan dirimu."
"Kamu ingin aku bagaimana?"
"Tidak ada juga. Hanya saja aku kurang nyaman berhadapan dengan Jovita yang minim bicara. Aku menyukai kebisinganmu, kau boleh mengira begitu."
"Apa?!" Nada suara gadis ini spontan naik beberapa oktaf. "Jadi, kau menganggap diriku bising selama ini?!" Jovita menekuk muka, lamunan dan objeknya pun ikut lenyap bersama seruannya. Sedangkan, si Calestino sekadar ringan tertawa canggung.
"Kamu keliru dalam memahami perkataanku. Kebisinganmu dari sudut pandangku berbeda dari kebisingan yang kau pikirkan. Suasana jadi ramai setiap kali kau berceloteh dengan sangat bersemangat. Sepi bukan pilihanku, kamu juga melihat sendiri bagaimana caraku dan Jidan berkomunikasi. Kami jarang berbincang seru, apalagi menggiring lelucon ke tengah obrolan. Bisa bayangkan segitu bosan apa?" Barulah detik berikutnya Jovita mendengkus lapang, kendati tak mengganti rautnya.
Lengan-lengannya berhenti merapikan tumpukan ubi jalar ke dalam kardus, jangka nalar Jovita tebersit penuturan Nenek Moni, "Ga, ada yang mau aku tanyakan padamu. Tapi ..." Sejenak ucapannya menggantung, meyakinkan dahulu jika niat ini tidak akan memancing sebentuk permasalahan. "Aku dengar Jidan bukanlah Jidan yang mungkin beberapa orang lihat. Apa benar dia sebaik yang aku dengar? Kau tidak perlu tahu dari mana informasi ini aku dapatkan. Tapi, aku perlu pengakuan jujur. Takutnya perlakuanku selama ini tidak tepat, aku tidak suka menyimpan perasaan menyesal." Jovita menyaksikan si Calestino mendesah panjang, seolah dia baru saja mencabut ubi jalur sebanyak ratusan kilo.
"Kamu membuatku takut, Vit. Aku sempat mencari-cari apa kesalahan yang aku lakukan hingga sikapmu berubah."
"Ya ampun, kamu berpikir sekeras itu? Padahal tidak terjadi apa-apa. Tapi, kenapa kau mau ..."
"Belum selesai, Vit! Maaf, aku memotong ucapanmu. Kamu tidak menjawab pertanyaanku. Tapi, kau hampir tersinggung dan tiba-tiba bertanya mengenai Jidan."
"Sungguh?!" Jovita meringis kikuk, mendadak malu berhadapan dengan si Calestino. "Maaf, aku benar-benar minta maaf." Sembari punggung membungkuk menegaskan maksud penyesalannya. "Akan aku temui mereka, siapa tahu ada lagi yang perlu dibawa ke mobil." Cengar cengir kaku di bibirnya cukup mudah dipahami. Calestino bergeming, merelakan si gadis itu berlari kecil meninggalkan dia dalam tanda tanya besar di benaknya.
-----
"Ini, untukmu!" Itu adalah sebuah buket bunga tiruan, bukan bunga asli berbau harum nan segar.
"Apa ini?"
"Salah satu keterampilan tangan yang bisa dihasilkan masyarakat di desa ini, kau bisa mempergunakannya sebagai hiasan ruangan atau dipajang di dinding. Mereka yang bilang begitu."
"Aku tahu ini bunga, tetapi kau memberikannya padaku dan itu agak tidak masuk akal." Terang-terangan Jovita mengungkapkan gundahnya dengan nada rendah, sambil berharap bahwa ini tidak memicu perdebatan mereka yang lain.
"Aku serius memberikannya padamu. Ada apa dengan wajahmu, kau segitu terkejutnya? Aku berikan karena di antara kita bertiga kau satu-satunya perempuan. Aku sengaja membelinya untuk menyenangkan hati Bibi Marini. Itu adalah salah satu yang teristimewa di desa ini. Mereka memperbanyak produksinya sesuai kemampuan personal, lalu memperdagangkannya ke kota. Tetapi, orang-orang kota seperti kita tidak pernah memandang kesederhanaan ini sebagai sesuatu yang layak dihargai. Andai mereka menyaksikan langsung proses pembuatannya, maka--"