Perkampungan tradisional Cirendeu ada di Kelurahan Leuwigajah, Cimahi Selatan. Sebagian besar masyarakat asli di kawasan ini memilih bekerja sebagai petani ubi. Disebutkan juga bahwa hingga sekarang mereka masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya, Sunda Wiwitan. Turun temurun garis keturunan mereka melestarikan budaya serta kebiasaan masa lalu tanpa mengizinkan pengaruh modernisasi menyentuh kemurnian desa tersebut.
Ketiganya berjalan bersusulan melewati gapura beratapkan ijuk sebagai penanda pintu masuk ke permukiman tradisional yang seminggu ke depan akan dihuni. Mereka tiba di situ saat jarum jam melenceng sedikit dari angka sebelas. Calestino menepikan kebut-kebutan di aspal nan licin demi menjaga keamanan berkendara. Tiada sambutan ramai, kecuali tatapan mata penuh tanda tanya memberondong tiga muda mudi tersebut bak pelaku kriminal yang baru tertangkap.
"Kalian tidak punya pekerjaan lain, huh?!" Seruan sarat intimidasi terungkai dari belah bibir Jidan Javier seiring tatapan tajamnya seumpama belati tipis mampu menyayat siapapun yang melirik dia. Spontan perhatian-perhatian tersebut menyingkir tanpa berani mengangkat kepala.
"Wah, lihat siapa di sini?!" Namun, tidak dengan geng Naura. Mereka nekat menghadang Jovita tanpa menurunkan keangkuhan pada rautnya. "Baru seminggu kuliah dan kau sudah menjadi penjilat. Kau menggoda kakak kelas supaya mendapatkan tumpangan gratis, ya?! Dasar murahan! Kau sangat buruk!" Calestino mengernyit, masih diam menunggu apa kata mereka selanjutnya. "Kalau bukan menggoda dan merayu apalagi keahlian gadis miskin sepertimu?!" Lantas, Calestino terbelalak di tempat, kepalang kaget menangkap hinaan keji semacam. "Memalukan saja, nama baik kelas kita pasti tercemar karena perbuatanmu."
"Aku tidak mengira bahwa dengan menyaksikan tingkahmu secara langsung akan sungguh-sungguh menyebalkan daripada gosip yang beredar." Satu hal lagi menambah tegang hawa di sana, aksi Jidan menyebabkan semuanya serempak kaget. "Kau Naura Indira, benar?!"
"Iya, Kakak."
"Aku bukan saudaramu."
"Ti-tidak, bukan begitu. Maksudku ..."
"Tadi kau bilang Jovita Prune menggoda kami untuk mendapatkan tumpangan gratis, iya 'kan? Ehm, bagaimana kau bisa segitu yakinnya melayangkan tuduhan itu? Apa kau melihat sendiri saat Jovita merayu salah satu dari kami? Jika iya, aku ingin mengetahui kronologinya."
Naura Indira dan dua rekannya mendadak salah tingkah. Saling melempar pandang sembari agak berbisik-bisik menyalahkan satu sama lain. "Tapi, Kak--aku mengatakan yang sejujurnya. Dia ini tidak bisa dipercaya. Dia sengaja membuat dirinya terlihat lugu untuk merebut simpati orang." Kukuh enggan membiarkan rencana awalnya gagal, Naura tidak akan mundur pada tuduhan rekayasanya. Apapun kendala dia harus berhasil menyudutkan Jovita, si gadis biasa-biasa saja dan sialnya dapat menurunkan tingkat kepercayaan diri dia sebagai gadis yang faktanya cukup populer di kalangan pemuda. Tiada dapat ditampik, kendati Naura Indira merupakan mahasiswi di tahun ajaran baru.
"Oh. Tapi, kenapa aku masih meragukan kata-katamu?!"
"Kak, aku tidak berbohong. Sebaiknya jauhi dia, karena--"
Serta merta Jidan Javier mengayun tungkai selangkah, mengikis jarak wajahnya dengan Naura Indira sebelum penuturannya mengakibatkan bulu roma merinding, "Hentikan omong kosong ini, atau kau siap menerima ganjaran atas keributan yang kau ciptakan?! Aku bisa melaporkan tindakan anarkimu atas penyerangan verbal terhadap Jovita Prune, contohnya mengeluarkan dirimu dari tur sesegera mungkin. Itu gagasan paling bagus untuk diterapkan, kau mau coba yang mana?!" Dapat dia rasakan tubuh gadis di dekatnya kini bergetar, tergemap di hadapannya. Berujung hal itu memancing seringai tipis di sudut bibir Javier, menampakkan kesan pongah yang mendarah daging dalam dirinya.