The Shattered Lens

Mizan Publishing
Chapter #3

BAB 6

Wah! Bab-bab sebelumnya sungguh membosankan, bukan? Aku tahu kau tidak sungguh-sungguh ingin tahu—secara mendetail—cara kerja sistem pembuangan di Nalhalla. Kau juga tidak akan sudi mengetahui penjelasan akademis tentang abjad Nalhalla dan bagaimana huruf-hurufnya berdasarkan gambaran logografis Cabafloo kuno. Dan, tentu saja, deskripsi yang sangat spesifik dan jelas tentang bagaimana rasanya lambungmu dikuras mungkin akan membuatmu merasa mual.

Tapi jangan khawatir. Adegan-adegan ini sangat penting bagi Bab Tiga Puluh Tujuh novel ini. Tanpa Bab Tiga, Empat, dan Lima, kau akan benar-benar kebingungan di bagian itu nanti. Demi kebaikanmu sendiri kumasukkan Bab-Bab itu. Nanti kau akan berterima kasih padaku.

“Tunggu,” kataku sambil menunjuk ke luar dinding kaca transparan ruangan pengujian granat. “Aku kenal burung itu.”

Bukan burung yang biru. Melainkan burung kaca raksasa yang mengudara dari kota agak jauh di sana. Namanya Hawk-wind, dan benda itulah yang membawaku pertama kali ke Nalhalla. Ukurannya sebesar pesawat kecil dan terbuat sepenuhnya dari kaca tembus cahaya yang cantik.

Nah, kalian para penduduk Negeri Sunyi mungkin bertanya-tanya bagaimana aku dapat mengenali satu alat transportasi tertentu dari sekian banyak kendaraan yang terbang hilir mudik di Nalhalla. Itu karena di Negeri Sunyi, para Pustakawan memastikan semua kendaraan terlihat serupa. Semua pesawat ukurannya identik. Sebagian besar mobil terlihat lebih kurang sama: mobil truk terlihat seperti mobil truk lainnya, mobil sedan terlihat seperti mobil sedan lainnya. Meskipun mereka mengizinkanmu mengubah warnanya. Hore.

Para Pustakawan menyatakan bahwa seharusnya memang seperti itu, menyampaikan omong kosong tentang biaya produksi atau perakitan. Semua itu, tentu saja, bohong. Alasan sesungguhnya semua hal terlihat serupa ada hubungannya dengan satu konsep sederhana: celana dalam.

Akan kujelaskan nanti.

Kerajaan Merdeka tidak mengikuti pola pikir penduduk Negeri Sunyi. Ketika mereka membuat sesuatu, mereka suka membuatnya terlihat berbeda dan orisinal. Bahkan seorang idiot, sepertiku, bisa membedakan sebuah kendaraan dari jarak jauh.

“Hawkwind,” Bastille mengangguk, sementara burung kaca itu mengangkasa, berputar ke arah barat. “Bukankah itu pesawat yang hendak digunakan ayahmu untuk misi rahasianya?”

“Ya,” jawabku.

“Menurutmu ....”

“Dia pergi tanpa pamit?” Kuamati Hawkwind memelesat menjauh. “Ya.”

***

“Kepada ayah dan anakku,” baca Kakek Smedry, sembari membetulkan posisi Lensa Oculatornya dan mengamati catatan.

“Aku tidak pandai berpamitan. Met tinggal.” Diturunkannya kertas itu, lalu mengedikkan bahu.

“Cuma begitu?” Bastille berseru. “Cuma itu yang dia tinggalkan?”

“Emm, ya,” Kakek Smedry mengangkat dua lembar kertas kecil warna oranye. “Itu dan kelihatannya dua kupon setengah sendok es krim rasa koala.”

“Mengerikan!” seru Bastille lagi.

“Sebenarnya, itu rasa favoritku,” kata kakek sambil menyimpan kedua kupon. “Dia lumayan perhatian.”

“Maksudku catatannya,” Bastille berdiri dengan lengan terlipat. Kami sudah kembali ke Benteng Smedry, kastel batu hi-tam besar yang berdiri di bagian ujung selatan Kota Nalhalla. Kaca api meretih di perapian di salah satu dinding ruangan. Ya, di Kerajaan Merdeka ada jenis kaca yang bisa terbakar. Jangan tanya-tanya.

“Ah, ya,” Kakek Smedry membaca ulang catatannya. “Ya, ya, ya. Tapi, kau harus mengakui bahwa dia memang tidak pandai berpamitan. Catatan ini bisa jadi argumen yang mendukung hal itu. Maksudku, dia bahkan keliru mengeja selamat tinggal. Sungguh tidak pandai!”

Aku duduk di kursi merah yang kegendutan di dekat perapian. Di kursi itulah tadi kami menemukan catatannya. Rupanya ayahku belum memberi tahu siapa pun di luar orang-orang terdekatnya bahwa dia pergi. Dia mengumpulkan sekelompok prajurit, asisten, dan penjelajah, lalu pergi begitu saja.

Hanya kami bertiga yang ada di ruangan berdinding hitam ini. Bastille mengamatiku. “Aku ikut sedih, Alcatraz,” katanya. “Pasti ini hal terburuk yang bisa dia lakukan padamu.”

“Entahlah,” kata kakek. “Kuponnya bisa saja untuk es krim rasa rocky road.” Dia mengernying. “Mengerikan. Siapa pula yang menaruh jalan dalam es krim? Yang benar saja.”

Bastille menatapnya datar. “Kata-katamu tidak menghibur.”

“Aku tidak sedang menghibur,” Kakek Smedry menggarukgaruk kepalanya. Dia botak, kalau saja tidak ada segaris ram-but putih yang mengitari kepalanya dan menyembul dari balik kedua telinga—seolah-olah ada orang yang menempelkan awan di kulit kepalanya—dan dia juga punya kumis putih besar. “Tapi, kurasa seharusnya aku menghibur. Resnick Panik, Nak! Jangan suram begitu. Dia memang ayah yang payah, kan? Setidaknya sekarang dia pergi!”

“Kau tidak pandai menghibur,” komentar Bastille.

“Setidaknya aku tidak keliru mengeja apa pun.”

Aku menyeringai. Bisa kulihat kerlip di bola mata kakek. Dia hanya berusaha membuatku ceria. Dia berjalan mendekat, duduk di kursi di sampingku. “Ayahmu tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadapmu, Nak. Dia tidak sempat belajar jadi orangtua. Kurasa dia takut padamu.”

Bastille mendengus sebal. “Jadi, Alcatraz harus mengendap saja di Nalhalla sini, menunggunya kembali? Kali terakhir Attica Smedry menghilang, perlu waktu tiga belas tahun baginya untuk muncul kembali. Siapa yang tahu apa yang dia rencanakan!”

“Dia mengejar ibuku,” ujarku perlahan.

Bastille menoleh ke arahku dengan kening berkerut.

“Ibuku punya buku yang ayahku cari,” jelasku. “Buku berisi rahasia cara memberi semua orang Bakat Smedry.”

“Itu upaya sia-sia yang telah ayahmu kejar selama bertahuntahun, Alcatraz,” ujar Kakek Smedry. “Memberi semua orang Bakat Smedry? Kurasa itu mustahil.”

“Itu juga yang orang bilang soal menemukan Lensa Penerjemah,” timpal Kaz. “Tapi, Attica berhasil melakukannya.”

“Betul, betul,” kata kakek. “Tapi ini beda.”

“Kupikir juga begitu,” kataku. “Tapi—”

Aku tertegun, lalu berbalik ke samping. Pamanku, Kazan Smedry, telah duduk di kursi ketiga di dekat perapian. Tingginya sekitar seratus dua puluh sentimeter, dan seperti kebanyakan orang, dia benci disebut cebol. Dia mengenakan kacamata hitam, jaket kulit warna cokelat, dan tunik yang diselipkan ke celana lusuh. Tubuhnya diselimuti debu hitam mirip jelaga.

Lihat selengkapnya