Nama lengkapnya tak lagi penting. Di Gaza, ia hanya dikenal sebagai Elian. Seorang relawan yang datang dari tempat yang tak dijatuhi bom, tempat di mana anak-anak menangis bukan karena suara jet tempur, melainkan karena es krim yang jatuh ke tanah.
Ia tiba dengan mata lelah tapi tetap jernih, dan koper yang lebih berat oleh beban rasa bersalah ketimbang isi medis di dalamnya. Tak satu pun dari tim medis yang menemaninya tahu alasan ia memilih Gaza, padahal ada ratusan misi kemanusiaan lain yang lebih ‘aman’ dan ‘terorganisir’. Tapi Elian tahu ia sedang mencari sesuatu yang telah lama hilang. Atau seseorang.
Hari pertamanya di Rafah dimulai bukan dengan pengarahan logistik, tapi dengan bau darah yang menguar dari ruang gawat darurat rumah sakit lapangan.
“Pasien anak! Luka tembak dada kanan, perdarahan aktif!”
Teriakan perawat lokal memecah udara yang sudah sumpek oleh panas dan ketegangan.
Elian berlari. Tangan-tangan berpacu, bukan hanya dengan waktu, tapi dengan kehilangan. Tangannya langsung bekerja, memasang infus, memberi kompresi, menginstruksikan dalam bahasa medis universal. Bocah itu berusia lima tahun. Terlalu kecil untuk luka sebesar itu.
Beberapa menit kemudian, pasien stabil. Tapi bukan berarti hidupnya aman. Di tempat ini, hidup dan mati terlalu sering bertukar tempat.
Tak ada waktu untuk berpikir. Tak ada waktu untuk berduka. Sejam kemudian, seorang perempuan tua masuk dengan tubuh berlumur debu dan darah, tangan kirinya tak lagi utuh. Elian ikut memegang bahunya, menatap wajah perempuan itu dan sekali lagi, ia dikejutkan oleh diamnya.
Tak ada teriakan. Tak ada keluhan.
Seolah kesakitan adalah bahasa ibu mereka.
Atau mungkin, suara-suara mereka sudah habis, dipaksa diam oleh hari-hari yang terus kehilangan.