The Silence Between Bombs

ohinisarah
Chapter #3

03 | Diantara Debu dan Huruf

Pagi di Gaza tak pernah benar-benar dimulai dengan damai. Ia datang membawa aroma hangus yang tertinggal dari malam, bersama desir angin yang meniupkan debu dari reruntuhan ke ambang pintu kelas

Di sela-sela puing dan harapan yang belum padam, Amina berdiri dengan sapu di tangan menyapu bukan hanya debu di lantai, tapi juga sisa-sisa semalam yang tak pernah dijanjikan akan berakhir.

Di sela-sela puing dan harapan yang belum padam, Amina berdiri dengan sapu di tangan menyapu bukan hanya debu di lantai, tapi juga sisa-sisa semalam yang tak pernah dijanjikan akan berakhir.

Dinding ruangan masih setengah runtuh, tapi anak-anak itu tetap datang dengan mata besar, ransel robek, dan semangat yang membuat dada Amina terasa sesak sekaligus penuh.

Hari ini, ia mengajar tentang puisi. Tentang kata-kata yang bisa menjadi rumah, ketika semua yang lain hilang.

“Kalau kalian bisa mengubah satu kata menjadi pelindung, kalian pilih kata apa?”

“Damai!” seru Mariam, gadis mungil dengan pita merah yang selalu pudar oleh asap.

“Rumah,” jawab Ahmed pelan, menunduk pada lukisan pintu yang ia coretkan di kertas lusuh.

Amina tersenyum. Tapi senyum itu hanya bertahan sebentar. Di luar, suara drone kembali terdengar datar, menggantung di langit seperti ancaman yang sabar.

Ia menyelesaikan pelajaran lebih cepat. Anak-anak satu per satu pulang, berlari kecil ke arah tenda-tenda darurat. Ketika ruangan kosong, Amina duduk di kursi kayunya. Menulis.

Lihat selengkapnya