The Silence Between Bombs

ohinisarah
Chapter #4

04 | Suara yang Tertinggal di Udara

Hari itu, seorang jurnalis lokal tengah merekam footage ketika ledakan menghantam tak jauh dari sekolah tempat Amina biasa mengajar. Asap membubung seperti luka yang kembali dibuka, dan suara sirine melolong menembus udara yang sudah terlalu sering dirobek oleh teriakan dan tangisan.

Elian merunduk di balik puing-puing dinding rumah yang separuh runtuh, tubuhnya penuh debu. Ia baru saja membantu mengevakuasi seorang anak kecil yang terluka.

Jantungnya berdetak cepat, bukan hanya karena bahaya yang nyata, tapi karena suara ledakan itu terlalu dekat dan ia tahu, di arah itu, ada sekolah.

****

Beberapa menit sebelum ledakan, Amina sedang membimbing murid-muridnya menulis huruf-huruf Arab di papan tulis reyot. “خ..ح..ج..ع.." suara kecil-kecil mengikuti perlahan. Ada tawa kecil saat seorang murid salah mengucapkan huruf, dan Amina sempat tersenyum sejenak melupakan kenyataan di luar dinding itu.

Namun, kedamaian tipis itu lenyap dalam sekejap.

Satu dentuman keras mengguncang tanah. Lampu sekolah padam, jendela bergetar lalu pecah, dan debu jatuh dari langit-langit seperti salju kelabu. Anak-anak menjerit. Beberapa spontan bersembunyi di bawah meja, lainnya membeku, tak tahu harus ke mana.

“Ayo! Di bawah meja! Jangan keluar ruangan!” Amina berteriak. Suaranya keras, tapi tangannya gemetar. Ia menyusuri barisan bangku, memastikan tidak ada yang tertinggal. Salah satu anak kecil menggenggam rok Amina dan berbisik lirih, “Apakah kita akan mati hari ini, مُعَلِّم?

Pertanyaan itu menghantam lebih keras dari bom.

Amina berjongkok, menggenggam tangan si anak. “Tidak. Kamu akan hidup. Kita semua akan hidup.” Meski dalam hatinya, ia sendiri belum yakin.

Lihat selengkapnya