The Silence Between Bombs

ohinisarah
Chapter #5

05 | Sunyi yang Belajar Bicara

Malam merambat turun seperti debu pelan, gelap, dan tak sepenuhnya diundang. Di luar jendela yang pecah sebagian, angin membawa aroma asap, besi panas, dan entah apa lagi.

Amina duduk memeluk lutut di dekat jendela. Cahaya redup lilin menari di atas buku catatannya. Halaman-halaman yang basah terkena darah dari hari-hari sebelumnya masih mengering dengan kesabaran yang mengiris.

Tangannya menulis, perlahan, seakan takut tinta akan menjadi saksi terlalu banyak.

"Malam ini, suara bom sudah berkurang. Tapi suara di dalam kepalaku mereka tetap bising. Aku bertemu seseorang hari ini. Ia punya mata lelah yang menyimpan musim gugur dari negeri yang tak pernah kutahu. Dan untuk sesaat ... aku lupa langit di sini tidak pernah tidur."

Elian belum banyak bicara. Tapi sorot matanya cukup membuat dunia sejenak membisu. Ia masih tinggal di fasilitas klinik darurat, datang beberapa kali ke sekolah darurat tempat Amina mengajar untuk mengantar perban, air, atau kadang sekadar bertanya, “Butuh sesuatu?”

Amina selalu menggeleng.

Bukan karena tak butuh, tapi karena tak tahu bagaimana cara meminta di dunia yang sudah merampas semuanya.

Hari itu, Amina kembali ke sekolah dengan langkah tertatih. Kelas masih utuh, atau setidaknya belum berubah jadi abu. Anak-anak sudah duduk dengan lutut menempel tanah, menunggu huruf-huruf kecil di papan tulis seolah mereka satu-satunya pintu keluar dari kehancuran.

“Siapa tahu ... huruf bisa jadi jembatan,” gumam Amina. Ia menuliskan kata salam di papan. “Artinya?” tanyanya.

“Perdamaian!” seru seorang bocah, suara cemprengnya mengalahkan nyaring mortir di kejauhan.

Mereka tertawa. Dan di saat itulah, ledakan kembali mengguncang dari arah utara.

Dinding sekolah bergetar. Serbuk abu jatuh dari langit-langit seperti hujan halus.

Anak-anak mulai menangis. Amina menggenggam tangan mereka satu per satu. “Itu jauh. Kita tetap di sini. Tetap belajar. Kita tetap hidup, ya?”

Lalu, seorang jurnalis muda dari Gaza bernama Omar muncul tiba-tiba di balik puing-puing pintu. Kamera tergantung di dadanya, napasnya masih tersengal.

“Amina!” serunya. “Kau tak apa? Ada ledakan besar di dekat pasar. Tapi katanya ... rudal kedua meleset dan menghantam panti.”

Panti. Tempat biasa anak-anak belajar setelah siang.

Amina merasa lututnya melemas.

Ia berlari, diiringi Omar dan suara tangisan anak-anak di belakang. Jalanan dipenuhi debu, jeritan, dan sorakan bingung dari mereka yang masih hidup. Elian juga sudah ada di sana, bersimbah peluh dan noda darah asing di bajunya.

“Amina!” panggilnya. “Ada korban. Banyak anak. Kami butuh bantuan evakuasi.”

Amina tak menjawab. Tangannya bergerak begitu saja mengangkat tubuh kecil, mencari nadi, mengusap wajah yang penuh arang. Seolah tubuhnya bekerja sendiri, mengabaikan retakan di dalam dadanya yang semakin besar.

Lihat selengkapnya